Sebuah video sepanjang 28 menit bertajuk Who Killed ESG Party? ditayangkan oleh Financial Times pada pertengahan Juli lalu. Judul itu agaknya tepat, mengingat bahwa investasi berbasis ESG memang mengalami tekanan di sepanjang tahun 2023 hingga pertengahan 2024 ini, terutama di Amerika Serikat. Sementara, data dan prediksi moderat sekalipun sebetulnya menunjukkan bahwa pertumbuhan investasi ini tidaklah buruk dalam situasi yang penuh tantangan. Pada awal tahun ini, misalnya, Bloomberg menyatakan bahwa di tahun 2022 aset ESG global sudah mencapai US$30 triliun, dan diperkirakan akan melampaui US$40 triliun di tahun 2030 nanti. Lantaran pada tahun itu diperkirakan seluruh AUM akan bernilai US$140 triliun, maka AUM berbasiskan ESG akan mencakup lebih dari 28%-nya.
Tetapi, tentu saja prediksi itu masih perlu dibuktikan kebenarannya dalam beberapa tahun mendatang. Sementara, perlambatan pertumbuhan bahkan pengurangan investasi berbasis ESG di AS adalah kenyataaan saat ini. Oleh karena itu, agaknya masuk akal bagi kita untuk menyimak video dari Financial Times tersebut. Untuk mereka yang ingin mendorong penerapan ESG, hal-hal yang dianggap menjadi penghalangnya tentu sangat perlu diperhatikan dan diatasi.
Empat Pengakhir Pesta
Video ini dibuka dengan pernyataan bahwa ESG berfokus pada investasi di perusahaan dengan cara yang mendukung pengelolaan lingkungan, sosial serta tata kelola yang baik. Istilah ini sebetulnya sudah lama diperkenalkan, namun dinyatakan menjadi sangat populer setelah Perjanjian Paris 2015, yang bertujuan membatasi pemanasan global di bawah 2 derajat Celsius dari tingkat pra-industri. Kesadaran bahwa sektor swasta harus berkontribusi pada tujuan ini semakin meningkat. Bagi organisasi seperti Sovereign Wealth Funds dari Norwegia, yang mengelola aset US$1,6 triliun dan memiliki 1,5% dari semua ekuitas global, ESG sangatlah penting karena iklim adalah risiko finansial dalam investasi di seluruh dunia. Oleh karena itu, perhatian pada ESG sangat krusial untuk investasi jangka panjang dan keuntungan finansial.
Puncak pesta ESG terjadi pada COP26 Glasgow di tahun 2021, di mana banyak lembaga keuangan mendukung emisi karbon nol bersih. Namun, bagaimanapun, perbedaan antara pernyataan dukungan dengan tindakan nyata masih sangat signifikan. Dan karena kesenjangan itulah, maka sebagian pengamat yang diwawancarai pada video ini percaya bahwa perkembangan ESG yang sensasional telah berakhir, dan industri ESG kini menghadapi penurunan.
Salah satu faktor penurunan minat pada ESG adalah invasi Rusia ke Ukraina. Kenaikan harga energi dan biaya modal yang lebih tinggi setelah invasi jelas merugikan kinerja investasi berbasis ESG. Fokus bergeser dari isu iklim ke keamanan energi—yang hingga sekarang masih sangat didominasi oleh energi fosil. Kalau tadinya sektor minyak dan gas berkinerja buruk dibandingkan dengan rerata S&P 500 selama 10 tahun terakhir, fokus pada energi fosil yang meningkat di tengah ketegangan geopolitik membuat tetiba kinerja sektor tersebut menjadi superior. Jadi, Vladimir Putin dengan keputusannya menginvasi Ukraina jelas punya pengaruh atas susutnya perhatian terhadap ESG.
Di sisi samudera yang lain, Tucker Carlson memainkan peran signifikan dalam reaksi politik AS terhadap ESG. Carlson terus melancarkan kritik ESG dengan mengaitkannya dengan berbagai masalah, seperti pembatasan listrik di Jerman dan protes petani di Belanda. Kritiknya mempolarisasi opini publik di AS, dan beberapa politisi, seperti Gubernur Florida, Ron DeSantis, menjadi sering berbicara tentang ESG dengan sudut pandang seperti Carlson, lalu membuat kebijakan anti-ESG, yang diikuti oleh banyak negara bagian lain yang didominasi Partai Republik. Akibatnya, lembaga-lembaga keuangan menghadapi tekanan untuk menarik investasi dari manajer aset tertentu karena kritik terhadap ESG.
Meskipun organisasi seperti Climate Action 100+ berusaha sekuat mungkin memengaruhi perusahaan-perusahaan untuk mengurangi emisi, ada kekhawatiran bahwa hal ini mungkin tidak sejalan dengan kepentingan klien atau investor dalam jangka pendek. BlackRock, sebagai manajer aset terbesar, terus-menerus menjadi target kritik politik dan media. Meskipun BlackRock berhasil mengembangkan dana yang besar untuk pengembangan energi bersih, CEO-nya, Larry Fink, memilih untuk menghindari istilah ESG karena berbagai tekanan politik yang dihadapinya.
Akibatnya, kalau pada 2022 survei Northern Trust menunjukkan bahwa ESG adalah prioritas utama, pada 2024 minat terhadap ESG menurun jauh di AS. Di Eropa, dukungan terhadap keberlanjutan dan regulasi pemerintah tetap kuat sehingga investasi berkelanjutan, terutama yang berbasis ESG, tetaplah populer. Tariq Fancy, mantan kepala investasi berkelanjutan BlackRock, sendiri melancarkan kritik atas ESG sebagai tesis pasar bebas yang tidak selalu efektif. Ia berpendapat bahwa solusi perubahan iklim terutama memerlukan kebijakan pemerintah, bukan hanya inisiatif perusahaan. Ini juga menjelaskan mengapa di negara-negara yang regulasinya kuat, seperti di Uni Eropa, investasi dan pembiayaan berkelanjutan terus mengalir; sementara di AS tak demikian.
Kalau penjelasan pertama dan kedua mengapa perhatian pada ESG itu surut itu berasal dari faktor-faktor eksternal—yaitu geopolitik di Rusia dan budaya politik di AS—penjelasan ketiganya bersifat internal. Desiree Fixler, mantan kepala ESG di DWS, sebuah perusahaan manajemen aset besar Jerman yang merupakan anak perusahaan dari Deutsche Bank, mengungkapkan masalah praktis yang dihadapi perusahaan investasi besar dalam mengukur dan membuktikan kinerja investasi mereka berdasarkan prinsip-prinsip ESG. Ada kesenjangan besar antara klaim di ruang publik versus kinerja yang sesungguhnya.
Sebagai contoh, Fixler menunjuk Wirecard yang ditempatkan sebagai salah satu posisi teratas dalam daftar DWS ESG pada tahun 2020, malah terlibat dalam skandal besar. Ketika Ernst & Young menolak menandatangani laporan keuangan Wirecard, DWS malah meningkatkan peringkat Wirecard dalam hal tata kelola perusahaan dan etika bisnis! Akhirnya, CEO Wirecard Marcus Braun ditangkap, Jan Marsalek dalam pelarian, dan perusahaan tersebut bangkrut. Fixler menyadari bahwa greenwashing—praktik menyebarluaskan klaim keberlanjutan yang menyesatkan—telah menyebar luas di pasar ESG, padahal ESG telah menjadi alat pemasaran besar bagi manajer aset mana pun.
Karenanya, Fixler kemudian memutuskan untuk mengungkapkan masalah ini kepada publik, didukung oleh dokumen dan bukti yang ada. Tuduhan yang dia sampaikan berdampak besar, mengarah pada penggerebekan besar-besaran oleh otoritas Jerman di kantor DWS. DWS kemudian secara signifikan mengurangi jumlah aset yang diklaim dikelolanya berdasarkan prinsip-prinsip ESG.
Setelah Putin, Carlson, dan Fixler, berikutnya adalah Stuart Kirk. Kirk sebelumnya bekerja sebagai jurnalis di Financial Times lalu menjabat sebagai kepala investasi di HSBC Asset Management. Kirk membuat pernyataan kontroversial saat memberikan pidato di konferensi FT Moral Money di London. Menurut Kirk, ESG itu jelas aneh bukan kepalang. Gegara urusan iklim, dunia ada dalam ancaman eksistrensial, tetapi indeks ESG malah terus menguat. Bukankah kalau benar ESG itu memperhitungkan kondisi eksternal terhadap peluang kinerja keuangan perusahaan, maka kabar soal iklim yang terus memburuk akan berdampak pada penurunan indeks? Presentasi Kirk menunjukkan bahwa semakin kerap bencana iklim dikabarkan, semakin tinggi pula indeks MSCI, dan karenanya dia melancarkan kritik yang keras atas ketidakmasukakalan itu.
Kirk kemudian dipecat lantaran kritik itu. Dia bilang, dirinya telah mengalami banyak gelembung pasar—seperti gelembung dotcom—di mana para analis bebas mengatakan bahwa saham dinilai terlalu tinggi dan berdebat tentang hal itu di perusahaan atau di mana pun. Namun, Kirk sangat heran mengapa gelembung ESG seperti tak boleh dikritik, dan barangsiapa yang melancarkan kritik bisa berhadapan dengan risiko kehilangan pekerjaan. Kirk juga menyatakan bahwa dia menerima banyak email dari orang-orang yang mengatakan bahwa mereka juga dipecat karena menyatakan kritik atas ESG.
Meramalkan Masa Depan ESG
Demikianlah, video itu memaparkan keempat orang yang dianggap bertanggung jawab menghentikan pesta ESG. Putin, yang pertama, membuat ESG menjadi perhatian sekunder lantaran konsekuensi geopolitik dari tindakan invasinya ke Ukraina. Carlson, yang kedua, membuat ESG menjadi lokasi peperangan ideologis di politik AS. Fixler, yang ketiga, membuka kesenjangan antara klaim dan kondisi objektif investasi yang dijual dengan label ESG. Dan Kirk, yang terakhir, melancarkan kritik atas ketidakmasukakalan kenaikan indeks ESG di dalam konteks ancaman krisis iklim yang terus membesar.
Apakah karena keempat orang itu ESG perlu dipikirkan ulang? Demikian tanya video itu di penghujungnya. Sejak Revolusi Industri, pertumbuhan global dan pembangunan didorong oleh penggunaan bahan bakar fosil. Kini, kita menyadari bahwa bahan bakar fosil sedang memanaskan planet kita, dan kita harus bergerak secepat mungkin menuju era pasca-bahan bakar fosil. Masa depan kita bergantung pada transisi ini. Dalam proses transisi ini, jelas akan ada kekayaan dalam jumlah besar akan muncul dan hilang. Kita perlu tolok ukur kinerja rendah karbon yang baru, yang mencerminkan dunia yang harus kita bangun, bukan dunia yang ingin kita tinggalkan.
Karena itu, video ini menyatakan bahwa istilah ESG mungkin segera akan ketinggalan zaman, dan mungkin itu adalah hal yang baik, karena hingga sekarang lebih banyak yang hanya memanfaatkannya sebagai label belaka. Kita mungkin saja tidak akan membicarakan ESG sebagai ceruk investasi dalam 5 atau 10 tahun ke depan. Sebagai gantinya, keberlanjutan akan menjadi bagian integral dari proses investasi. Data ESG sebagai masukan akan menyatu dengan proses investasi dan pembiayaan dan mungkin akan menghilang namanya begitu saja, karena semua orang akan menyadari pentingnya memanfaatkan itu.
Video ini juga kemudian menyatakan, yang akan menjadi fokus selanjutnya adalah penilaian skor dampak positif. Setiap pendanaan akan diberi label dengan jelas, dengan peringatan bahwa dampak positif tersebut dapat memengaruhi keuntungan. Investor yang lebih memperhatikan dampak investasinya sangat mungkin akan berkata, “Saya tidak keberatan dengan pengembalian 4,5 persen, bukan 6 persen.”
Di sisi yang lain, video ini juga menyatakan, mereka yang berpendapat bahwa ESG sudah mati atau hanya sekadar label politik itu jelas salah. ESG bukanlah tentang (perang budaya) politik, sebagaimana yang banyak diperbincangkan di AS. ESG adalah tentang berpikir jangka panjang dan mempertimbangkan bagaimana memastikan keuntungan dengan cara yang lebih cerdas. Dan karena di masa depan kita akan mendengar lonceng kematian bagi bahan bakar fosil, para pemegang saham di sektor minyak dan gas yang bepikir jangka panjang mungkin akan terjebak dalam posisi yang kurang menguntungkan.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan ketika membahas masa depan ESG juga adalah mayoritas Gen Z dan Milenial tidak percaya pada Kapitalisme. Para pemimpin negara dan bisnis terus berbicara tentang pentingnya penanganan perubahan iklim dan menyatakan berkomitmen pada ESG dan Kapitalisme Pemangku Kepentingan. Namun, generasi muda terus menyaksikan bahwa pengendalian krisis iklim yang nyata tidaklah benar-benar terwujud. Kekhawatiran besar di antara generasi muda adalah ketidakstabilan politik dapat muncul sebelum tahun 2050, lantaran melihat target nol emisi bersih—yang menjamin dampak iklim bisa relatif terkendali—ternyata tidak akan tercapai.
Padahal, jelas sekali terdapat peluang besar dalam transisi hijau. Menempatkan investasi dan pendanaan—termasuk dana pensiun yang berorientasi jangka panjang dan jumlahnya sangat besar—dalam teknologi hijau yang akan digunakan di seluruh dunia adalah langkah yang masuk akal jika kita semua ingin keluar dari krisis iklim. Yang terpenting, menurut video ini, adalah melakukan pekerjaan serius untuk menghadapi tantangan dan peluang yang ada. Mereka yang melakukannya dengan benar akan mendapatkan manfaat dari gelombang transformasi ekonomi terbesar dan salah satu peluang terbesar dalam sejarah peradaban manusia.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Jadi, narasi yang dikembangkan oleh Financial Times itu sesungguhnya mau menyatakan bahwa ESG itu seharusnya tak diperlakukan sebagai pesta belaka. Masa itu mungkin sudah lewat, gegara empat orang yang bekerja dengan tidak sengaja (Putin) atau sengaja namun dengan motivasi yang berbeda-beda (Carlson, Fixler, dan Kirk) membuat para pendukung ESG berefleksi dengan lebih hati-hati. Pesta ESG sendiri berakhir, namun kemajuan dalam keuangan berkelanjutan tidak disangkal. ESG diramalkan akan menjadi praktik investasi yang normal, sehingga tak perlu ada sebutan investasi berbasis ESG secara khusus. Persis seperti yang dinyatakan oleh Alex Edmans dalam artikel bernasnya, The End of ESG.
Video itu juga menyatakan, lantaran krisis iklim perlu penanganan yang jauh lebih serius dibandingkan apa yang kita lihat sekarang, maka investasi berdampak (impact investing)—atau apa pun namanya—akan menjadi jauh lebih dibutuhkan. Sesungguhnya, ada banyak isu lingkungan dan sosial lainnya yang juga akan membuat investasi berdampak itu menjadi pilihan yang lebih masuk akal dibandingkan investasi berbasis ESG yang masih lebih mengutamakan keuntungan finansial dibandingkan dampak lingkungan dan sosial dari investasi. Dan, investasi berdampak ini sesungguhnya jauh lebih diperlukan oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Dari sisi iklim sendiri, Indonesia berada di Asia Tenggara, yang oleh Laporan Keenam IPCC dinyatakan sebagai wilayah paling terdampak dan rentan. Kalau investasi dan pendanaan di kawasan ini tak sesegera mungkin diarahkan untuk mitigasi dan adaptasi yang dalam, maka tentu akan membahayakan masa depan generasi mendatang Indonesia. Di luar isu iklim, ada banyak pekerjaan rumah ketika kacamata Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) kita pergunakan. Dan, itu semua membutuhkan pendanaan dalam jumlah yang besar. Kita tak butuh investasi dan pembiayaan yang makin menjerumuskan ke dalam kubangan ketidakberkelanjutan—melainkan yang bisa mengangkat kita keluar dari situasi yang tak menguntungkan itu.
Oleh karenanya, mengambil pengetahuan dan hikmah dari video ini, agaknya kita perlu juga segera berhenti memperlakukan ESG sebagai sekadar pesta dengan segala gegap gempita seremonial dan penghargaan. Kita juga harus berhenti menggelar karpet merah untuk perusahaan-perusahaan yang menunggangi istilah ESG buat kepentingan greenwashing yang sekarang tampak dianggap wajar atau dibiarkan begitu saja. Kita perlu dengan segera membuat sektor keuangan bekerja untuk tujuan keberlanjutan, restorasi, dan regenerasi. Dan itu artinya juga menggerakkan energi kita semua untuk mentransformasi ESG menjadi kenormalan baru, sambil juga mengarahkan sebanyak mungkin sumber daya finansial ke dalam investasi berdampak. Bisakah kita?
Bacaan terkait
Mewujudkan Transisi Energi (yang Katanya Harus) Berkeadilan
Setelah Heboh Ulil, Bahlil, dan Tahlil: Mungkinkah Pertambangan Hijau?
Generasi Muda dan Krisis Iklim: Kami yang Cemas dan Marah
Bisakah Lingkungan Membaik? Atau Kiamat Lingkungan Makin Dekat?
Ulasan Pembaca 6