Mendarat jam 5 pagi waktu Dubai, Uni Emirat Arab, lalu tergopoh-gopoh mengikuti jalur pindah pesawat bersama ratusan orang lain, diiringi teriakan-teriakan petugas, bukanlah pengalaman yang sesungguhnya cukup menyenangkan.
Tetapi ketika seluruh proses transfer itu selesai, saya melihat pemandangan menakjubkan. Serombongan anak sekolah berseragam serempak menghampiri tempat sampah. Mereka, agaknya dari salah satu negara Afrika, mengeluarkan sampah dari tas-tas mereka, lalu memindahkannya ke tempat-tempat sampah yang tersedia.
Itu adalah tindakan pertama yang mereka lakukan segera setelah lepas dari prosedur pindah pesawat! Apa yang mereka lakukan ini sungguh menjadi pengingat buat saya, bahwa perilaku positif itu benar-benar bisa diajarkan, dan hasilnya sungguh menakjubkan.
Sayangnya, senyum di wajah saya tetiba menciut. Bukan lantaran apa yang saya lihat kemudian (yaitu bocah-bocah itu tersenyum dan berjalan santai namun tertib), melainkan saya ingat peristiwa persis seminggu lampau. Hari Jumat pagi, di Malang, Jawa Timur. Dan lebih kecut lagi mengingat apa yang saya diskusikan dua hari sebelumnya.
Saya, atas nama salah satu lembaga di mana saya menjadi penasihatnya, Social Investment Indonesia, diundang untuk bicara di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya di Rabu pekan itu. Temanya: Ekonomi Sirkular. Silakan tersenyum untuk pembaca yang sudah bisa menebak apa yang bakal saya sampaikan.
Setelah memberikan pengantar soal sistem produksi, distribusi, dan konsumsi yang dirancang nir- atau minimal sampah, saya tunjukkan bahwa ekonomi yang demikian hanyalah mencakup sekitar 7% saja kondisi sekarang di tingkat global. Sementara, sekitar 93% ekonomi itu adalah Ekonomi Linear yang mengikuti alur ambil-buat-pakai-buang. Alur itulah yang membuat kita berhadapan dengan deplesi sumber daya, sekaligus masalah sampah yang memeningkan kepala (dan menyiksa mata serta hidung).
Apa yang saya sampaikan itu mendapat sambutan baik dari mahasiswa. Pertanyaan-pertanyaan dari mereka menarik dan reflektif. Termasuk pertanyaan soal Ekonomi Donat karya Kate Raworth. Jadi, para mahasiswa itu, setidaknya sebagian di antara mereka, sudah sadar masalah, dan secara aktif mencari solusinya.
Setelah acara itu berakhir di sore hari, saya dan rekan-rekan SII ngobrol ngalur-ngidul soal situasi Jawa Timur dan Malang. Esok harinya, Kamis, saya didapuk untuk bicara soal keberlanjutan, keberlanjutan perusahaan, CSR, CSV hingga ESG oleh rekan-rekan dari BNI. Sama dengan para mahasiswa, para pekerja BNI juga antusias bertanya dan berbagi pandangan soal keberlanjutan. Tentu, persoalan deplesi sumber daya dan sampah juga jadi bagian perbincangan di antara kami.
Malam harinya, rekan-rekan BNI berbaik hati meminjamkan kendaraan kepada saya. Maka, meluncurlah saya ke Masjid Agung Jami’ Malang untuk menunaikan ritual saya di setiap tempat yang saya kunjungi: salat di masjid tertua dan/atau terbesar. Dan, lantaran itulah saya jadi tertarik dengan alun-alun di depannya yang malam itu tampak berpendar. “The pavement shines like silver.” Begitu lirik lagu On My Own, dari musikal Les Miserables yang tetiba menyeruak ke kepala saya.
Masalahnya, saat itu sudah kelewat malam, dan saya ingin melihat tempat itu dengan lebih jelas. Pengemudi kendaraan yang saya tumpangi menyanggupi untuk menjemput saya pukul 05.30 keesokan harinya, agar saya bisa berjalan pagi menikmati udara Malang yang segar, di taman yang malam itu sangatlah menarik.
Tapi masalah dengan pagi hari adalah cahaya yang tersedia dalam jumlah berlimpah. Ia tak bisa berdusta. Apa yang tampak menarik di malam hari, jadi sumber kekecewaan saya di pagi itu. Walau ada larangan membuang sampah, merokok, dan berjualan, agaknya larangan itu sama sekali tak punya gigi atau taji.
Sambil berjalan pagi itu, saya saksikan betapa jumlah tempat sampah yang sangat memadai di sana sama sekali tak membuat pengunjung taman menjadi jagoan dalam membuang sampah pada tempatnya. Tempat-tempat sampah yang membedakan 3 jenis sampah, diberi tulisan contoh masing-masing jenis, lumpuh di hadapan ketidakpedulian banyak pengunjung alun-alun. Mereka demikian “ringan tangan” membuang sampah di depan, belakang, dan samping kiri-kanan tempat sampah. Sementara tempat-tempat itu melompong, tak mendapat “pengunjung”.
Tentu, perokok juga ringan menabur abu dan membuang puntung dan bungkusnya di situ. Penjual panganan, dan konsumennya, rajin pula membuang sampah di rerumputan atas lantai semen taman. Salah satu akibatnya, tikus tak sedikit yang bersimbiosis mutualisme dengan para pembuang sampah itu. Ada tikus yang makan bekas buangan makanan dengan santainya, ada pula yang menyeret bungkusan makanan ke dalam lubang di sebuah gundukan. Tak seepik video tikus menyeret pizza yang viral itu, tapi untuk ‘kelas’ Malang, miriplah.
Ketersediaan tempat sampah di alun-alun itu banyak. Sama dengan yang saya lihat di Dubai ini. Bedanya, di sini dimanfaatkan, di sana jadi pajangan. Di sini kumpulan pelajar secara tertib membuang sampah yang mereka bawa, di sana orang dewasa sembarangan membuangnya hingga tak lagi punya wibawa.
Saya berpikir persoalan sampah jelas tak bisa diselesaikan dengan penyediaan fasilitas belaka. Di Tokyo, tak ada tempat sampah di ruang publik, dan kita tak bisa melihat sampah sepotong pun. Ini jelas masalah mentalitas. Para pembuang sembarangan akan tetap begitu walau disediakan fasilitas; sementara mereka yang sadar kebersihan tak bakal membuang sampah sembarangan walau tak ada sebiji pun tempat sampah yang bisa mereka pergunakan.
Kalau kemudian saya tarik lagi ke substansi dialog saya dengan para mahasiswa FEB Unibraw, kira-kira bagaimana Ekonomi Sirkular bisa terwujud pada masyarakat yang bahkan belum bisa memasukkan sampah ke dalam tempat yang sudah tersedia?
Dubai, 27 September 2024, 09:20.
Bacaan terkait
Kala Para Pemimpin Keberlanjutan Berkumpul di Negeri Singa
2 Buku Agama Terbaru tentang Lingkungan
Agar Fikih Lingkungan Beneran Bertaring
Bisakah Lingkungan Membaik? Atau Kiamat Lingkungan Makin Dekat?