Ketika wacana ormas keagamaan bakal diberi konsesi tambang digulirkan, keributan langsung terjadi. Apa bisa ormas keagamaan mengelola tambang? Begitu yang banyak dipertanyakan orang. Jelas, keraguan terhadap kapasitas ormas dalam pengelolaan tambang itu masuk akal, lantaran memang selama ini mereka tak punya rekam jejak itu. Tetapi, secara berseloroh, saya pernah bilang ke rekan-rekan bahwa siapa pun sebetulnya tak punya kapasitas itu, kalau yang dituntut adalah pertambangan dengan kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan yang tertinggi. Sebagai orang yang terus-menerus menyaksikan pertambangan dari dekat sejak lebih dari dua dekade lalu, saya tahu persis bahwa pekerjaan rumah di sektor ini seabrek.
Yang lebih serius, saya tahu bahwa ada banyak orang-orang terkemuka di bidang pertambangan—termasuk mereka yang mengelola aspek sosial dan lingkungan—sebetulnya sedikit banyak terkait dengan atau bahkan jadi anggota aktif ormas keagamaan, termasuk Nahdlatul Ulama (NU), yang paling menonjol dalam wacana ini. Tetapi sejujurnya saya tak tahu apakah merekalah yang bakal diminta cawe-cawe, atau setidaknya bakal diminta masukannya, manakala ormas seperti NU bakal mulai menambang. Bagaimanapun, saya melihat ada faksi tertentu di dalam tubuh NU yang tampak lebih gringgingen untuk segera menggali, sementara ada faksi-faksi lain yang seperti tak digubris peringatannya.
Minggu lalu urusan ini jadi jauh lebih serius. Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla “turun gunung”. Dia menegaskan pendiriannya soal ini, lewat pertemuan serta lewat tulisan ringkasnya yang tersebar di banyak grup WA. “Saya sejak dulu tidak “sarujuk” dg mayoritis aktivis lingkungan yg nadanya “alarmis” (menakut-nakuti) soal isu lingkungan. Saya menganut mazhab “reasonable environmentalism”, yakni, menyikapi secara masuk akal dan wajar-wajar saja (reasonable) soal lingkungan. Ndak usah menggunakan narasi alarmis, menakut-nakuti, dan paranoid. Jika memakai bahasa agama, menyikapi soal sumber daya alam, terutama soal batu bara, secara su’udz dzann.” Begitu potongan tulisannya.
Dia kemudian melanjutkan, “Saya lebih suka pendekatan yg dipakai oleh seorang aktivis lingkungan dari Denmark, Bjorn Lomborg. Bukunya “False Alarm” pantas dibaca oleh aktivis lingkungan agar tidak “paranoid”.”
Karya Lomborg tersebut lengkapnya berjudul False Alarm: How Climate Change Panic Costs us Trillions, Hurts the Poor, and Fails to Fix the Planet, terbit di tahun 2020 lalu. Saya juga diberi tahu bahwa dalam pertemuan tertentu, dia membagikan versi elektronik dari buku Unsettled: What Climate Science Tells Us, What It Doesn’t, and Why It Matters karya Steven Koonin dari tahun 2021. Versi terbaru buku Koonin ini baru saja terbit beberapa hari lalu.
Buat saya, posisi ini sangatlah menarik. Dan, karena dia menggunakan dua buku tersebut sebagai sandaran pendiriannya, maka akan menjadi lebih menarik lagi bila warga NU, juga mereka yang terus mengikuti wacana ini, untuk memeriksa kedua buku itu, dan mengetahui posisinya di dalam sains perubahan iklim. NU, bagaimanapun, berisi banyak cendekiawan yang mampu memahami dan memetakan sains iklim. Apalagi, di bawah naungan Pengurus Besar NU sendiri ada Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) yang telah melahirkan pandangan-pandangan fikih lingkungan.
Lomborg, walau banyak menulis isu lingkungan, sesungguhnya berlatar pendidikan politik. Dia mengajar statistika di Universitas Aarhus, Denmark, hingga tahun 2005, lalu pindah ke Copenhagen Business School untuk mengajar perumusan kebijakan. Di tahun 2001 dia menjadi sangat terkenal di dunia internasional lantaran terjemahan bukunya ke dalam bahasa Inggris, The Skeptical Environmentalist. Buku tebal tersebut membetot perhatian publik lantaran pesannya—yang kemudian menjadi “merek dagang” Lomborg—bahwa kondisi lingkungan tidaklah seburuk yang disangka orang.
Debat yang terjadi setelah buku itu diterbitkan memunculkan tuduhan bahwa Lomborg cenderung mengambil data yang disesuaikan dengan narasi yang mau dia sampaikan. Danish Committees on Scientific Dishonesty (DCSD) kemudian memeriksa buku itu dan menyimpulkan bahwa buku itu tidak merepresentasikan fakta ilmiah, tetapi Lomborg dinyatakan tidak bersalah karena dia bukan pakar dalam bidang yang dituliskan itu. Jadi, bukannya dia tidak jujur, melainkan tidak memiliki kapasitas saja.
Kesimpulan itu jelas tak membuat Lomborg berkecil hati, apalagi kemudian berhenti berkarya. Dia menulis beberapa buku lagi setelah kontroversi itu. Cool It: The Skeptical Environmentalist’s Guide to Global Warming adalah bukunya yang kedua, terbit di tahun 2007, yang kemudian dia lanjutkan menjadi film dokumenter dengan judul yang sama. Smart Solutions to Climate Change, Comparing Costs and Benefits terbit di tahun 2010; empat tahun berselang, terbit How to Spend $75 Billion to Make the World a Better Place; disusul False Alarm; dan di tahun 2023 lalu ada Best Things First: The 12 Most Efficient Solutions for the World’s Poorest and Our Global SDG Promise. Di luar itu, dia juga menyunting beberapa bunga rampai.
Walau buku-buku Lomborg mendapatkan banyak pujian dari berbagai pihak karena dianggap membangkitkan optimisme tentang kondisi lingkungan, namun pujian itu datang bukan dari para ilmuwan spesialis. Ketika salah satu ekonom paling berpengaruh dalam isu iklim, Joseph Stiglitz, memeriksa False Alarm, dan menuliskan resensi berjudul Are We Overreacting on Climate Change?, dia sama sekali tidak terpesona pada apa yang dipaparkan Lomborg. Kata Stiglitz, Lomborg terlalu percaya diri bahwa pasar dan teknologi akan menyelesaikan isu seperti pembangkit listrik tenaga batubara sehingga memberikan harga karbon yang kelewat rendah. Kesalahan berikutnya, Lomborg meremehkan dampak ekonomi dari krisis iklim, tak lengkap berhitung beragam risiko dari peningkatan konsentrasi karbon, dan karenanya Lomborg juga tak menyarankan tindakan yang serius atas emisi dan “merelakan” anak-cucu kita berhadapan dengan kenaikan suhu 3,5-4 derajat Celsius di akhir abad ini.
Bob Ward, direktur di the Grantham Research Institute on Climate Change and the Environment pada the London School of Economics (LSE) di dalam resensinya yang terbit di The Guardian menyatakan, dirinya terbahak ketika mendapati bahwa Lomborg menyimpulkan bahwa kondisi optimal peningkatan suhu—dengan menimbang kerusakan versus biaya yang dikeluarkan untuk menekan emisi—adalah kenaikan 3,75 derajat Celsius. Grafik yang dibuat Lomborg pada bukunya menunjukkan bahwa seandainya suhu Bumi naik 4,1 derajat Celsius, GDP cuma akan menyusut 4%, dan kalau suhu naik hingga 7 derajat Celsius pengurangannya “hanya” akan mencapai 15%. Para pakar ekonomi ekologis memperkirakan dampak yang jauh lebih serius daripada itu. Lagi pula, kondisi katastrofik yang mengiringi kenaikan suhu di tingkat yang “disarankan” Lomborg itu, menurut para pakar kebencanaan iklim—bukan menurut aktivis “alarmis”—sesungguhnya sangat mengerikan.
Bagaimana dengan Steven Koonin? Dibandingkan Lomborg yang belajar ilmu politik, Koonin tampaknya memiliki kredensial sains yang jauh lebih meyakinkan. Ia belajar untuk menjadi sarjana sains di Caltech, lalu beroleh gelar PhD di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Setelah lulus, dia kembali ke Caltech dan memiliki beragam jabatan hingga 2004. Dia lalu menyeberang ke sektor swasta, menjadi ilmuwan kepala di perusahaan migas British Petroleum (BP) hingga tahun 2009. Di bawah pemerintahan Obama, dia ditunjuk menjadi wakil menteri bidang sains di Kementerian Energi, sampai masa jabatannya selesai di tahun 2011. Kini dia tercatat sebagai profesor dalam bidang rekayasa perkotaan di New York University (NYU).
Pertanyaannya kemudian adalah apakah Koonin memiliki kepakaran yang memadai dalam sains iklim? Mark Boslough, mantan mahasiswa Koonin di Caltech, yang jauh lebih mendalami isu-isu iklim tak berpikir begitu. Dalam tulisannya yang terbit di Yale Climate Connections, A Critical Review of Steven Koonin’s ‘Unsettled’, Boslough menuturkan bahwa profesornya itu jelas sangat pintar dan menyenangkan. Masalahnya, dalam urusan sains iklim Koonin telah menunjukkan bias sejak awal.
Keanehan Koonin, menurut Boslough misalnya, ditampakkan ketika dia memimpin sebuah komite di organisasi American Physical Society. Pada saat kepemimpinannya itu, konsensus ilmiah dalam sains iklim terkait dengan sebab antropogenik itu ada di tingkat 97%. Namun, di komite yang dipimpin Koonin ditunjuk 3 orang yang merepresentasikan konsensus itu, dan 3 orang yang berpandangan kontrarian. Dalam buku Koonin sangat jelas bias itu terus ditunjukkan, dan di sisi lain, Koonin menuduh bahwa para ilmuwan yang berkonsensus melebih-lebihkan risiko. Tak mengherankan kalau dalam resensi yang lain, Gary Yohe, seorang profesor ekonomi lingkungan, langsung memberikan judul keras, A New Book Manages to Get Climate Science Badly Wrong karena dongkol pada banyaknya misrepresentasi sains di buku tersebut.
Tetapi, komentar paling telak terhadap ketidakakuratan analisis Koonin atas sains iklim agaknya diberikan oleh dua belas pakar yang menulis bersama-sama di Saintific American. That ‘Obama Scientist’ Climate Skeptic You’ve Been Hearing About …, begitu judul artikelnya, dan disusul dengan subjudul His track record on getting climate science right is extremely poor.
Tiga nama pertama penulisnya sangat terkenal reputasinya dalam sains iklim. Naomi Oreskes adalah profesor sejarah sains di Universitas Harvard yang menjadi sangat terkenal gegara membongkar industri pendusta sains lewat buku Merchants of Doubt, yang dia tulis bersama Erik Conway, sejarawan sains dari Caltech, di tahun 2010. Nama kedua, Michael Mann, adalah profesor sains atmosfer di Pennsylvania State University, yang terkenal dengan grafik kenaikan suhu Hockey Stick-nya. Ketiga, Gernot Wagner yang merupakan profesor ekonomi iklim di NYU. Oreskes dan Mann adalah di antara sasaran paling keras dari para pendusta iklim hingga sekarang.
Salah satu bagian terpenting dalam komentar mereka—saya kutipkan agak panjang—adalah “When it comes to the science, Koonin cherry-picks and misrepresents outdated material to downplay the seriousness of the climate crisis. In April, climate scientists fact-checked Koonin’s claims as encapsulated in a Wall Street Journal review, and found them to be highly misleading. They explain the many ways in which he presents outdated science as definitive and otherwise misrepresents studies to make it seem like that the science is still out on whether or not climate change will be bad. But if the science weren’t settled, as he claims, then that would cut both ways: It might be worse than we think, instead of being no big deal, as Koonin suggests.”
Koonin, menurut mereka, memilih data yang sudah ketinggalan zaman agar sesuai dengan narasinya, yaitu bahwa krisis iklim itu sesungguhnya tak semenakutkan yang digambarkan oleh para pakar. Masalahnya, kalau sains itu belum pasti, sebetulnya bisa jadi dampak krisis iklim bahkan lebih buruk daripada yang diramalkan para pakar.
Demikianlah. Di mata mereka yang benar-benar otoritatif, Lomborg dan Koonin dinyatakan telah memilih sumber-sumber yang sesuai dengan narasi mereka saja. Padahal, ada jauh lebih banyak buku dan artikel ilmiah yang posisinya berseberangan dengan kenyamanan palsu yang ditawarkan Lomborg dan Koonin. Terkait wacana ormas keagamaan, tambang batubara, dan iklim, agar pemahaman kita semua tentang apa yang sesungguhnya sedang dihadapi umat manusia karena krisis iklim itu lebih baik, buku dan artikel ilmiah yang ditulis oleh mereka yang lebih mumpuni dalam sains iklim jelas perlu dibaca dan dipahami dengan lebih serius.
Sesungguhnya, sama saja dengan di bidang-bidang ilmu lainnya, tak begitu sulit untuk mengetahui mana yang benar-benar memiliki otoritas ilmiah di antara para penulis buku dan artikel soal iklim.
Buku-buku yang ditulis untuk membongkar para pendusta (denier) dan penunda (delayer) penting dan urgennya tindakan atas iklim juga telah banyak tersedia. Selain karya Oreskes dan Conway yang telah saya sebutkan di atas, kita juga bisa mengaji kitab-kitab seperti Climate Change Denial: Heads in the Sand (Washington dan Cook, 2011); The Madhouse Effect: How Climate Change Denial Is Threatening Our Planet, Destroying Our Politics, and Driving Us Crazy (Mann dan Toles, 2016); Industrial-Strength Denial Eight Stories of Corporations Defending the Indefensible, from the Slave Trade to Climate Change (Freese, 2021); Hot Air: The Inside Story of the Battle Against Climate Change Denial (Stott, 2021); dan, yang paling mutakhir, Climate Obstruction: How Denial, Delay and Inaction are Heating the Planet (Ekberg, dkk., 2023) serta The Climate Change Counter Movement: How the Fossil Fuel Industry Sought to Delay Climate Action (McKie, 2023).
Buku-buku seperti ini, menurut hemat saya, perlu dibaca agar kita tak mudah menuduh para ilmuwan dan aktivis sebagai alarmis, dan malahan membela mereka yang membahayakan kehidupan umat manusia.
Baca juga:
Setelah NU Dapat Konsesi Tambang
Generasi Muda dan Krisis Iklim: Kami yang Cemas dan Marah
Bisakah Lingkungan Membaik? Atau Kiamat Lingkungan Makin Dekat?
Ulasan Pembaca 6