Sejak tahun 2000 dunia memasuki sebuah epos geologi baru, Antroposene. Begitu usul pakar kimia atmosfer, Paul Crutzen. Dia bilang pengaruh manusia atas atmosfer sudah sedemikian besarnya, sehingga masa baru, di mana perilaku manusia adalah penentu baik-buruknya Bumi dan segala isinya, patut diberi nama seperti itu. Ketika di awal tahun ini diskusi di antara ahli geologi menyatakan bahwa kita sesungguhnya tidak berada di epos geologi baru, para ahli itu tetap mendukung penggunaan istilah itu untuk menunjukkan betapa kuatnya pengaruh manusia terhadap lingkungan.
Kalau pengaruh perilaku manusia memang sekuat itu, jelaslah bahwa sesungguhnya kita bisa membuat lingkungan menjadi lebih baik. Tetapi, apakah ada bukti atas kemampuan itu? Bukankah konsentrasi gas rumah kaca (GRK) terus naik sejak Revolusi Industri? Hutan di mana-mana menghilang dengan kecepatan luar biasa tinggi? Mutu udara perkotaan semakin tak layak untuk dihirup?
Sejak tahun 1999 dunia mengenal apa yang disebut sebagai batas-batas planetari, atau planetary boundaries. Batas-batas itu diusulkan oleh Johan Rockstrom dan kawan-kawannya. Selang sepuluh tahun kemudian pengukuran dilakukan. Dari sembilan batas yang diketahui, tujuh batas diukur, dan tiga di antaranya—yaitu iklim, integritas biosfer, dan arus biokimia—dinyatakan telah lewat batas. Kabar itu sedemikian tidak mengenakkannya, sehingga menjadi perhatian banyak pihak bahkan di luar ilmuwan lingkungan.
Pada tahun 2015 pengukuran kembali dilakukan. Sama dengan sebelumnya, hanya tujuh batas saja yang dinilai, dan kali itu bertambah satu lagi batas yang terlampaui, yaitu perubahan sistem lahan. Jadi, sudah lebih dari separuh batas yang diukur.
Tahun 2023 lalu, pengukuran kembali dilakukan. Untuk pertama kali kita bisa menyaksikan kesembilan batas itu diukur. Hasilnya, enam dari sembilan batas itu telah lancung. Dua tambahan batas yang terlampaui itu adalah sistem air tawar serta entitas baru (yaitu plastik). Dengan hasil tersebut, tinggal pengasaman air laut, aerosol di atmosfer, dan ozon di stratosfer yang dinyatakan ada di batas aman.
Ada beberapa upaya pengukuran lain yang hasilnya serupa. Lebih dari 50 tahun lampau The Limits to Growth memberikan gambaran suram soal masa depan manusia. Kita bakal berhadapan dengan “kiamat” di tahun 2070-an lantaran tak bisa mengendalikan polusi dan/atau kehabisan sumber daya alam untuk memenuhi hajat hidup manusia. Ketika di tahun 2022 lalu pengecekan dilakukan, kesimpulannya adalah bahwa trajektori tersebut masih berlaku. Manusia seperti tak belajar apa-apa selama separuh abad.
Setiap tahun ada juga pengukuran Earth Overshoot Day, yang menggambarkan perbandingan antara konsumsi nyata manusia versus daya dukung Bumi. Hasilnya sama saja. Setiap tahun, sejak awal dekade 1970-an, hari ketika daya dukung itu terlampaui terus maju. Artinya, selisih antara konsumsi dengan daya dukung terus membesar. Kini, umat manusia seakan mengonsumsi 1,75 Bumi. Dari mana yang 0,75 itu diperoleh? Tentu dari jatah anak cucu.
Kalau demikian gambarannya, bukankah manusia memang dipastikan celaka? Syukurlah ternyata belum pasti demikian. Dr. Hannah Ritchie adalah ahli lingkungan yang sangat passionate dengan data. Selain mengajar di Universitas Oxford, dia juga adalah deputi editor dan pimpinan komunikasi sains di organisasi statistik terkemuka, Our World in Data.
Baru-baru ini, lewat buku pertamanya, Not the End of the World: How We Can Be the First Generation to Build a Sustainable Planet, dia mengguncang dunia. Bukan karena memberi tambahan kabar buruk yang sudah sangat banyak, tetapi karena dia memberi kabar yang realistis soal kondisi dunia—termasuk berbagai perkembangan yang menggembirakan.
Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa tiga hal di dunia ini sedang terjadi bersamaan. Tentu benar ada banyak indikator yang menunjukkan bahwa dunia ini kondisinya memburuk, seperti digambarkan di atas. Tetapi, di sisi lain, banyak juga indikator yang bilang bahwa dunia ini sedang dan terus membaik. Dan, yang ketiga, dunia ini jelas bisa lebih baik lagi. Bertentangan dengan keyakinan kebanyakan orang yang membaca data dengan rasa putus asa, kita sebetulnya sangat bisa menghindari kiamat gegara kerusakan lingkungan, kalau memilih tindakan yang tepat.
Ambil contoh tentang mutu udara. Banyak kota di dunia sedang bertambah buruk mutu udaranya. Tetapi kota yang dulu mutu udaranya paling buruk di dunia di awal abad ke-20, London, kini bisa jauh membaik. Beijing dulu dikenal sebagai kota yang dijuluki airpocalypse lantaran mutu udaranya yang membahayakan jutaan warganya. Namun, setelah pemerintahnya melamar menjadi tuan rumah Olimpiade 2008, mereka rajin bebenah, menekan seluruh sumber pencemaran udara, dan sekarang julukan itu tinggal sejarah.
Apa yang membuat banyak kota memburuk mutu udaranya? Mengapa kita sekarang ada di kondisi krisis—dan bukan lagi sekadar perubahan—iklim? Karena sejak Revolusi Industri kita memanfaatkan bahan bakar fosil yang jumlahnya terus bertambah untuk membangkitkan listrik, untuk industrialisasi, dan untuk transportasi. Statistiknya jelas. Pembangkitan listrik dengan batubara mengakibatkan 24,6 orang meninggal per terrawatt listrik; dari minyak bumi jumlahnya 18,4 orang; dan dari gas korbannya adalah 2,8 orang.
Namun, sekarang pembangkitan energi listrik dari energi terbarukan, terutama air, angin, dan surya sudah semakin murah—jauh lebih murah dibandingkan satu dekade lampau. Reratanya di tingkat global bahkan kini lebih murah daripada listrik dari energi fosil.
Kalau kita membangkitkan listrik dari air, jumlah yang meninggal per terrawatt susut menjadi 1,3 orang. Bila pembangkitannya dengan angin dan surya, angkanya turun semakin jauh menjadi 0,04 dan 0,02 kematian saja. Dan, karena sekarang jauh lebih besar investasi di energi terbarukan dibandingkan di energi fosil—sekitar 1,7 berbanding 1 di tahun lalu—mutu udara akan terus membaik, kematian akibat pembangkitan listrik akan terus menurun, dan emisi gas rumah kaca bisa segera memuncak segera lalu turun dengan cepat.
Masih banyak kabar baik lagi di dalam buku Ritchie itu. Walau masih ada, deforestasi bukan saja turun jauh dibandingkan satu-dua-tiga dekade lampau. Tiongkok bisa menambah luasan hutannya 40% sejak 1990, Spanyol hampir 34%, Prancis hampir 20%, dan India juga bisa menambah hampir 13%. Kita sering mendengarkan kabar soal hilangnya keanekaragaman hayati, tetapi berkat kerja keras para konservasionis di seluruh dunia, 50% spesies reptil, 47% mamalia, 45% ikan, dan 41% burung sedang meningkat populasinya.
Tetapi ingat, Ritchie—juga banyak pakar lainnya—tidak bilang kita sedang baik-baik saja. Kita masih menghadapi berbagai ancaman serius, bahkan eksistensial. Ada banyak negeri yang hutannya masih terus menyusut, dan sayangnya termasuk Indonesia. Ada banyak spesies yang populasinya terus menurun, seperti 57% amfibi dan 52% burung. Tetapi ini semua bukan nasib kita yang tak bisa diubah. Karena sejarah menunjukkan kita bisa membuat lingkungan jadi lebih baik, kalau kita bersungguh-sungguh, dan kalau kita bekerjasama dengan erat.
Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2024!
Ulasan Pembaca 5