Masalahnya adalah bukan hanya di umur kita atau apakah kita masih hidup di tahun 2050, tapi tahun 2050 dunia nanti sudah seperti apa? Apa masa depan yang akan dihadapi oleh anak-anak kita, cucu-cucu kita, generasi di bawah kita, di Indonesia pada tahun 2050 nanti.
Kenapa tahun 2050 menjadi patokan? Bukan semata karena tahun ini angkanya bagus dan bisa dijadikan judul film, tetapi karena tahun 2050 menjadi kesepakatan untuk melakukan tinjauan seberapa jauh umat manusia telah melakukan upaya-upaya preventif di dalam penanggulangan perubahan iklim.
Di dalam prediksi yang dilakukan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), ada 3 basis patokan waktu yang kemudian diikuti oleh banyak negara dan pemerintah dunia di dalam perencanaan pembangunan berkelanjutannya, yang kemudian juga digunakan menjadi acuan strategi dan rencana net zero emission dari banyak negara, yaitu tahun 2030, 2050, dan 2100.
Tahun 2030 menjadi acuan dari hasil implementasi Perjanjian Paris. Berlakunya implementasi Perjanjian Paris sejak tahun 2021 menjadikan tahun 2030 sebagai tahun berakhirnya implementasi mitigasi perubahan iklim tahap pertama yang kemudian harus dilakukan evaluasi pencapaiannya.
Tahun 2050 menjadi sangat penting karena berbagai prediksi menyatakan, nasib dunia dan umat manusia di masa datang bisa dilihat dari hasil capaian tahun 2050 dalam melawan perubahan iklim. Tahun 2050 dijadikan tahun acuan sebagai carbon neutrality year, diharapkan pada tahun tesebut negara-negara di dunia sudah berhasil melakukan implementasi pengurangan emisi sampai pada tahapan carbon neutral, yang artinya emisi yang dikeluarkan sudah seimbang dengan emisi yang diserap dan dinetralkan oleh proses fotosintesis dan kimiawi lain.
Pada praktiknya ternyata banyak negara yang kemudian bahkan di perencanaannya saja menyatakan mereka baru akan bisa melakukannya setelah tahun 2050, termasuk Indonesia.
Dan terakhir, tahun 2100 banyak menjadi patokan prediksi sampai seberapa tinggi terjadi peningkatan pemanasan global. Sampai seberapa jauh bumi kemudian mengalami perusakan yang berakibat menngkatnya bencana global bagi seluruh umat manusia dan kehidupan di bumi.
Kembali pada tahun 2050, yang sebenarnya masih 27,5 tahun lagi akan kita capai. Berapa umur Anda kalau masih sehat di tahun itu? How old you be in 2050? Atau di dalam bahasa tetangga kampung saya, berape umur ente di tahun 2050?
Kenapa kemudian pertanyaan ini menjadi sangat penting, ini tidak lain karena kecenderungan kita, termasuk saya, yang melihat tahun 2050 adalah tahun yang masih sangat panjang di depan. Kita belum tentu bisa mencapainya. Sudah bukan urusan kita lagi memikirkan tahun 2050 atau masa depan yang sangat panjang di depan kita.
Hal yang sama terjadi pada seluruh sistem perencanaan dan strategi negara kita tercinta Indonesia. Sangat jarang, bahkan mungkin tidak ada, perencanaan jangka panjang dan cetak biru pembangunan manusia dan negara, termasuk dan terutama pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim. Yang kemudian perencanaan paling panjang yang saya tahu sebelum ramai-ramai gerakan global untuk net zero emission adalah perencanaan tahun 2045, yang didasarkan 100 tahun setelah Indonesia merdeka, dan itu pun masih sangat abu-abu akan dibawa ke mana negara ini.
Perencanaan detail pembangunan Indonesia sekarang ini paling panjang adalah seumur pemilihan presiden saja, dalam skala 5 tahunan saja. Inti dari implementasi adalah mewujudkan janji-janji dan program kampanye presiden untuk pembangunan selama 5 tahun. Sementara cetak biru pembangunan jangka panjang jarang dipatuhi karena pembangunan akan lebih menitikberatkan kegiatan ekonomi yang terlihat saja.
Secara praktiknya bahkan pembangunan yang dilakukan biasanya hanya berkisar 3 tahun, atau paling lama 3,5 tahun. Setengah tahun pertama adalah perencanaan yang tergesa-gesa, 3 tahun berikutnya adalah eksekusi pembangunan, dan 1,5 tahun sisanya adalah persiapan pemilihan presiden berikutnya, sehingga pembangunan tidak berjalan secara efektif.
Pembangunan dan implementasi semacam ini, apabila digunakan pada pencegahan perubahan iklim, tentu saja sangat kurang mencukupi. Kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang skalanya jangka panjang puluhan tahun akan membutuhkan strategi jangka panjang yang sesuai.
Strategi jangka pendek 5 tahunan inilah yang sebenarnya tercermin dalam perencanaan net zero emission Indonesia yang jangka waktunya akan sampai tahun 2060 untuk mencapai netralitas karbon. Perencanaan ini saya nilai masih sangat sarat kepentingan dari pemerintah di masa sekarang (periode 2019-2024) yang sebenarnya masih sangat mendukung eksploitasi besar-besaran energi fosil, khususnya batubara.
Pemerintah masih sedapat mungkin mempertahankan batubara karena kepentingan ekonomi jangka pendek; batubara adalah pelumas sekaligus juga salah satu bahan bakar utama pembangunan dan politik. Terlihat dari perencanaan Indonesia, batubara akan tetap dipertahankan setidaknya sampai tahun 2045, baru kemudian akan dilakukan pengurangan secara signifikan.
Sepengalaman saya, hal ini kemudian sangat berpengaruh juga pada berbagai hal lain yang terkait, terutama implementasi energi terbarukan, pendanaan perubahan iklim, sampai pada bahkan pemahaman para pengambil keputusan untuk perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan. Semua kemudian berbasis pada perencanaan jangka pendek. Pendanaan jangka pendek. Dan bahkan kebijakan jangka pendek.
Akibatnya yang terjadi adalah kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tantangan terbesarnya justru adalah ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah dalam implementasinya.
Implementasi energi surya untuk mengurangi dan menggantikan pembangit listrik tenaga fosil misalnya, mengalami ketidakpastian kebijakan yang sangat parah selama beberapa tahun terakhir. Dari dukungan kuat untuk implementasi dengan diterbitkannya feed in tariff (FiT) untuk energi terbarukan, dicabutnya FiT dan digantikan dengan perbandingan biaya pembangkitan per area, dukungan untuk solar rooftop atau surya atap bisa diekspor listrik ke grid, menguatnya dukungan untuk surya atap, dan terakhir adalah pembatasan surya atap sampai dengan maksimal hanya 15% dari daya terpasang.
Dan ini semua terjadi dalam kurun waktu kurang dari 7 tahun terakhir.
Hal yang sama terjadi pada kegiatan implementasi efisiensi energi yang selama 10 tahun terakhir sudah beberapa peraturan presiden sampai peraturan menteri diundangkan, tapi sampai sekarang masih saja implementasinya jalan di tempat. Bahkan implementasi ESCO atau Energy Services Company, sampai sekarang belum ada, padahal sudah direncanakan puluhan tahun.
Hal serupa terjadi di setiap sektor di Indonesia. Ketidakpastian kebijakan adalah momok utama investasi dan implementasi pembangunan, terutama pembangunan rendah karbon dan pencegahan perubahan iklim.
Lantas akan ke mana kita tahun 2050? Akan sampai mana? Bagaimana capaian kita?
Meski mungkin akhirnya bukan para pelaku pembangunan sekarang yang akan menikmati hasilnya tahun 2050 nanti, tapi para generasi penerusnya, kegiatan pembangunan pembangunan berkelanjutan harus tetap dilakukan secara konsisten, terencana, dan bahkan selalu ditingkatkan.
Bagaimana caranya kalau kemudian pemerintah dan pelaku usaha selalu melakukannya secara jangka pendek?
Inilah kemudian pentingnya peran masyarakat dan pelalu non-pemerintah dalam melakukan kegiatan yang konsisten, terencana, transparan, dan berkelanjutan dalam perubahan iklim. Tidak bisa kemudian mengikuti ritme pembangunan pemerintah, apalagi kebijakan, yang selalu berubah-ubah berdasar kepentingan politik.
Sepengalaman saya, ada beberapa organisasi non-pemerintah yang sangat konsisten di dalam melakukan kegiatan pembangunan berkelanjutan. Beberapa nama NGO lokal yang konsistensinya tidak diragukan, antara lain, adalah Kehati, Institute for Essential Services Reform (IESR), Jatam, Yayasan Mitra Hijau, LEI, METI, TCRP, dan berbagai organisasi lain yang terbukti bertahan lintas rezim pemerintahan dan membawa marwah pembangunan berkelanjutan.
Organisasi-organisasi ini bahkan tidak ada jemu-jemunya melakukan upaya peningkatan kapasitas pada lembaga pemerintah dan bisnis, yang justru selalu berubah personel dan tingkat pengetahuannya.
Tapi, apabila kemudian semua hanya dilakukan oleh masyarakat dan organisasi non-pemerintah, tentu saja tidak cukup. Perencanaan detail jangka panjang yang kemudian harus dipatuhi secara bersama oleh semua pihak untuk implementasi pembangunan rendah karbon mutlak dibutuhkan. Kita harus mempunyai acuan bersama dan harus dipatuhi oleh semua rezim pemerintahan untuk implementasinya.
Hal ini di Indonesia tentu masih merupakan suatu mimpi. Bahkan beberapa undang-undang yang telah disahkan, termasuk UU Cipta Kerja/Omnibus Law, masih menunjukkan keberpihakan yang kuat pada energi fosil.
Apa kemudian yang harus dilakukan?
Ada banyak jawaban dan skenario sebenarnya untuk melakukan kegiatan implementasi pembangunan rendah karbon, tetapi balik lagi semua harus melibatkan pemerintah, partai politik, dan semua pihak yang terlibat. Tidak boleh ada yang ditinggalkan.
Dan balik-baliknya akhirnya adalah akan sangat tergantung kebijakan dan juga kepentingan terkait dari pemerintah dan partai politik yang sedang berkuasa. Dan ini terjadi secara terus-menerus dan konsisten. Yang konsisten di Indonesia justru adalah ketidakkonsistenan itu sendiri.
Ke depan mungkin keadaan akan membaik, dan semua sadar akan pentingnya implementasi pencegahan perubahan iklim yang semakin parah dan semakin nyata. Tapi, bisa juga sebaliknya.
Yang penting kita sudah berbuat hal yang kita yakini kebenarannya dan kebaikannya bagi bangsa dan negara. Yang penting kita sudah berkontribusi. Yang penting kita sudah menyuarakan suara kita, melakukan apa yang harus kita lakukan. Terlepas dari siapa nanti yang akan menikmati hasilnya.
Berapa umur anda di tahun 2050? Berape usia ente?
Yang penting kita sudah melakukan apa yang terbaik yang bisa kita lakukan. Tahun 2050 hanya sekejap mata lagi di depan.
Indonesia akan seperti apa tahun 2050?
New York, 6 Juni 2022
Ulasan Pembaca 1