Akhir minggu lalu Nahdlatul Ulama (NU) mengakhiri kesendiriannya dalam isu ormas dan pertambangan. Setelah selama berminggu-minggu NU, khususnya figur Gus Ulil, menjadi perhatian tunggal, akhirnya ormas Muhammadiyah bergabung. Lewat berbagai WhatsApp Group saya mendapat kiriman Risalah Pleno Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang Pengelolaan Tambang yang Ramah Lingkungan dan Kesejahteraan Masyarakat. Beberapa jam setelahnya, saya juga mendapat kiriman berbagai berita soal penerimaan Muhammadiyah atas tawaran konsesi tambang dari pemerintah.
Ada beberapa hal yang dalam pengamatan saya kemudian segera menyusul. Pertama, kreativitas warganet Indonesia, yang telah diakui seantero dunia, langsung tergerak. Muncul beberapa pernyataan ledekan seperti “Apa yang dipisahkan oleh tahlil, dipersatukan oleh Bahlil” atau—yang lebih nyelekit lagi—“Nyamar Makruf, Nyambi Mungkar.” Buat sebagian orang, pernyataan-pernyataan itu bisa dianggap kurang ajar dan tidak produktif, namun secara sosiologis, ledekan adalah pertanda bahwa ketidaksetujuan sudah sulit, atau dianggap tak lagi efektif, disampaikan lewat jalur ‘normal’.
Kedua, ledekan seperti itu semakin menjadi-jadi ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga diberitakan sedang menimbang untuk menerima, atau meminta, konsesi tambang bagi ormas keagamaan yang ditawarkan pemerintah. Apakah MUI itu ormas, begitu yang ditanyakan sebagian orang. Tetapi, wacana arus utamanya tak bergeser dari yang sebelumnya, yaitu soal kemampuan ormas keagamaan untuk bisa mengelola pertambangan dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntutan pertambangan modern—yaitu yang benar-benar optimal dalam pengelolaan lingkungan dan sosial, serta menegakkan tata kelola, dan bukan sekadar mencari keuntungan jangka pendek dengan mengabaikan, bahkan mengorbankan, lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Ketiga, walau jauh lebih sedikit kabarnya dibandingkan penerimaan Muhammadiyah dan keinginan MUI, ada berita-berita yang mengangkat wacana bahwa ormas non-keagamaan—dengan embel-embel “yang telah berjasa kepada Negara” juga akan mendapatkan tawaran serupa. Mungkin karena belum ada sambutan dari ormas-ormas non-keagamaan, maka berita-beritanya segera tenggelam.
Sebagai orang yang telah lebih dari dua dekade mencoba memperbaiki pengelolaan ingkungan, sosial, dan tata kelola sektor pertambangan dan migas dari dalam maupun luar perusahaan, saya mendapat banyak sekali pertanyaan dari rekan dan kolega. Beberapa orang menelepon langsung, lainnya meminta bertemu, ada juga yang mengirimkan pertanyaan melalui WA. Di antara yang mengirimkan pertanyaan itu ada salah seorang sahabat lama yang saya tahu cukup lama aktif di Muhammadiyah. Karenanya, saya menaruh perhatian ekstra terhadap pertanyaan-pertanyaannya, mungkin karena saya berharap jawaban saya bakal bisa sampai ke jantung ormas tersebut.
Tulisan ini adalah pengembangan atas jawaban yang saya berikan kepada sahabat saya tersebut. Setelah akhir pekan lalu dan awal pekan ini saya mendapat banyak tambahan informasi, dan memiliki waktu lebih lama untuk memikirkan dan menuliskan jawabannya, agaknya saya perlu melengkapi jawaban yang telah saya kirimkan itu, lalu mempublikasikannya agar pesan saya bisa menjangkau khalayak lebih luas.
Mungkinkan Pertambangan Dinyatakan Hijau?
Ini pertanyaan pertama yang saya terima. Kebanyakan orang akan dengan sangat cepat menjawab “tidak mungkin”, dengan bukti-bukti praktik pertambangan yang bisa disaksikan di seluruh penjuru Indonesia, juga di banyak negara lain. Tetapi, kalau ingin mendapatkan jawaban yang lebih bernuansa, ada banyak detail yang perlu didiskusikan.
Istilah “hijau” pada wacana keberlanjutan mengacu pada dua hal. Yang pertama kurang lebih berarti “memperhatikan lingkungan”, yang terutama ditandai dengan kebijakan, strategi, program dan kinerja pengelolaan lingkungan. Isu-isu lingkungan yang paling menonjol dalam pertambangan di antaranya adalah keanekaragaman hayati, air, polusi, dan emisi gas rumah kaca. Biasanya untuk menilai apakah tambang itu bisa dinyatakan hijau adalah dengan membandingkannya dengan standar internasional (misal IFC Performance Standards, ICMM, dan IRMA). Karena regulasi di Indonesia, termasuk yang diformulasikan sebagai PROPER KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan Good Mining Practice masih terlampau ringan, maka pakar akan keberatan untuk memanfaatkannya sebagai dasar perbandingan.
Yang kedua, “hijau” itu dimaknai dalam kontinum transformasi ekonomi. Ekonom John Fullerton, misalnya, menyatakan bagaimana perekonomian dan seluruh sektornya itu bergerak dari yang destruktif, ke yang hijau (berdampak negatif lebih sedikit), berkelanjutan (tidak memiliki dampak negatif), restoratif (memperbaiki yang telah rusak), dan pada tingkatan tertinggi menjadi regeneratif (membangun alam sesuai dengan kebutuhan masa mendatang). Karenanya, dalam pengertian ini “hijau” bukanlah hal yang sangat hebat, karena baru menjadi langkah pertama dalam perjalanan perbaikan kinerja yang panjang.
Mengacu kepada kedua pengertian itu, pertambangan sesungguhnya amat bisa mencapai kondisi hijau. Pertambangan sangat bisa memanfaatkan standar-standar pengelolaan dan kinerja lingkungan yang berlaku di level global. Buktinya, sudah banyak perusahaan tambang yang diaudit, diverifikasi atau disertifikasi dengan menggunakan standar-standar itu dan lolos. Pada pengertian kedua, yang malahan lebih longgar, tentu saja bisa dicapai.
Namun demikian, mayoritas pertambangan yang eksis sekarang di Indonesia, juga di banyak negara lain, masih tidak demikian. Dalam berbagai survei yang melibatkan para pakar dan praktisi keberlanjutan—yang paling mutakhir misalnya dari GlobeScan dan ICMM—ditunjukkan bahwa sektor pertambangan, apalagi pertambangan batubara, adalah sektor ekonomi yang paling tertinggal dalam upaya perbaikan kinerja keberlanjutan dibandingkan sektor-sektor lainnya. Mereka yang berada di dalam sektor ini, dan mengupayakan perbaikan kinerja dengan sungguh-sungguh, banyak mengeluh kepada saya tentang ketidakpedulian bagian-bagian lain di dalam perusahaan-perusahaan di mana mereka bekerja. Ketika mereka harus tampil di muka publik untuk menjelaskan progres yang telah dicapai perusahaannya, kita bisa mendengarkan berbagai hal positif. Tetapi, begitu duduk bersama dalam suasana yang lebih informal, terungkaplah sisi-sisi negatif yang kerap membuat mereka merasa frustrasi.
Profesionalitas Pertambangan
Bagaimana kita bisa menilai perusahaan tambang itu profesional atau tidak adalah pertanyaan kedua yang diajukan kepada saya. Saya mengingat dengan jelas bahwa lebih dari satu dekade lalu saya duduk santai bersama dengan seorang Indonesia yang menjadi pemimpin puncak sebuah perusahaan tambang multinasional. Percakapan itu di seputar tantangan untuk bisa membuat sektor pertambangan Indonesia menjadi lebih baik. Secara bergurau, sang CEO berkata kepada saya sambil terbahak, “Kuncinya ya adalah molimo. Tapi bukan molimo yang itu ya.” Selanjutnya, dia bilang, “Maksud saya, 5 M: Minerals, Man, Money, Machine, and Method.”
Menurut dia, sektor pertambangan itu harus dibangun di kelima aspek itu. Mineral, juga batubara, perlu dieksplorasi, diketahui potensi cadangannya, dan dikembangkan sesuai dengan industri hilirnya. Manusia-manusia yang bergerak di sektor pertambangan harus dikembangkan menjadi profesional yang mumpuni. Pembiayaan untuk seluruh rantai nilai pertambangan harus dipastikan tersedia sesuai dengan tujuan nasional sektor ini. Dua yang terakhir adalah perwujudan teknologi yang semakin canggih yang bukan saja akan membuat pertambangan menjadi efisien, melainkan juga semakin aman bagi pekerja, masyarakat, dan lingkungan. Dan, akhirnya, pasar yang artinya adalah industri hilir hingga konsumen akhirnya. Ketika saya bertanya apa yang menjadi tantangan terberat, dia menyatakan, “Kita cuma punya 1 M saja, mineral, yang ada di perut bumi Indonesia. 4 M yang lain masih sangat jauh.”
Setelah belasan tahun, walau perbaikan di sektor ini jelas terlihat, menurut saya, tantangannya bertambah. Sama dengan sektor bisnis lainnya, pertambangan kini semakin dinilai dari 4 aspek: lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social and governance/ESG), selain kinerja finansial. Kalau kita periksa publikasi-publikasi tentang risiko, peluang, dan tantangan sektor pertambangan selama beberapa tahun terakhir—misalnya yang diterbitkan secara reguler oleh Deloitte dan Ernst & Young—aspek-aspek itu sangat dominan, sehingga benar-benar menjadi penentu sukses/gagalnya sebuah perusahaan pertambangan di mana pun mereka beroperasi. Beberapa publikasi, misalnya oleh PwC, menunjukkan bahwa perusahaan pertambangan yang punya kinerja ESG yang tinggi memang cenderung menghasilkan kinerja finansial yang tinggi.
Karenanya, standar-standar internasional biasanya menunjukkan dengan tegas isu-isu pertambangan apa yang masuk ke dalam ESG itu—dan mereka membedakan antara pertambangan mineral dengan batubara. Selain standar-standar di atas, ada dua yang terpenting bagi pertambangan batubara. Pertama adalah standar Bettercoal dan yang kedua adalah Global Reporting Initiative (GRI) khusus untuk sektor pertambangan batubara. Standar GRI sektor ini, yang dikeluarkan pada tahun 2022 lalu namun berlaku mulai tahun 2024 ini, sangat penting diperhatikan oleh pertambangan batubara. Mayoritas perusahaan tambang batubara besar sudah cukup lama menggunakan standar GRI, namun detail sektoral yang kini diminta benar-benar menunjukkan ekspektasi pemangku kepentingan global.
Secara ringkas, terdapat 22 isu yang dianggap mungkin material untuk pertambangan batubara, yaitu: GHG emissions; Climate adaptation, resilience, and transition; Closure and rehabilitation; Air emissions; Biodiversity; Waste; Water and effluents; Economic impacts; Local communities; Land and resource rights; Rights of indigenous peoples; Conflict and security; Asset integrity and critical incident management; Occupational health and safety; Employment practices; Child labor; Forced labor and modern slavery; Freedom of association and collective bargaining; Non-discrimination and equal opportunity; Anti-corruption; Payments to governments; dan Public policy.
Masing-masing isu tersebut perlu diperhatikan, terutama dengan menunjukkan bagaimana perusahaan membangun kebijakan, strategi (termasuk target kinerja yang jelas dalam jangka menengah dan panjang), program, serta kinerjanya. Tentu saja mengelola keseluruhannya tidak mudah, namun itulah yang kini menjadi standar untuk menilai apakah sebuah perusahaan tambang batubara memang sungguh-sungguh mengelola dampak lingkungan dan sosialnya.
Tambang dan Syariat
Apakah pertambangan itu sesuai syariat Islam? Begitu pertanyaan ketiga, yang membuat saya merasa bukan wilayah pengetahuan saya untuk menjawabnya. Jelas, saya tidak punya kualifikasi memadai untuk menjawab ini. Tetapi, kalau tambang kemudian dinyatakan tidak sesuai dengan syariat Islam, kehidupan modern yang kita nikmati sekarang juga dipastikan tidak.
Saya mengetik jawaban ini dengan komputer yang hampir seluruh isinya adalah produk turunan pertambangan. Selain banyak logam, ada juga yang berupa plastik yang juga adalah hasil dari hidrokarbon, alias hasil ‘penambangan’ minyak. Listrik yang kita pakai di Indonesia mayoritasnya berasal dari batubara. Saya sarapan, makan siang, makan malam dan mengudap dengan sendok dan garpu yang berasal dari pertambangan juga, pun dengan cangkir kopi yang saya miliki. Ketika menengadah dan melihat apa saja benda di hadapan saya ketika mengetik, saya melihat hasil-hasil pertambangan yang sangat banyak.
Hampir saja otak saya menyatakan bahwa hanya tembok di hadapan saya yang tidak berasal dari pertambangan, namun kemudian saya menyadari bahwa pasir dan batu, juga semen, adalah hasil pertambangan juga, yaitu yang dikategorikan sebagai Galian C. Jadi, manfaat produk pertambangan untuk kehidupan tak bisa kita sangkal. Kalau tujuan syariat Islam di antaranya adalah merealisasikan kemaslahatan, maka hasil-hasil pertambangan jelas bisa kita nyatakan demikian.
Namun, di sisi lain, syariat Islam juga mengajarkan kita untuk meminimalkan, bahkan kalau mungkin, menghindari mudarat sama sekali. Jadi, bagi saya, pertanyaan terpenting kesesuaian pertambangan dengan syariat Islam juga adalah apakah sektor pertambangan batubara termasuk yang berada di Indonesia sudah benar-benar mengupayakan untuk meminimalkan, bahkan menghilangkan, dampak negatifnya dalam ke-22 isu yang disebutkan di atas.
Sebagai orang yang telah melihat operasi pertambangan batubara di seluruh perusahaan besar yang ada di negeri ini, dan cukup banyak pertambangan batubara ukuran sedang dan kecil, saya harus menyatakan pekerjaan rumah rantai nilai pertambangan batubara dalam meminimalisasi dampak negatifnya sangat banyak. Termasuk dan terutama adalah yang terkait dengan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakarannya.
Saya juga berpikir bahwa pertanyaan syariat Islam yang lebih luas bisa juga diajukan: adakah sumber energi yang bisa lebih tinggi manfaat dan lebih rendah mudaratnya daripada batubara. Sebagai orang yang telah cukup lama berkecimpung dalam isu-isu energi dan perubahan iklim, saya tahu jawabannya jelas ada. Posisi sains dalam hal ini jelas: umat manusia tak akan selamat bila tak melakukan penurunan emisi secara cepat, dengan sedapat mungkin mencapai net zero emissions di pertengahan abad ini. Itu artinya, sumber energi terbarukan adalah yang lebih tinggi manfaatnya, selain berpotensi jauh lebih rendah mudaratnya. Ini membuat pertambangan mineral untuk transisi energi menjadi ekstra-penting.
Dengan pengetahuan tersebut, mengapa, misalnya, NU dan Muhammadiyah, juga MUI, tidak berpikir untuk masuk ke pertambangan mineral untuk energi terbarukan? Saya tahu persis ini adalah bisnis yang jauh lebih kompleks dalam ‘molimo’ di atas. Kalau ingin lebih “mudah” dan bersih, mungkin ormas keagamaan bisa juga menimbang menjadi pebisnis pembangkit listrik tenaga surya, pembangkit listrik tenaga bayu, pembangkit listrik tenaga sampah, atau bahkan menjadi mitra bisnis dalam manufaktur dan penjualan kendaraan listrik. Menurut hemat saya, dengan segala keterbatasan, bisnis terkait energi terbarukan lebih dekat kepada tuntunan syariat Islam.
Kemampuan Ormas Mengelola Konsesi Pertambangan
Pertanyaan keempat, dan terakhir, yang disampaikan kepada saya adalah apakah ormas keagamaan bakal mampu mengelola konsesi pertambangan yang diberikan oleh pemerintah. Sesungguhnya saya sangat tergoda untuk menyatakan dua hal. Pertama, kalau kebanyakan perusahaan pertambangan saja masih banyak pekerjaan rumahnya dalam pengelolaan pertambangan sesuai ekspektasi pemangku kepentingan, apakah masuk akal pemain baru akan bisa melakukannya dengan baik, atau bahkan lebih baik? Kedua, bukankah kita kerap mendengar peringatan bahwa kalau suatu urusan tidak diberikan kepada ahlinya, maka kehancuran adalah masa depan yang ‘pasti’? Tetapi, saya menahan diri untuk tidak memastikan hal tersebut.
Ormas seperti NU dan Muhammadiyah punya banyak sekali orang yang kapabel untuk mengelola beragam isu di atas. Saya tahu ada nama di Pengurus Besar NU yang kini jabatannya cukup tinggi di BUMN pertambangan. Kalau tidak bisa ditemukan di antara anggota dan simpatisannya, mereka bisa mencari profesional dari luar. Mereka bisa juga meningkatkan kapasitas kalau memang sudah mulai bekerja. Jadi, urusan ada/tidaknya kapasitas dan mungkin/tidaknya peningkatan kapasitas sesungguhnya sangat mudah diselesaikan.
Isunya yang lebih penting adalah apakah memang ormas keagamaan kemudian mau mengelola pertambangan dengan upaya terbaik, ataukah kepentingan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat mungkin yang lebih diperhatikan? Beberapa kali petinggi NU bilang bahwa NU memang butuh uang. Kalau itu yang menjadi motivasinya sebagai pemegang saham, apakah pemangku kepentingan lainnya akan dikorbankan ataukah benar-benar diperhatikan kepentingannya?
Muhammadiyah yang jauh lebih tegas dalam dokumennya soal pengelolaan maslahat dan mudarat tentu perlu dilihat implementasinya. Kalau sebagai pemegang saham dan atau pengelola konsesi ormas keagamaan berperilaku sama saja dengan kebanyakan investor/direksi pertambangan di Indonesia yang lebih mementingkan keuntungan finansial jangka pendek, saya khawatir kita akan melihat masyarakat menjadi (makin?) sinis kepada ormas keagamaan, dan ejekan-ejekan warganet akan menjadi jauh lebih sering kita dengar dan baca.
Sebaliknya—ini yang saya harapkan—kalau ormas keagamaan menunjukkan kemampuan menjadi pengendali bisnis pertambangan yang lebih tinggi kinerja lingkungan, sosial, tata kelola dan juga finansialnya dibandingkan yang lain, tentu akan menjadi teladan yang menarik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa agama sesungguhnya bisa menjadi sumber norma yang menguatkan etika keberlanjutan. Namun, karena situasinya riskan, saya sebetulnya berharap ormas keagamaan, seandainya mau masuk ke bisnis energi, lebih bisa pas dengan semangat pemeliharaan lingkungan dalam Islam (atau agama mana pun) bila yang dipilih adalah bentuk-bentuk energi terbarukan, daripada berbisnis energi fosil seperti batubara. Apalagi siklus harga batubara tidak sedang moncer sekarang, dan ancaman aset terdampar (stranded assets) di sektor ini tak bisa dianggap remeh.
Walhasil, saya khawatir NU, Muhammadiyah, dan ormas mana pun yang mau berbisnis batubara malah beramai-ramai kehilangan sumber daya finansialnya gegara masuk ke bisnis ini bukan pada saat yang tepat.
Surabaya, 30 Juli 2024 18:00
Bacaan terkait
Fikih Ekologi Ulil dan Deep Ecology
Generasi Muda dan Krisis Iklim: Kami yang Cemas dan Marah
Perusahaan, Bertanggungjawablah atas Seluruh Dampakmu
Kala Para Pemimpin Keberlanjutan Berkumpul di Negeri Singa
Bisakah Lingkungan Membaik? Atau Kiamat Lingkungan Makin Dekat?
Ulasan Pembaca 3