Mulai menuliskan catatan pendek sekitar 2 jam setelah acara sejak pagi hingga malam selesai sebetulnya tak bijak. Tak ada waktu untuk benar-benar mencerna apa yang didiskusikan, apalagi memikirkan konsekuensi-konsekuensinya. Tetapi catatan ini memang bukan untuk tujuan itu, melainkan untuk memastikan bahwa topik yang paling panas bisa disajikan panas-panas.
Jadi, apa yang saya dapatkan dari berkumpulnya para petinggi Cambridge Institute of Sustainability Leadership (CISL) dan para alumninya di kawasan Asia Pasifik ini? Dengan menanggung kemungkinan melewatkan beberapa poin penting, menurut saya yang terpenting adalah sebagai berikut:
Geopolitik dan Keberlanjutan
Tak ada yang menduga Covid-19 bakal datang di awal 2020. Setelah reda, tampaklah dunia tak seperti sebelumnya. Bukan cuma pemulihannya tidak mulus, tapi malahan terhambat oleh invasi Rusia ke Ukraina dan kemudian menguatnya aksi militer Israel di Palestina. Rantai pasok dunia terganggu, emisi akibat peperangan meningkat, dan sumber daya yang sangat dibutuhkan untuk keberlanjutan malah teralihkan untuk persenjataan. Ke depan, dunia yang tak stabil bakal terus merongrong upaya menggapai keberlanjutan.
Kemunafikan Barat
Hal terpenting yang terungkap dari peperangan adalah kemunafikan Barat. Mereka mengutuki Rusia namun pada saat yang sama mendukung Israel yang sudah melanggar konvensi internasional sejak pertengahan abad lalu. Ini membuat kepercayaan pada kemampuan tata kelola internasional apa pun, termasuk keberlanjutan, terkikis. Ketika pengadilan AS memutuskan perusahaan-perusahaan teknologi AS yang menggunakan kobalt dari Kongo tak bersalah atas situasi pekerja anak, perusahaan-perusahaan di Asia makin kehilangan respek atas tuntutan kinerja lingkungan dan sosial dari mereka, dan juga dari Eropa (yang dianggap sama munafiknya). Kalau mau keberlanjutan lebih bergigi, tanggung jawab harus ditunjukkan juga oleh perusahaan-perusahaan AS dan Eropa yang berada di ujung rantai nilai.
Krisis Iklim dan Transisi Energi yang Adil
Walau isu-isu lingkungan lain juga dibicarakan, namun 12 bulan terakhir di tahun 2023-2024 di mana suhu Bumi sudah konsisten berada di rerata 1,5 derajat Celsius di atas pra-Revolusi Industri membuat semua orang khawatir. Ini membuat isu transisi energi menjadi topik pembicaraan penting. Dan, dengan melihatnya dari kawasan ini, maka pembicaraannya semakin berat ditekankan pada transisi yang adil, terutama terkait sumber daya finansial dari Barat untuk memastikan terlindunginya kelompok rentan. Lagi-lagi, keseriusan Barat ditagih, lantaran dinilai lebih banyak ‘omon-omon’ dibandingkan yang seharusnya.
Asia adalah Lokasi Terpenting Perjuangan Keberlanjutan
Asia adalah salah satu wilayah terpenting penghasil sumber daya alam untuk transisi energi. Asia juga adalah wilayah manufaktur untuk keperluan global. Asia juga merupakan lokasi yang masih membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk mayoritas warganya. Kombinasi hal-hal itu membuat Asia menjadi lokus terpenting perjuangan keberlanjutan. “London, apalagi Cambridge, bukanlah lokasi di mana keberlanjutan itu paling perlu diperjuangkan dengan serius,” begitu kata salah seorang peserta diskusi.
Semua Mata Mengarah ke Tiongkok dan Indonesia
Jelas, tak ada yang jadi sorotan lebih kuat daripada Tiongkok, kalau peserta global membicarakan Asia. Berbagai kemajuan yang dicapai Tiongkok dalam eradikasi kemiskinan, peningkatan mutu udara di Beijing dan kota-kota besar lainnya, investasi dan produksi energi terbarukan, juga dominasi mereka dalam produksi kendaraan listrik mengundang kekaguman. Di sisi lain, dominasi mereka atas pengolahan mineral untuk energi terbarukan di mana pun mineralnya berada agaknya membuat mereka yang ada di Eropa dan AS benar-benar sesak nafas, dan menurut mereka bukanlah hal yang baik untuk masa depan elektrifikasi dan dekarbonisasi secara keseluruhan.
Dari Tiongkok pembicaraan beralih ke lokasi di mana sumber mineral untuk transisi energi diambil. Lantaran kobalt terbanyak ada di Kongo, lithium terbanyak ada di Australia, dan tembaga terbanyak ditambang di Chile, maka semua mata melihat Indonesia dengan nikelnya. Semua bertanya-tanya soal hubungan perusahaan pertambangan nikel Indonesia dengan rekan bisnis Tiongkoknya, juga peluang bagaimana Eropa dan AS bisa beroleh mineral yang sama.
Di luar soal nikel, pemindahan ibu kota ke Nusantara juga jadi topik menarik, terutama soal apakah memang Indonesia serius dalam mewujudkan janji membuatnya menjadi contoh ibu kota yang berkelanjutan. Pertanyaan lainnya: adakah yang masih bisa/bakal dilakukan untuk membuat kemacetan Jakarta berkurang dan mutu udaranya membaik?
Keadilan Sosial (Mungkin) Sulit Dijual
Mengingat banyak urusan terkait dengan isu-isu sosial di seluruh dunia, terutama soal Bisnis dan HAM, DEI, dan perlakuan terhadap kelompok-kelompok rentan, tahun lalu CISL menawarkan kursus Bisnis dan Keadilan Sosial, di mana saya menjadi peserta kohort inauguralnya. Menurut saya, kursus itu sangatlah membuka mata, tetapi kenyataan bahwa jumlah peserta yang mendaftar tak cukup membuat di bulan lalu kursus ini tak jadi diselenggarakan. Beberapa komentar bilang bahwa istilah ‘keadilan sosial’ itu lebih dekat ke sektor pemerintah dan masyarakat sipil. Bisnis mungkin agak alergi atau setidaknya takut mendengarnya dan membuat target kursus CISL itu (para profesional dan konsultan keberlanjutan) ragu untuk mengambilnya. Benarkah demikian? Entahlah.
Peran Investor dan Bank
Seluruh sektor sebetulnya mendapat sorotan keras. Banyak yang melontarkan kritik, bahkan otokritik, terhadap perilaku perusahaan di sektor mana pun tidak cukup serius mengarahkan diri pada keberlanjutan. Arah perubahan ke keberlanjutan sebetulnya diapresiasi, tapi kelambatannya menimbulkan perasaan frustrasi. Dan, kecenderungan greenwashing dan greenhushing dicaci. Di antara sektor yang dianggap bakal bisa bikin perubahan lebih cepat dan green bo’ongan itu bisa ditekan itu adalah sektor keuangan, terutama investor institusional dan bank. Tetapi, alih-alih mendorong kuat seluruh sektor dengan kekuasaannya, sektor ini dipandang keterlaluan kelambatannya berubah. Seluruh peserta berharap kondisi ini bisa segera berubah agar dunia punya peluang selamat pada waktunya.
Tata Kelola Itoe Koentji
“Di Asia perhatian kepada isu lingkungan mungkin 30%, sosial sampai 65%, dan tata kelola cuma 5% saja. Banyak perusahaan tak ingin perhatian terhadap tata kelola menjadi lebih kuat.” Begitu kata seorang peserta yang institusinya memegang data ESG sangat besar di kawasan ini. Sementara, beragam penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kinerja tata kelola itulah yang paling mungkin mendongkrak kinerja finansial perusahaan. Seluruh peserta agaknya mengamini bahwa perusahaan-perusahaan di kawasan ini memang perlu jauh lebih serius dalam urusan tata kelola, termasuk dan terutama tata kelola yang mengarahkan pada kebaikan kolektif para pemangku kepentingan dan mengarahkan pada keberlanjutan.
Sekali lagi, sangat mungkin ada ceceran topik yang tak saya masukkan di dalam catatan ringkas ini. Mungkin juga ada poin-poin di dalam setiap topik yang tak cukup baik saya representasikan. Dua gelas teh tarik yang saya tenggak habis sambil menuliskan catatan ini agaknya tak bikin saya bisa mengingat lebih banyak detail lagi.
Singapura, 17 Juli 2024 23:45
Bacaan Terkait
Generasi Muda dan Krisis Iklim: Kami yang Cemas dan Marah
Perusahaan, Bertanggungjawablah atas Seluruh Dampakmu
Ulasan Pembaca 2