Ketika saya mulai menulis artikel ini, aplikasi IQ Air menunjukkan bahwa indeks mutu udara Jakarta ada di angka 168. Alhamdulillah, itu bukan mutu terjelek di dunia—cuma nomor dua saja. Penduduk Kinshasa, ibukota Congo, masih perlu mendapatkan simpati yang lebih besar daripada kita, karena indeks mutu udara di sana adalah 5 poin di atas Jakarta, di 173.
Rasa syukur mungkin perlu makin ditunjukkan bila kita memeriksa dokumen 2023 World Air Quality Report. Laporan yang memanfaatkan PM 2.5 sebagai dasar itu menyatakan bahwa sepanjang tahun 2023, rerata indeks mutu udara Jakarta itu 43,8—jauh di bawah angka sekarang. Jakarta, karena mutu udara yang demikian, ada di peringkat 7 dunia. Masih ada Abuja (Nigeria), Baghdad (Irak), Dushanbe (Tajikistan), Ouagadougou (Burkina Faso), Dakha (Bangladesh), dan New Delhi (India) yang lebih patut dikasihani. Penduduk kota juara dunia itu harus menikmati rerata indeks mutu udara di angka 92,7, alias lebih dari dua kali lipat Jakarta.
Masyarakat yang tinggal di kota-kota lain di Indonesia rasa syukurnya perlu lebih besar lagi. Mengapa? Karena secara rerata indeks mutu udara di Indonesia ‘hanyalah’ 37,1. Angka itu membuat Indonesia ada di peringkat 14. Ada 13 negara—Qatar, Bahrain, Kuwait, Congo, Mesir, Nepal, Uni Emirat Arab, Irak, Burkina Faso, Tajikistan, India, Pakistan dan Bangladesh—yang rakyatnya lebih sering batuk pilek dan terkena kanker paru dibandingkan Indonesia. Kalau ada anomali dalam proporsi penderita kanker paru-paru, itu karena rakyat Indonesia terkenal jauh lebih rajin menambah polusi langsung ke paru-paru mereka atas nama kenikmatan.
Tetapi, dengan mengambil risiko akan dianggap kurang bersyukur, saya berharap agar peringkat Jakarta bisa terus turun, bukannya terus naik dan dalam beberapa tahun menjadi, amit-amit, juara dunia dalam polusi udara. Dan, mungkin, di usianya yang menjelang 500 tahun, Jakarta bisa lebih meneguhkan tekad untuk bisa jadi kota dengan udara yang lebih bersih.
Banyak di antara rekan-rekan saya yang tak percaya bahwa hal itu bisa terwujud. Dan, walau sesekali saya juga merasa demikian, itu bukan sikap yang akan menolong Jakarta. Beberapa contoh di dunia ini bisa disebutkan untuk bilang bahwa pemburukan mutu udara itu bukanlah nasib yang tak bisa diubah. Kita tahu di awal abad ke-20 London adalah kota paling tercemar udaranya di dunia—dan jauh lebih buruk kondisinya dibandingkan kota-kota yang nangkring di peringkat atas sekarang. Pada laporan yang sama kita dapati London berada di peringkat ke-95, dengan indeks kualitas udara 8,4—dan menempatkannya jadi salah satu kota terbersih udaranya di dunia.
Kalau contoh London tak mau diterima karena perbaikan itu butuh waktu lebih dari satu abad, kita bisa ambil contoh yang lain. Beijing, ibu kota Tiongkok, dahulu dikenal dengan sebutan Airpocalypse: kiamat udara. Tetapi, kota yang melamar untuk jadi tuan rumah Olimpade 2008 itu dengan sangat cepat berbenah diri memanfaatkan momentum itu. Tak cukup sukses menurunkannya di tahun itu tak membuatnya lantas berhenti lantaran olimpiade telah selesai. Alih-alih, mereka terus berupaya. Hasilnya, di antara 2013 – 2020 saja, tingkat PM 2.5 di Beijing turun drastik sebanyak 55%. Sekarang Beijing masih berada di peringkat ke-18 dunia, sementara Tiongkok ada di peringkat ke-19.
Apa yang terjadi di kedua kota itu bisa diketahui dengan mudah. London tadinya adalah kota dengan sumber energi listrik tunggal, batubara, hingga menjelang dekade 1960-an. Di seluruh Inggris, minyak baru masuk menjadi sumber listrik kedua, disusul nuklir pada dekade 1960-an itu. Kemudian pada dekade 1990-an gas alam mulai mendominasi, dan pada dekade berikutnya mulai ada sumber energi terbarukan. London sudah lama tak memiliki PLTU Batubara. Pada 21 April lalu, pemerintah Inggris mengumumkan bahwa pembangkit listrik tenaga uap batubara terakhir, Ratcliffe-on-Soar di Nottinghamshire, akan ditutup pada tahun ini. Itu akan mengakhiri era batubara di Inggris.
Tiongkok mulai memerangi pencemaran udara lebih serius dengan melakukan hal yang sama, yaitu merencanakan penutupan beberapa pembangkit listrik tenaga uap batubara ketika dinyatakan sebagai pemenang proposal menjadi tuan rumah olimpiade di tahun 2001—tujuh tahun sebelum olimpiade dilaksanakan. Tetapi, penutupan yang jauh lebih serius lagi malah dilakukan pasca-Beijing Clean Air Action Plan diumumkan di tahun 2013. Setahun kemudian, PLTU Gaojing ditutup. Lalu, di tahun 2015 PLTU Jingneng dan Guohua; dan di tahun 2017 PLTU Huaneng juga ditutup. Dan, bukan cuma PLTU batubara saja yang ditutup, melainkan juga pabrik-pabrik dengan pencemaran yang besar. Pabrik milik Shougang Group, atau yang dikenal secara internasional sebagai Capital Steel, juga ditutup.
Tentu ada banyak contoh kesuksesan lain yang bisa diberikan. Juga, kedua contoh itu bukannya tanpa masalah. Pembangkit listrik tenaga uap batubara di Inggris pada masa kejayaannya menyerap hingga 1,2 juta tenaga kerja langsung. Keputusan untuk menutupnya tentu membuat guncangan ketenagakerjaan yang tak kecil dampaknya. Pemerintah satu partai Tiongkok sangat efektif dalam membuat dan menegakkan aturan, tetapi itu semua dilaksanakan dengan tangan besi, dan korban di tingkat lokal, termasuk tak terpenuhinya kebutuhan listrik di tengah musim dingin yang terjadi di beberapa kota.
Buku-buku yang merefleksikan rumitnya upaya membersihkan udara di Beijing dan seluruh Tiongkok ini telah banyak dituliskan. Environmental Policy and Air Pollution in China Governance and Strategy karya Yuan Xu di tahun 2021 dan The Political Regulation Wave: A Case of How Local Incentives Systematically Shape Air Quality in China yang ditulis oleh Shiran Victoria Shen dan terbit pada tahun 2022, lalu Clean Air at What Cost? The Rise of Blunt Force Regulation in China yang dipublikasikan setahun kemudian sangat banyak membuka mata atas kompleksitas bahkan kerumitan itu. Dua buku yang pertama bisa diunduh secara bebas, sehingga bisa jadi bahan pelajaran bagi banyak orang, termasuk kita di Indonesia—terutama yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya.
Tetapi, tentu saja segala kompleksitas dan kerumitan itu bukanlah dalih untuk mengingkari bahwa Jakarta itu bermutu udara baik-baik saja. Menurut pengamatan saya, pemerintah Indonesia dan Jakarta hingga sekarang masih terlampau banyak berdalih dibandingkan berupaya dengan sungguh-sungguh menyelesaikan pencemaran udara Jakarta. Saya tak melihat rencana jangka panjang yang komprehensif, dengan segala target yang detail soal mutu udara yang bakal dicapai di tahun-tahun mendatang, tindakan konkret yang bakal dilakukan atas setiap sumber pencemaran udara, dan sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakannya hingga sekarang. Padahal—saya tahu persis karena ada di dalam kasus ini—baik Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Gubernur Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat telah dinyatakan kalah 0 – 3 dalam gugatan warga negara atas pencemaran udara.
Dalam peristiwa olahraga dengan skala yang jauh lebih kecil daripada Olimpiade Beijing, yaitu Jakarta International Marathon 2024, hal ini bisa dilihat. Kementerian KLHK dan Pemerintah DKI Jakarta mengumumkan bahwa mutu udara Jakarta ada dalam kategori Sedang, tanpa memberikan keterangan bahwa kategori yang dipergunakan itu sesungguhnya tidak sama—jauh lebih longgar—daripada yang disarankan oleh WHO di tingkat global. Juga, tentu saja, lantaran pergerakan angin darat dan angin laut, kita tahu bahwa mutu udara Jakarta cenderung membaik di siang hingga sore hari. Para pelari marathon itu tetap saja bakal dibekap udara kotor lantaran penyelenggaraannya itu pagi hari. Mereka tak bakal menikmati mutu udara ‘Sedang’ itu.
Ketika rekan-rekan dan saya menuntut Pemerintah Pusat dan tiga pemerintah provinsi terkait dengan pencemaran udara Jakarta, harapan pertama yang kami sematkan adalah agar mereka bersungguh-sungguh menegakkan peraturan yang sudah ada. Uji emisi kendaraan bermotor dan penegakkannya dan pengawasan polusi dari berbagai industri dan penegakkannya, itu yang kami minta. Kami juga berharap agar pemerintah bisa semakin mendekatkan diri pada standar yang telah dipergunakan di level internasional. Alih-alih, yang lebih kerap terdengar adalah dalih atas ‘belum’ tegasnya penegakkan hukum, himbauan kepada masyarakat (misalnya untuk berjalan kaki, bersepeda, dan berkendaraan umum), bahkan ada beberapa fitnah (misalnya ada kepentingan berjualan pemurni udara di balik tuntutan warga negara).
Ketika saya hendak mengakhiri tulisan ini, indeks mutu udara Jakarta ada di angka 141. Turun 27 poin dari 168. Ini membuat Jakarta ada di peringkat ke-5, bukan lagi di peringkat ke-2 dunia. Manama (Bahrain), Lahore (Pakistan), dan New Delhi (India) merangkak naik polusinya, sehingga menggusur Jakarta dari posisi runner up. Tetapi ini bukan alasan untuk bergembira apalagi berpangku tangan. Saya, yang menulis artikel jauh dari Jakarta, tetap merasakan sesak nafasnya warganya, seperti yang saya alami ketika beraktivitas di sana, dan karenanya terus berharap agar mutu udara Jakarta bisa membaik di tahun-tahun mendatang.
Tanggal 27 November mendatang masyarakat Jakarta akan kembali ke kotak suara untuk menentukan pilihan siapa yang akan menjadi gubernurnya. Proses pilkada sendiri sudah dimulai pada bulan ini, dan kita sudah disibukkan dengan analisis politik siapa akan didukung oleh partai apa. Mungkin warga Jakarta dan sekitarnya akan lebih baik nasibnya bila bisa berkonsentrasi pada pertanyaan yang lebih esensial: siapa yang sesungguhnya punya rencana terbaik untuk membersihkan udara Jakarta dan benar-benar mampu mewujudkannya?
Banyuwangi, 23 Juni 2024, pukul 11:10 WIB.
Simak juga:
Not the End of the World: Bisakah Bumi Membaik?
Bisakah Lingkungan Membaik? Atau Kiamat Lingkungan Makin Dekat?