Filantropi untuk penanganan perubahan iklim di Indonesia semakin menjadi perhatian penting dalam diskusi keberlanjutan. Krisis iklim tidak hanya menjadi tantangan lingkungan tetapi juga ekonomi, sosial, dan politik yang kompleks. Dalam konteks ini, filantropi berperan signifikan, baik melalui pendanaan langsung, dukungan kebijakan, maupun mobilisasi kesadaran masyarakat.
Sebagai bagian dari upaya mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals disingkat SDGs), filantropi memberikan kontribusi terhadap berbagai inisiatif keberlanjutan, termasuk mitigasi perubahan iklim. Di Indonesia, sumber filantropi terbagi ke dalam tiga kelompok besar: perusahaan, individu kaya atau high net worth individuals (HNWI), dan masyarakat umum. Masing-masing memiliki karakteristik dan tantangan tersendiri, tetapi kontribusi mereka masih jauh dari mencukupi untuk memenuhi kebutuhan mitigasi dan adaptasi iklim yang mendesak.
Perusahaan, melalui inisiatif tanggung jawab sosial (corporate social responsibility atau CSR), sering kali menjadi aktor utama dalam filantropi iklim. Sebagian besar filantropi perusahaan di Indonesia mencakup pendanaan projek mitigasi dan carbon offset seperti reforestasi, perlindungan keanekaragaman hayati, dan pengembangan energi terbarukan. Beberapa perusahaan juga mendukung pengadaan panel surya untuk sekolah atau rumah ibadah di daerah terpencil. Selain itu, perusahaan berperan dalam meningkatkan kesadaran publik tentang isu iklim melalui kampanye edukasi. Banyak perusahaan yang bekerja sama dengan masyarakat lokal dalam projek konservasi, memberikan kontribusi nyata dalam melindungi ekosistem.
Namun, filantropi perusahaan juga menghadapi tantangan signifikan. Fokus jangka pendek, yang sering kali didorong oleh kepentingan pemasaran atau pemenuhan kewajiban regulasi, menjadi kendala utama. Sebagian besar perusahaan belum mengintegrasikan isu iklim secara mendalam ke dalam strategi bisnis inti mereka. Filantropi sering kali dipandang sebagai tambahan, bukan bagian dari investasi jangka panjang untuk keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Tantangan lainnya adalah greenwashing, di mana perusahaan menggunakan filantropi iklim untuk menutupi dampak negatif operasional mereka terhadap lingkungan. Selain itu, skala pendanaan dari sektor perusahaan sering kali terbatas. Dana yang dialokasikan untuk filantropi tidak sebanding dengan kebutuhan besar untuk transisi energi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Meski demikian, ada peluang besar untuk meningkatkan kontribusi perusahaan. Salah satunya adalah dengan mendorong perusahaan untuk mengintegrasikan strategi bisnis dengan isu keberlanjutan. Insentif pajak juga dapat menjadi pendorong penting, sementara kolaborasi yang lebih erat antara perusahaan, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dapat menciptakan sinergi yang lebih baik dalam mendukung projek iklim berskala besar.
Orang-orang superkaya alias HNWI memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi yang signifikan dalam filantropi iklim. Di Indonesia, beberapa HNWI telah mendirikan yayasan yang fokus pada keberlanjutan lingkungan. Mereka juga mendanai projek-projek inovatif seperti teknologi pengurangan emisi karbon dan restorasi lahan gambut.
Selain itu, donasi mereka sering digunakan untuk membangun kapasitas lokal melalui pelatihan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Namun, filantropi dari HNWI masih menghadapi tantangan besar. Sebagian besar donasi mereka masih terfokus pada bidang tradisional seperti pendidikan, kesehatan, dan agama, dengan alokasi yang minim untuk isu iklim.
Kurangnya riset dan pendekatan strategis dalam menentukan dampak filantropi juga menjadi hambatan. Banyak individu kaya yang belum sepenuhnya memahami bahwa kontribusi mereka terhadap isu iklim dapat memberikan dampak yang lebih luas dalam menyelesaikan masalah lingkungan dan sosial di Indonesia. Insentif pajak yang belum optimal juga mengurangi daya tarik donasi untuk isu iklim.
Di sisi lain, ada risiko penggunaan donasi besar untuk memengaruhi kebijakan atau bahkan untuk memperoleh projek dari pemerintah atau memuluskan izin usaha mereka, walaupun di Indonesia belum terlihat bukti jelas dari fenomena ini.
Peluang untuk meningkatkan filantropi HNWI sangat besar. Pendekatan berbasis data dapat membantu memastikan bahwa dana mereka difokuskan pada intervensi yang paling efektif, seperti solusi berbasis alam. Mereka juga dapat memimpin advokasi dan menginspirasi individu kaya lainnya untuk berkontribusi pada aksi iklim.
Masyarakat umum, meskipun memiliki keterbatasan pendapatan, menunjukkan kemurahan hati yang luar biasa. Indonesia secara konsisten dinyatakan sebagai salah satu negara dengan masyarakat paling dermawan di dunia, menurut laporan World Giving Index. Melalui platform digital seperti kitabisa.com, masyarakat telah mendukung berbagai projek kecil yang berdampak pada mitigasi perubahan iklim, seperti penghijauan wilayah urban atau penyediaan energi terbarukan untuk rumah tangga miskin. Gerakan kolektif lokal, seperti bank sampah, juga memberikan kontribusi terhadap pengurangan emisi metana. Partisipasi masyarakat dalam donasi lingkungan membantu meningkatkan kesadaran kolektif tentang pentingnya aksi iklim.
Namun, kontribusi masyarakat umum untuk isu iklim sering kali terhambat oleh beberapa faktor. Tingkat pendapatan yang rendah membatasi kemampuan mereka untuk mendukung filantropi dalam skala besar. Isu iklim sering dianggap kurang mendesak dibandingkan kebutuhan sosial lainnya seperti pendidikan atau bantuan bencana. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh ketidakpercayaan terhadap penyebab antropogenik pemanasan global, yang di Indonesia tercatat cukup tinggi. Selain itu, akses informasi yang terbatas dan transparansi yang kurang dalam pengelolaan donasi membuat masyarakat ragu untuk berkontribusi.
Meski demikian, ada peluang besar untuk meningkatkan filantropi iklim dari masyarakat umum. Edukasi dan kampanye publik yang lebih masif dapat membantu meningkatkan kesadaran tentang urgensi perubahan iklim. Pengembangan platform digital yang transparan dan mudah digunakan juga dapat memberdayakan masyarakat untuk berkontribusi. Donasi mikro berbasis harian, misalnya, dapat menjadi cara efektif untuk melibatkan lebih banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat. Gamifikasi donasi juga dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam mendukung aksi iklim.
Dalam rangka mendorong kontribusi dari semua sektor, strategi peningkatan filantropi iklim di Indonesia harus mencakup insentif, edukasi, kolaborasi, dan pemanfaatan teknologi. Untuk perusahaan, strategi tersebut meliputi integrasi isu iklim dalam strategi bisnis inti, pengembangan kemitraan multipemangku kepentingan, dan pemberian insentif pajak. Perusahaan juga perlu diarahkan untuk melaporkan kontribusi mereka terhadap SDGs secara lebih detail.
Untuk HNWI, pendekatan berbasis data dan dampak sangat penting untuk memastikan alokasi dana yang efektif. Mendorong pendirian yayasan berbasis iklim dan membangun dana abadi untuk keberlanjutan iklim juga dapat menjadi solusi jangka panjang.
Sementara itu, masyarakat umum dapat didorong untuk berpartisipasi melalui edukasi komunitas, platform donasi digital yang transparan, dan inisiatif berbasis komunitas. Penghargaan bagi individu atau komunitas yang berkontribusi pada aksi iklim juga dapat memotivasi lebih banyak orang untuk terlibat.
Dengan pendekatan yang komprehensif, yang mencakup optimasi filantropi perusahaan, HNWI, serta masyarakat umum, filantropi di Indonesia sesungguhnya dapat menjadi kekuatan besar dalam menghadapi krisis iklim, mendukung pencapaian SDGs, dan menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan.
Tulisan ini adalah intisari dari presentasi pada Simposium Filantropi untuk Aksi Iklim “Mengakselerasi Transisi Hijau: Peran Strategis Lembaga Filantropi di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Climateworks Centre, Dompet Dhuafa, dan Filantropi Indonesia, Kamis, 21 November 2024.
Bacaan Terkait
Donald Trump dan Ancaman Krisis Iklim
Generasi Muda dan Krisis Iklim: Kami yang Cemas dan Marah
Perusahaan, Bertanggungjawablah atas Seluruh Dampakmu
Ulasan Pembaca 1