Indonesia telah mengambil langkah strategis untuk menjadi pemain utama dalam rantai pasok global energi bersih dengan mengandalkan hilirisasi nikel. Sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia mengubah pendekatan ekonominya dari ekspor bahan mentah menjadi pengolahan lokal bernilai tambah. Hilirisasi ini bukan hanya tentang menciptakan produk berdaya jual tinggi seperti ferronikel dan komponen baterai kendaraan listrik (EV), tetapi juga menjanjikan diversifikasi ekonomi yang lebih baik dan stabil.
Meski demikian, di balik optimisme ini jelas terdapat kompleksitas tantangan sosial, lingkungan, dan ekonomi yang perlu ditangani. Tulisan ini hendak menimbang manfaat dan mudarat hilirisasi, serta memberikan rekomendasi menyeluruh untuk memastikan hilirisasi nikel bisa menjadi pilar keberlanjutan di tingkat lokal, nasional, dan global.
Potensi Transformasi Ekonomi
Hilirisasi nikel di Indonesia telah berhasil mendorong tumbuhnya potensi ekonomi di wilayah penghasil nikel seperti provinsi-provinsi di Sulawesi dan Maluku Utara. Pembangunan smelter di daerah ini telah membuka ribuan peluang kerja baru, meningkatkan infrastruktur, dan merangsang aktivitas ekonomi lokal. Di samping itu, pembangunan pelabuhan dan jalan baru untuk mendukung operasional smelter turut membuka aksesibilitas wilayah yang sebelumnya dapat dikatakan terisolasi. Bagi masyarakat lokal, lapangan kerja yang dihasilkan memberikan kesempatan untuk meningkatkan pendapatan, meskipun utamanya masih terbatas pada pekerjaan tidak terampil dan temporer pada fase konstruksi.
Di tingkat nasional, manfaat hilirisasi lebih terasa dalam bentuk peningkatan kontribusi sektor nikel terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pada 2022, pendapatan dari sektor ini dilaporkan melonjak menjadi Rp4,18 triliun, meningkat delapan kali lipat dalam satu dekade. Pendapatan dari pajak dan belanja di tingkat lokal tentu saja jauh lebih besar lagi. Selain itu, hilirisasi membantu mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah, di mana nilai ekonomi dari produk bernilai tambah seperti ferronikel jauh lebih besar dibandingkan bijih mentahnya. Langkah ini juga memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global baterai EV, yang merupakan elemen penting dalam transisi energi bersih global.
Secara global, Indonesia memainkan peran strategis dalam mendukung penurunan emisi karbon melalui penyediaan bahan baku baterai EV—walau sebetulnya hingga sekarang proporsi hasil olahan nikel untuk baterai EV masih jauh di bawah pemanfaatan lainnya seperti konstruksi. Perkembangan ini ini menjadikan Indonesia sebagai bagian esensial dari solusi global untuk mengurangi emisi di sektor transportasi. Namun, manfaat global ini perlu ditimbang dengan dampak lingkungan dan sosial yang dirasakan di tingkat lokal.
Mudarat yang Tidak Dapat Diabaikan
Di balik manfaat ekonomi, hilirisasi nikel menghadirkan berbagai tantangan keberlanjutan yang serius—sebagaimana yang saya saksikan secara langsung di lapangan. Salah satu isu utama adalah dampak lingkungan. Aktivitas tambang telah menyebabkan deforestasi yang meluas, hilangnya keanekaragaman hayati, dan degradasi kualitas air di wilayah operasional tambang. Ketika aktivitas penambangan meningkat untuk memenuhi ambisi hilirisasi, dampak negatif terhadap lingkungan tersebut tentu saja meningkat. Di banyak lokasi di Sulawesi dan Maluku Utara, kerusakan lingkungan telah memengaruhi ekosistem pesisir, mengancam populasi ikan, dan mengurangi produktivitas nelayan. Pencemaran oleh limbah tambang menambah tekanan pada masyarakat lokal yang sudah rentan terhadap perubahan lingkungan.
Teknologi pyrometallurgy yang digunakan oleh banyak smelter nikel menghasilkan emisi karbon yang tinggi, dengan rata-rata emisi dilaporkan mencapai 58,6 ton CO₂ per ton nikel. Angka ini jauh melebihi rata-rata global sebesar 48 ton CO₂, apalagi praktik terbaik di angka 13 ton CO₂, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jejak karbon tertinggi dalam industri nikel. Ketergantungan pada pembangkit listrik berbasis batubara yang menjadi sumber masalah ini sebetulnya secara langsung bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam Persetujuan Paris untuk mengurangi emisi karbon.
Dampak sosial dari hilirisasi nikel juga tidak kalah serius. Konflik tanah antara perusahaan dan masyarakat lokal sering terjadi akibat pemidahan penduduk untuk projek tambang dan smelter. Banyak kelompok masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat, kehilangan tanah mereka tanpa kompensasi yang memadai. Proses pembelian tanah sangat sering terjadi tanpa konsultasi yang transparan, yang sesungguhnya melanggar prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Ketegangan ini diperburuk oleh kurang strategisnya program pemberdayaan masyarakat lokal, yang mengakibatkan ketimpangan ekonomi di wilayah penghasil nikel. Alih-alih pemberdayaan yang sesungguhnya, saya menyaksikan bahwa banyak perusahaan yang memilih untuk sekadar membagi uang tunai kepada para elite lokal untuk membeli pengaruh, seraya mengabaikan kelompok-kelompok rentan.
Di tingkat nasional, ketergantungan pada investasi asing, terutama dari Tiongkok, menimbulkan tantangan geopolitik dan ekonomi. Meskipun investasi ini membawa modal yang sangat dibutuhkan, dominasi asing dalam pengelolaan tambang sering kali membatasi kontrol domestik terhadap sumber daya strategis Indonesia. Situasi “negara dalam negara” banyak dilaporkan di lokasi-lokasi industri hilir nikel. Selain itu, lantaran ketimpangan dalam permodalan itu, maka keuntungan yang dihasilkan lebih banyak dinikmati oleh investor asing daripada Indonesia, apalagi masyarakat lokal.
Menaruh Hilirisasi dalam Neraca
Analisis manfaat dan mudarat menunjukkan bahwa dampaknya sangat bervariasi di tingkat lokal, nasional, dan global. Di tingkat lokal, dampak negatif terhadap lingkungan, konflik sosial, dan hilangnya mata pencaharian tradisional sering kali lebih besar dibandingkan manfaat ekonomi langsung. Di tingkat nasional, manfaat ekonomi seperti peningkatan penerimaan negara dan diversifikasi ekonomi memberikan keuntungan signifikan, tetapi tantangan keberlanjutan masih menjadi hambatan utama. Sementara itu, di tingkat global, manfaatnya tampak lebih besar, terutama dalam mendukung transisi energi bersih, meskipun itu berarti beban keberlanjutan lebih banyak ditanggung oleh masyarakat lokal.
Not in My Backyard (NIMBY) agaknya adalah gambaran yang pas atas situasi global terkait mineral untuk energi terbarukan, termasuk nikel. Padahal, dunia sedang sangat menekankan pada transisi energi yang berkeadilan (Just Energy Transition), dengan komponen-komponen keadilan idealnya yang beragam. Tetapi kebanyakan pihak tampak lebih memilih untuk menginterpretasikan just sebagai “hanya” atau “sekadar”—sehingga idealisme keadilan distribusional, rekognisi, prosedural, dan kapabilitas sangat sulit saya temukan di lapangan.
Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa hilirisasi nikel tidak hanya menghasilkan manfaat ekonomi bagi para pelaku industri, tetapi juga mendukung keberlanjutan bagi seluruh pemangku kepentingan, langkah-langkah strategis benar-benar diperlukan. Dan hal ini tidak bisa tidak harus berasal dari dan ditegakkan oleh seluruh pemangku kepentingan.
Pemerintah harus mengambil peran utama dalam mengatur dan mengawasi dampak lingkungan dan sosial dari projek hilirisasi. Regulasi lingkungan perlu diperketat, termasuk penerapan standar tinggi dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang seharusnya semakin mendekati persyaratan Environmental and Social Impact Assessment (ESIA), yang dikenal di tingkat global. Pemerintah juga harus mendorong adopsi teknologi pemrosesan nikel yang lebih ramah lingkungan seperti High-Pressure Acid Leaching (HPAL), yang mampu mengurangi intensitas emisi karbon, namun perlu perhatian lebih besar dalam penanganan limbah. Transisi ke energi terbarukan harus menjadi prioritas utama dalam operasional smelter untuk mengurangi ketergantungan pada batubara.
Di sisi sosial, pemerintah harus menjamin hak masyarakat lokal dan adat dengan memperkuat pelaksanaan FPIC dalam setiap tahap projek tambang dan pemrosesan nikel. Proses konsultasi publik harus dilakukan secara transparan dan inklusif, dengan memberikan ruang bagi masyarakat untuk benar-benar menyampaikan apa yang menjadi perhatian mereka. Selain itu, program pelatihan vokasional dan kesempatan magang perlu sangat ditingkatkan untuk memastikan masyarakat setempat dapat berpartisipasi aktif dalam rantai nilai hilirisasi.
Perusahaan juga harus bertanggung jawab untuk meminimalkan dampak lingkungan dan sosial dari operasi mereka. Investasi dalam teknologi bersih dan pengelolaan limbah yang efektif harus menjadi prioritas. Program pengembangan masyarakat perlu dirancang untuk mendukung kebutuhan masyarakat lokal, termasuk pengembangan sektor ekonomi alternatif seperti perikanan dan pertanian yang banyak terkena dampak tambang. Transparansi dalam pelaporan keberlanjutan, termasuk dampak lingkungan dan sosial, harus ditingkatkan hingga benar-benar sesuai dengan standar internasional—misalnya yang dituntut dalam GRI Mining Sector Standard—untuk membangun kepercayaan dengan pemangku kepentingan.
Organisasi masyarakat sipil memiliki peran penting dalam pemantauan. Banyak perusahaan kini menyatakan komitmen dalam integrasi Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (Environmental, Social and Governance atau ESG), dan hal ini perlu benar-benar dicek kebenaran kinerjanya. Perusahaan tak boleh melakukan greenwashing, atau lebih luas lagi ESG-washing, dan organisasi masyarakat sipil-lah yang seharusnya memantaunya dengan lekat. Mereka juga perlu membantu masyarakat lokal dengan mengadvokasi hak-hak mereka dan memastikan perusahaan mematuhi standar keberlanjutan terkait masyarakat lokal itu.
Sementara, bank dan investor harus memastikan bahwa pendanaan mereka diarahkan pada projek yang mematuhi prinsip-prinsip ESG sesuai dengan komitmen yang mereka nyatakan. Mereka juga harus mendorong adopsi berbagai teknologi bersih melalui syarat pembiayaan dan investasi. Pembeli internasional dari produk nikel Indonesia memiliki tanggung jawab untuk mendukung praktik keberlanjutan di sepanjang rantai pasoknya. Mereka, karenanya, harus memrioritaskan pembelian produk dari perusahaan yang mematuhi standar dan kerangka keberlanjutan seperti dari International Council on Mining and Metals (ICMM) dan Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA), serta memberikan tekanan pasar kepada perusahaan yang gagal memenuhi ekspektasi ini.
Di samping itu, pembeli dapat mendorong kolaborasi global untuk meningkatkan keberlanjutan melalui transparansi dalam industri nikel—misalnya dengan praktik due diligence sebelum keputusan pembelian dan meminta assurance atas laporan keberlanjutan dengan standar tertinggi.
Hilirisasi nikel, menurut hemat saya, jelas adalah peluang strategis bagi Indonesia untuk memainkan peran penting dalam transisi energi global. Namun, keberhasilan inisiatif ini sangat bergantung pada kemampuan untuk mengelola dampak sosial dan lingkungan secara efektif. Dengan pendekatan yang holistik dan inklusif, hilirisasi nikel dapat menjadi fondasi bagi keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan di tingkat lokal dan nasional.
Jika langkah-langkah yang direkomendasikan di atas bisa diterapkan, Indonesia tidak hanya akan mendapatkan manfaat ekonomi jangka pendek, tetapi juga menciptakan warisan keberlanjutan bagi generasi mendatang. Sebaliknya, jika tantangan ini diabaikan, hilirisasi nikel dapat menjadi ancaman yang memperburuk ketimpangan dan kerusakan lingkungan yang sulit diperbaiki. Keputusan yang diambil sekarang oleh seluruh pemangku kepentingan akan menentukan nasib masa depan Indonesia dalam memanfaatkan kekayaan sumber daya alamnya. Kita bisa memilih melakukannya secara bertanggung jawab lalu membuahkan keberlanjutan; atau secara serampangan lalu mendatangkan kehancuran.
Tulisan ini adalah ringkasan pemikiran yang disampaikan penulis dalam diskusi Hilirisasi Nikel: Beyond the Controversies, yang diselenggarakan oleh Kompas.com, 25 November 2024.
Bacaan terkait
Setelah Heboh Ulil, Bahlil, dan Tahlil: Mungkinkah Pertambangan Hijau?
Generasi Muda dan Krisis Iklim: Kami yang Cemas dan Marah
Kala Para Pemimpin Keberlanjutan Berkumpul di Negeri Singa
Bisakah Lingkungan Membaik? Atau Kiamat Lingkungan Makin Dekat?