Setiap tahun saya membuat daftar buku bisnis berkelanjutan terbaik—selain daftar buku keberlanjutan (non-bisnis) dan buku bisnis (non-keberlanjutan). Saya memperhatikan bahwa daftar tersebut makin lama makin menunjukkan konvergensi. Kalau dahulu daftar itu bisa dengan mudah dipisahkan, kini banyak buku keberlanjutan membahas dampak institusi bisnis, dan buku-buku bisnis makin jamak mendiskusikan satu atau lebih isu keberlanjutan.
Hal lain yang saya perhatikan adalah bahwa buku-buku terbaik, menurut selera saya, banyak muncul di paruh pertama setiap tahun. Di tahun lalu, misalnya, buku Principles of Sustainable Business karya Rob van Tulder dan Eveline van Mil dan Deeply Responsible Business karya Geoffrey Jones yang saya pilih sebagai pemuncak dan peringkat kedua terbit sangat awal.
Tahun ini saya menunggu cukup lama untuk kemudian merasa sudah menemukan kandidat buku bisnis berkelanjutan terbaik 2024. The Profiteers: How Business Privatizes Profits and Socializes Costs yang ditulis Christopher Marquis adalah yang terkuat menaut benak dan hati saya hingga sekarang. Kalaupun buku ini di akhir tahun nanti tidak ada di puncak, saya percaya dia akan berada di tiga besar.
Marquis, penulisnya, sama sekali bukan orang biasa. Dia memperoleh gelar doktornya dalam bidang sosiologi dan administrasi bisnis dari Universitas Michigan. Setelahnya, dia menjadi profesor inovasi sosial di Harvard Business School selama sepuluh tahun, dan di antaranya juga merangkap sebagai profesor di Harvard Kennedy School. Dari sana ia pindah ke Universitas Cornell dan menjadi profesor dalam keberlanjutan bisnis global. Sekarang, ia mengajar di Judge Business School, Universitas Cambridge.
Sepanjang yang saya ingat, Marquis baru menerbitkan dua buku sebelum The Profiteers ini, walau lebih dari 20 artikel telah ia terbitkan di jurnal-jurnal bergengsi, 50 lebih studi kasusnya dipublikasikan Universitas Harvard, dan entah berapa ratus artikel populernya muncul di berbagai media massa. Kedua bukunya beroleh berbagai penghargaan bergengsi. Better Business: How the B Corp Movement is Remaking Capitalism adalah buku pertamanya. Buku yang terbit di tahun 2020 itu adalah pemenang Axiom Gold Medal untuk kategori etika bisnis. Buku keduanya, Mao and Markets: The Communist Roots of Chinese Enterprise ditulis bersama Kunyuan Qiao, terbit di akhir 2022 lampau. Financial Times menyatakannya sebagai salah satu best book of 2022, dan juga diganjar Axiom Gold Medal untuk kategori buku bisnis.
Menyimak dari judul buku ketiganya ini, tadinya saya berprasangka bahwa isinya terutama adalah kritik terhadap bisnis dari sudut pandang keberlanjutan, seperti karya dahsyat Marjorie Kelly yang terbit tahun lalu, Wealth Supremacy: How the Extractive Economy and the Biased Rules of Capitalism Drive Today’s Crises. Mengingat reputasi Marquis sebagai penulis jempolan, saya tetap memesan buku ini, dan berharap setidaknya bisa membaca kritik yang baru dan koheren. Kalau ada tambahan butir-butir kritik baru di luar yang telah dilancarkan Kelly, saya sudah akan merasa puas.
Ternyata, ekspektasi saya jauh dilampaui Marquis. Buku ketiga Marquis ini dibagi menjadi 3 bagian. Pertama, soal bagaimana mayoritas bisnis benar-benar menjarah keuntungan dengan cara membuat kita semua membayar dampak negatif lingkungan dan sosial yang mereka hasilkan. Palgulipat dan tipu muslihat bisnis ini dibahas di dua bab pertama, yang sesungguhnya paling terkait dengan judul buku yang dipilih Marquis.
Buat Marquis, sistem yang ada sekarang memang sengaja dibangun dengan insentif bagi perusahaan-perusahaan untuk setidaknya membuat bingung pemangku kepentingan atas siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab atas kerusakan. Di bagian ini Marquis menjelaskan bahkan Kapitalisme Pemangku Kepentingan dan Environmental, Social, and Governance (ESG) yang digadang-gadang baik untuk perusahaan juga masih tidak memadai untuk memastikan akuntabilitas perusahaan atas dampak yang mereka timbulkan.
Salah satu hal yang banyak diterima oleh pemangku kepentingan adalah logika win-win. Perusahaan tahu bahwa proposisi ini sangat menarik bagi pemangku kepentingan yang tadinya kerap merasa dikalahkan kepentingannya. Tetapi, papar Marquis, perusahaan sesungguhnya bisa bersembunyi di balik proposisi ini dengan hanya melakukan tindakan yang baik bagi pemangku kepentingan manakala itu juga menguntungkan perusahaan. Padahal, kalau perusahaan memiliki dampak negatif, maka dampak itu harus dikelola dengan benar: apa yang dirusak harus direstorasi, mereka yang terkena dampak harus dikompensasi, dan hal tersebut tak boleh terulang lagi. Ini jelas tak menguntungkan bagi perusahaan—setidaknya dalam jangka pendek—namun jelas itu adalah satu-satunya hal benar yang harus dilakukan.
Bagian kedua buku ini mengajari saya banyak hal baru. Dalam lima bab Marquis mendiskusikan bagaimana beragam inovasi yang dilaksanakan oleh bisnis—walau tidak seluruhnya berasal dari sektor ini—sesungguhnya membuat banyak perbaikan. Masing-masing bab mendiskusikan soal solusi bisnis terkait emisi karbon, kerusakan lingkungan, produk yang murah, tenaga kerja murah serta ketimpangan ekonomi, dan diskriminasi sistematis. Marquis dengan sangat hati-hati menunjukkan bahwa perubahan jelas terjadi lantaran solusi-solusi itu, tapi juga mendiskusikan secara meyakinkan keterbatasannya.
Keterbatasan itu, dalam pandangan Marquis, kerap berasal dari dikotomi palsu. Ambil contoh Grove Collaborative, sebuah perusahaan produk-produk kebutuhan rumah tangga—mulai dari sabun hingga pakan hewan peliharaan—yang baru berdiri satu dekade lalu. Perusahaan ini memikirkan baik-baik seluruh produk dan kemasannya, agar benar-benar mencerminkan nilai keberlanjutan yang mereka janjikan kepada seluruh pemangku kepentingannya.
Perusahaan ini mendiskusikan dengan sungguh-sungguh kemungkinan untuk menggunakan plastik sebagai kemasan, dengan kesediaan untuk mendaur ulang semua sampah plastiknya. Tetapi akhirnya mereka memutuskan untuk menggunakan kemasan yang benar-benar lebih baik buat lingkungan dibandingkan menggunakan plastik yang tetap akan meningkatkan produksi plastik sekalipun di ujung masa pakainya akan didaur ulang. Pro kepada daur ulang, menurut Grove Collaborative, tak perlu dibenturkan dengan upaya menurunkan konsumsi produk itu dari pangkalnya. Perusahaan tentu saja bisa mengupayakan penggunaan bahan bakar fosil yang semakin efisien, dan pada saat yang sama menjalankan peralihan ke energi terbarukan.
Pada bagian ketiga, yang terdiri dari empat bab, Marquis mendiskusikan bagaimana solusi yang lebih sistemik bisa dimunculkan. Buat dia, solusi itu harus menghasilkan ekonomi yang regeneratif. Caranya? Marquis mengajukan solusi berupa perubahan tata kelola, keuangan, aktivisme korporat, dan konsumsi. Masing-masing dibahas dalam satu bab yang benar-benar memuaskan.
Marquis jelas sekali mau memberi pesan bahwa perusahaan-perusahaan yang berniat busuk sangatlah banyak di dunia ini. Tetapi, juga ada banyak perusahaan yang tidak demikian. Mereka mengupayakan dengan sungguh-sungguh praktik bisnis yang lebih adil dan berkelanjutan. Mereka juga melakukan banyak advokasi agar seluruh proses bisnis dan keuntungan yang diterima perusahaan bisa menjadi sumber kesejahteraan kolektif, dan praktik pengelolaan lingkungan bisa menjadi semakin baik dengan dampak negatif yang terus mengecil. Tetapi, untuk benar-benar bisa menjadi solusi sistemik, perusahaan harus mengadvokasi standar-standar keberlanjutan yang lebih tinggi dan diberlakukan dengan ketat, bukan mengupayakan pelonggarannya. Kerja-kerja kolaboratif dengan seluruh pemangku kepentingan yang juga memiliki tujuan keberlanjutan—walau memiliki taktik yang berbeda sekalipun—adalah keniscayaan bagi perbaikan sistemik ini.
Di luar kesebelas bab itu Marquis menutup bukunya dalam sebuah bab konklusi. Di bab itu saya menjadi tahu bahwa Marquis adalah murid dari Mayer Zald, tokoh paling terkemuka dalam gerakan sosial baru, dan salah satu pahlawan saya. Refleksi akhir Marquis bahkan memanfaatkan tiga persyaratan perubahan sosial sistemik a la Zald: mobilisasi beragam pemangku kepentingan; narasi baru yang konsisten; dan optimasi pemanfaatan struktur dan timing yang tepat. Marquis bilang dia melihat ketiganya sekarang, sehingga perubahan dalam bisnis menuju ekonomi regeneratif sangat bisa terjadi dalam waktu dekat. Namun, itu membutuhkan keputusan dan tindakan kolektif kita semua, terutama terkait persyaratan ketiga dari Zald itu.
Marquis sangat sadar bahwa apa yang diperjuangkan para protagonis dalam lakon keberlanjutan perusahaan, sebagai bagian dari keberlanjutan dunia tidaklah mudah. Ide-ide baru yang radikal selalu akan mendapatkan perlawanan dari mereka yang selama ini menikmati keuntungan dari kondisi business as usual. Selama ini perusahaan dimaklumi, diperkenankan, bahkan diberi insentif untuk membebankan biaya atas dampak negatifnya kepada masyarakat luas dan menyimpan keuntungan untuk dirinya sendiri. Buku ini mendorong akuntabilitas penuh perusahaan atas dampak negatifnya, dan tidak sekadar mengupayakan inisiatif keberlanjutan manakala jelas keuntungan finansial jangka pendeknya bagi perusahaan. Jelas, ide ini tak akan mudah diterima, tetapi Marquis telah menunjukkan bahwa banyak perusahaan telah mengupayakannya dengan motivasi yang beragam, dan banyak pemangku kepentingan memaksa, membujuk, dan membantu perusahaan dalam upaya tersebut.
Ketika selesai membaca buku ini saya tersenyum karena merasa sudah menemukan kandidat buku bisnis berkelanjutan terbaik tahun ini. Kemudian saya berharap banyak orang bisa membacanya secara langsung, dan bertindak bersama untuk mewujudkan bisnis dan sistem ekonomi yang regeneratif itu. Semoga benar-benar bisa terwujud dalam waktu tak terlampau lama, agar umat manusia bisa selamat dan menikmati masa depan yang baik.
Identitas Buku
Judul Buku | The Profiteers: How Business Privatizes Profits and Socializes Costs |
Penulis | Christopher Marquis |
---|---|
Cetakan | I, Mei 2024 |
Halaman | 324 |
Penerbit | PublicAffairs |
ISBN | 9781541703520 |
Ulasan Pembaca 1