Beberapa hari menjelang Idulfitri lalu saya mendapatkan hadiah sebuah buku yang baru saja diselesaikan, langsung dari salah satu penulisnya. Buku itu, Menuju Indonesia yang Berkelanjutan, ditulis Juniati Gunawan bersama John Lee.
Penulis pertama adalah sahabat saya sejak dua dekade lampau, sebelum dia berangkat ke Australia untuk studi doktoralnya, menjadi salah satu akademisi paling terkemuka dalam pelaporan keberlanjutan, dan tentu saja sebelum dia menjadi profesor dalam akuntansi keberlanjutan di Universitas Trisakti.
Penulis kedua saya tak kenal. Namun, dari keterangan yang dituliskan di buku ini, dia adalah seorang praktisi yang sudah malang melintang di dunia bisnis selama 40 tahun, lalu menjadi akademisi, termasuk sebagai visiting professor di berbagai universitas di Asia.
Jadi, ini adalah buku yang ditulis oleh dua akademisi dengan kaliber tidak main-main. Dan, dengan penuh prasangka saya pun berpikir akan mendapatkan sajian debat akademik yang berat tentang bagaimana Indonesia bakal mencapai keberlanjutan dari posisi sekarang yang masih (makin?) jauh dari kondisi yang diharapkan. Saya membayangkan bakal membaca analisis tentang situasi Indonesia yang mungkin diturunkan dari pendekatan Planetary Boundaries-nya Johan Rockstrom dkk, atau minimal akan ada perdebatan soal kehandalan data SDGs yang ditampilkan oleh Pemerintah Indonesia dibandingkan dengan apa yang dipergunakan oleh Jeffrey Sachs dkk dalam publikasi setahunan dari SDSN.
Saya juga berprasangka bakal ada peta jalan yang menuntun kita semua—pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sipil—untuk bisa sampai ke tujuan mulia itu. Semua ekspektasi itu ada di benak saya mengingat apa yang selama ini saya baca pada karya-karya ilmiah Mbak Yuni, begitu penulis pertama biasa saya panggil.
Apakah benar bayangan dan ekspektasi itu? Tidak sama sekali. Yang saya dapati adalah sebuah buku yang bukan ditulis untuk mereka yang sudah bertungkus lumus selama satu atau beberapa dekade dalam keberlanjutan. Buku ini adalah pengantar yang brilian dan sangat mudah dipahami oleh generasi baru yang ingin—dan sangat perlu—memahami bagaimana masa depan Indonesia seharusnya dibangun. Dan saya tak bisa berhenti tersenyum sepanjang beberapa jam membacanya empat bab dalam buku tersebut hingga selesai.
Substansi Buku
Bab pertama buku ini membahas komitmen Indonesia terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau TPB/SDGs pada tahun 2030, sebagai bagian dari kesepakatan global 193 negara anggota PBB. Prinsip utama yang dianut adalah leave no one behind, yang menekankan pentingnya memastikan kemajuan pembangunan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelompok rentan. Namun, sebagaimana diketahui, Indonesia menghadapi tantangan signifikan, khususnya dalam menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan kelestarian lingkungan, terutama di sektor industri dan eksploitasi sumber daya alam seperti minyak dan gas bumi. Sektor-sektor ini berkontribusi pada masalah polusi dan emisi gas rumah kaca (GRK), sehingga strategi keberlanjutan seperti peningkatan efisiensi sumber daya dan pengembangan produk ramah lingkungan menjadi krusial.
SDGs mencakup 17 tujuan lintas sektor yang telah diadopsi ke dalam kerangka kebijakan nasional melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 59 Tahun 2017. Implementasinya didukung oleh instrumen strategis seperti Metadata TPB untuk indikator yang jelas, Rencana Aksi TPB sebagai panduan pelaksanaan, serta sistem Monitoring dan Evaluasi TPB yang dikawal oleh Bappenas bersama kementerian/lembaga terkait.
Aspek krusial lain yang ditekankan pada bab ini adalah mitigasi perubahan iklim. Indonesia menaikkan target penurunan emisi GRK melalui Enhanced Nationally Determined Contributions (ENDC) 2022 menjadi 31,89% dengan usaha sendiri dan 41% menjadi 43,20% dengan dukungan internasional pada 2030. Upaya ini didukung oleh regulasi seperti Perpres No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk mendorong transisi ke ekonomi rendah karbon. SDG13 memang salah satu Tujuan SDGs yang paling memprihatinkan kemajuannya, sehingga saya senang membaca perhatian khusus atasnya di bab ini.
Bab kedua membahas konsep ekonomi sirkular sebagai pendekatan alternatif untuk mengatasi masalah lingkungan yang melampaui pengelolaan sampah. Berbeda dengan model ekonomi linear yang take-make-waste, ekonomi sirkular bertujuan memaksimalkan nilai sumber daya dan meminimalkan timbunan limbah melalui praktik desain produk tahan lama, penggunaan kembali (reuse), perbaikan (repair), hingga daur ulang (recycle). Buku ini menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi besar menerapkan ekonomi sirkular di berbagai sektor kunci, termasuk makanan dan minuman (mengurangi limbah pangan dengan rantai pasok lebih pendek, pemanfaatan sisa makanan), tekstil (daur ulang bahan), konstruksi, kemasan plastik, dan elektronik.
Di sisi lain, buku ini tak menutupi kenyataan bahwa pengelolaan sampah di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, dengan jutaan ton sampah dihasilkan setiap tahun, mayoritasnya berasal dari rumah tangga, dan itu semua belum terkelola secara optimal. Pemerintah memang telah menetapkan target ambisius Indonesia Bebas Sampah 2040, yang memerlukan strategi komprehensif dalam pengurangan sampah di sumber serta pengelolaan yang lebih efektif di hilir, termasuk melalui penerapan teknologi seperti pengolahan sampah menjadi energi—tetapi implementasinya benar-benar perlu dikawal.
Bab ini menekankan bahwa keberhasilan transisi menuju ekonomi sirkular, dan sistem pengelolaan sampah, sangat bergantung pada kolaborasi aktif antara masyarakat, sektor swasta (melalui inovasi dan investasi), serta dukungan kebijakan yang kuat dari pemerintah. Hasil kolaborasi dengan pendekatan sirkular ini tidak hanya akan mengurangi beban lingkungan bagi Indonesia, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi siapa pun yang mau berkontribusi di dalamnya.
Bab berikutnya mengupas peran fundamental sektor agrikultur dalam pembangunan berkelanjutan Indonesia, sebagai penyedia pangan, sumber mata pencaharian utama, dan penjaga keseimbangan ekosistem. Sebagai alumni perguruan tinggi pertanian, bab ini tentu saja membetot perhatian saya. Dan saya bersyukur lantaran mendapati pesan bahwa dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, degradasi lahan, dan pertumbuhan populasi, Indonesia perlu benar-benar mengadopsi praktik pertanian berkelanjutan.
Ketahanan pangan—yang didefinisikan FAO sebagai kondisi akses fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi setiap saat—menjadi fokus utama. Tetapi, tantangan Indonesia meliputi ketergantungan impor, kerentanan terhadap perubahan iklim, dan degradasi lahan pertanian sebetulnya membuat saya ingin membaca jauh lebih banyak diskusi soal kemandirian bahkan kedaulatan pangan. Apalagi, buku ini terbit ketika Amerika Serikat memiliki seorang presiden yang membawa seluruh dunia ke dalam bahaya unilateralisme dan geopolitik yang tak pernah kita saksikan sebelumnya.
Penerapan pertanian modern melalui teknologi seperti irigasi cerdas, sensor IoT, drone, dan bioteknologi dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Namun, buku ini menegaskan bahwa akses bagi petani kecil masih terbatas karena kendala sumber daya dan pendanaan, dan ini seharusnya menjadi perhatian semua pihak bila ingin pangan kita aman, mandiri, dan berdaulat.
Pertanian organik menjadi alternatif ramah lingkungan yang meningkatkan kesuburan tanah dan menghasilkan pangan lebih sehat, meskipun menghadapi tantangan produktivitas yang lebih rendah dan terkadang biaya sertifikasi yang mahal. Di sektor peternakan, sistem intensif meningkatkan produksi (daging, susu, telur) dengan teknologi pakan otomatis dan pengelolaan limbah, namun memunculkan isu kesejahteraan hewan dan emisi GRK.
Keanekaragaman hayati, termasuk varietas tanaman lokal dan sistem agroforestri, yang sangat penting untuk menjaga ketahanan sistem pangan terhadap perubahan iklim dan hama juga dibahas secara memadai. Teknologi Blockchain mulai dilirik untuk meningkatkan transparansi dan ketertelusuran rantai pasok pangan, sementara penggunaan genetically modified organisms (GMO) masih menjadi perdebatan terkait potensi manfaat (hasil panen, ketahanan) dan risiko (kesehatan, keanekaragaman hayati). Bab ini menyimpulkan perlunya strategi pertanian berkelanjutan yang holistik, didukung kolaborasi antar-pemangku kepentingan, inovasi teknologi, konservasi sumber daya, dan potensi integrasinya dengan ekonomi sirkular.
Bab terakhir buku ini membahas urgensi transisi Indonesia menuju ekonomi rendah karbon sebagai langkah fundamental untuk mengatasi krisis iklim global dan mencapai target net zero emissions (NZE). Fokus utama bab ini, tentu saja, adalah dekarbonisasi, yaitu proses sistematis mengurangi atau menghilangkan emisi karbon dioksida (CO2) dan gas rumah kaca lainnya dari berbagai sektor ekonomi vital seperti energi, transportasi, dan industri. Mengingat ketergantungan Indonesia pada bahan bakar fosil, terutama batubara, langkah drastis diperlukan. Pemerintah telah merancang instrumen kebijakan untuk mendorong transisi ini, termasuk rencana implementasi pajak karbon dan pengembangan mekanisme perdagangan karbon sebagai bentuk insentif ekonomi.
Strategi kunci dalam dekarbonisasi adalah percepatan transisi energi dari fosil ke sumber energi baru dan terbarukan (EBT). Buku ini menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi EBT yang melimpah (surya, angin, hidro, panas bumi), namun pemanfaatannya masih terkendala isu infrastruktur, intermitensi, dan kebutuhan investasi besar. Untuk mengatasi bermacam kendala itu, buku ini menyatakan pentingnya instrumen lain berupa akuntansi karbon, yang memungkinkan pengukuran dan pelaporan emisi secara transparen oleh entitas bisnis, serta pengembangan pasar karbon (baik pasar wajib maupun sukarela) untuk memfasilitasi perdagangan kredit karbon.
Pembiayaan hijau menjadi tulang punggung transisi ini; pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorongnya melalui penerbitan obligasi hijau (green bonds) dan regulasi keuangan berkelanjutan bagi lembaga jasa keuangan. Keberhasilan transisi ini, demikian ditegaskan pada akhir bab, sangatlah bergantung pada sinergi antara kebijakan pemerintah, inovasi dan komitmen sektor swasta, serta partisipasi aktif masyarakat melalui perubahan perilaku dan peningkatan kesadaran lingkungan.
Timbangan
Buku ini jelas merupakan kontribusi yang sangat berharga dalam diskusi mengenai keberlanjutan di Indonesia. Salah satu kekuatan utama buku ini terletak pada pendekatan holistiknya dalam membahas berbagai aspek pembangunan berkelanjutan, mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, dan secara lebih khusus energi, pertanian, serta kebijakan nasional dan global. Dengan cakupan yang luas, buku ini berhasil menyajikan pemahaman yang komprehensif mengenai tantangan dan peluang yang dihadapi Indonesia dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Keunggulan lain dari buku ini adalah pendekatan berbasis data yang digunakan dalam analisisnya. Setiap bab didukung oleh berbagai penelitian, laporan, serta data empiris yang relevan, sehingga menjadikan argumentasi yang disajikan lebih kredibel dan kuat—dan dalam jumlah yang pas sehingga pembaca tak merasa dibanjiri data. Kedua penulis tidak hanya mengandalkan teori dan konsep, tetapi juga memberikan contoh nyata mengenai bagaimana kebijakan keberlanjutan diterapkan di berbagai sektor. Dengan demikian, pembaca dapat memahami konteks implementasi yang lebih praktis, termasuk tantangannya, tidak hanya terbatas pada konsep teoretis yang vakum dan steril.
Bahasa yang digunakan dalam buku ini juga merupakan salah satu aspek yang sangat patut diapresiasi. Meskipun membahas topik yang kompleks, kedua penulis mampu menyajikannya dengan cara yang jelas dan mudah dipahami. Penggunaan istilah teknis tetap ada, namun dijelaskan dengan baik, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang, termasuk yang bukan ahli dalam bidang keberlanjutan dan generasi muda yang menjadi harapan dalam mewujudkan keberlanjutan di Indonesia, tetap dapat mengikuti isi buku ini dengan baik. Struktur penulisan yang sistematis juga membantu dalam memahami alur berpikir para penulis, mulai dari pengenalan masalah, analisis, hingga solusi yang ditawarkan.

Buku ini juga berhasil mengaitkan kebijakan nasional Indonesia dengan agenda keberlanjutan global, seperti SDGs dan Perjanjian Paris. Dengan pendekatan ini, pembaca dapat memahami bagaimana kebijakan dan program keberlanjutan di Indonesia tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari upaya global untuk mengatasi perubahan iklim dan tantangan lingkungan lainnya.
Penjelasan mengenai bagaimana Indonesia dapat menyelaraskan kebijakan nasionalnya dengan standar internasional memberikan wawasan yang sangat berharga. Pembahasannya mengenai ekonomi sirkular dan transisi menuju ekonomi rendah karbon memberi banyak contoh yang sangat pas. Tidak hanya menjelaskan urgensi dari kedua konsep tersebut, tetapi juga memberikan wawasan mengenai langkah-langkah konkret yang dapat diambil oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah hingga sektor swasta. Analisis yang mengaitkan antara EBT serta pembiayaan hijau juga sangat relevan dalam konteks transisi energi di Indonesia, yang hingga sekarang masih sangat keterlaluan bergantung pada bahan bakar fosil.
Apakah saya punya catatan untuk ruang perbaikannya? Tentu saja. Saya merasakan kurangnya pembahasan yang lebih mendalam mengenai tantangan implementasi kebijakan keberlanjutan di tingkat daerah. Indonesia adalah negara kepulauan dengan tingkat pembangunan yang sangat beragam antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kebijakan nasional yang baik sering kali menghadapi hambatan dalam implementasi di daerah akibat keterbatasan sumber daya, perbedaan kapasitas pemerintahan lokal, serta resistensi dari berbagai kelompok kepentingan.
Mengingat pembaca buku ini sangat mungkin tidak saja berada di Jakarta dan kota-kota besar, buku ini dapat diperbaiki dengan menambahkan studi kasus dari beberapa daerah yang telah berhasil atau mengalami kendala dalam menerapkan kebijakan keberlanjutan, sehingga dapat memberikan wawasan yang lebih aplikatif bagi pembaca yang ingin memahami dinamika di tingkat lokal.
Juga, meskipun buku ini telah membahas transisi menuju ekonomi rendah karbon secara cukup luas, aspek sosial dari transisi ini masih kurang mendapat perhatian. Banyak negara yang telah melakukan transisi energi menghadapi tantangan sosial, seperti hilangnya pekerjaan di sektor energi fosil, ketimpangan akses terhadap energi bersih, serta kesenjangan keterampilan tenaga kerja. Buku ini dapat diperbaiki dengan memasukkan analisis yang lebih mendalam mengenai bagaimana transisi ini dapat dilakukan secara inklusif dan adil (just transition). Strategi seperti pelatihan ulang tenaga kerja, kebijakan perlindungan sosial bagi pekerja terdampak, serta keterlibatan komunitas lokal dalam perencanaan transisi energi seharusnya menjadi bagian dari pembahasan yang lebih mendalam dalam buku ini.
Terakhir, buku ini dapat ditingkatkan dengan memberikan ruang lebih besar bagi perspektif masyarakat sipil dan komunitas lokal dalam menghadapi tantangan keberlanjutan. Sering kali kebijakan keberlanjutan dipandang hanya dari perspektif pemerintah dan sektor swasta, padahal masyarakat sipil, organisasi lingkungan, serta komunitas adat memiliki peran yang sangat penting dalam mendorong perubahan. Dengan menambahkan wawasan dari kelompok-kelompok ini, buku ini akan menjadi lebih inklusif dan mencerminkan keberagaman aktor yang berperan dalam membangun Indonesia yang berkelanjutan.
Tetapi, saya tak mau bilang bahwa ketiga ruang perbaikan itu akan membuat buku ini menjadi kurang bermanfaat. Sekali lagi, saya sangat kagum atas keputusan kedua penulis untuk juga menyasar pembaca awam, bukan sekadar mereka yang sudah berpengalaman di bidang ini. Menyemai generasi baru untuk menguatkan keberlanjutan adalah keniscayaan untuk menambah peluang keberhasilan kita semua mencapai tujuan itu. Indonesia jelas membutuhkan generasi muda untuk mencapai critical mass yang memadai dan tipping point sehingga keberlanjutan bisa terwujud—dan, saya rasa, buku ini akan bisa merekrut generasi muda untuk bisa menjadi bagian dari gerakan keberlanjutan. Jika, dan hanya jika, sebanyak mungkin generasi muda masuk ke gerakan ini saja, maka Indonesia bisa mewujudkan keberlanjutannya.
Pada pertemuan dengan Mbak Yuni yang saya ceritakan di bagian awal tulisan ini saya bertutur tentang apa kesan yang langsung berkelebat di benak ketika membaca buku ini. Hampir 35 tahun lampau, saya membaca buku Pengantar ke Ilmu-ilmu Pertanian karangan Almarhum Profesor Andi Hakim Nasoetion. Di dasar sampul buku itu tertulis: Untuk Mahasiswa Baru Institut Pertanian Bogor. Buku itu bukan saja salah satu buku pengantar paling komprehensif, menarik, dan mudah dicerna yang saya pernah baca, melainkan juga yang paling indah bahasanya.
Ketika itu saya “tak habis pikir” mengapa seorang yang diakui kepakarannya di level global menghabiskan waktu untuk menulis buku yang dtujukan untuk mahasiswa baru. Tetapi, begitu mulai membacanya, saya sungguh bersyukur beliau mau menuliskan buku yang pengaruhnya saya rasakan hingga sekarang. Saya yakin, benak-benak muda di Indonesia juga akan merasakan rasa syukur yang mendalam karena dua profesor, Gunawan dan Lee, mau menginvestasikan waktu dan kepakarannya yang sangat berharga untuk menuliskan buku Menuju Indonesia yang Berkelanjutan ini.
Bacaan terkait
Agar Ketidakberlanjutan Perusahaan Tidak Berlanjut
Memikirkan Ulang Tata Kelola Perusahaan