Tubuhnya terlalu ringkih untuk dibandingkan dengan gajah dan badak Sumatra yang hampir punah, muasal leluhurnya.
Jika ditakar, dia mungkin setingkat harimau Sumatera yang soliter dan terancam kelangsungan hidupnya.
Tapi dalam raga yang biasa itu, matanya tidak dapat tidur bila melihat ketidakjujuran dan ketidakadilan.
Mata raganya setajam mata elang Jawa, tempat dia dilahirkan, dalam menilik sengkarut ekonomi negeri yang hanya memberi kemewahan pada segelintir oligarki yang kehilangan kompas moral dan etika.
Bang Faisal, harimau Sumatera yang rajin mengumpul data ketidakadilan ekonomi dalam ransel hitam yang selalu menempel di punggungnya ke mana pun dia berkelana.
Jika hasil analisis ketidakadilan ekonomi yang dia tulis dan suarakan tidak diindahkan penguasa dan pengusaha zalim, suara baritonnya yang serak akan berubah jadi auman tenor dan taringnya tidak ragu untuk menunjuk hidung siapa saja yang dianggapnya zalim pada Ibu Pertiwi.
Bang Faisal, harimau Sumatra yang hatinya hanya bersekutu dengan kebenaran dan keadilan. Dia menolak pengekangan pikiran walau dengan imbalan kemewahan dan puja-puji yang memabukkan.
Bang Faisal teguh merawat mata hatinya yang jernih dan dalam kamusnya: air suci tidak boleh tercampur noda. Dia paham bahwa noda adalah “ancaman penjara” bagi orang yang teguh menyuarakan kebenaran.
Kebersihan hati, keberpihakan pada yang tertindas, dan kebenciannya pada kezaliman, menempa Bang Faisal untuk berani menghujat kemungkaran walaupun sang lawan adalah penguasa tinggi negara.
Keberanian dan ketajaman analisisnya bagai pamor dalam kombinasi badik-keris-rencong yang disepuh dengan intan-manikam khatulistiwa. Keberaniannya dalam bersikap dan bersuara seharusnya mempermalukan lelaki se-nusantara yang hanya mampu menggerutu dalam hati.
Kamis, 5 September 2024, saya tafakur dan memejamkan mata di kaki jasadnya yang siap menghadap Rab-nya.
Dalam mata yang masih tertutup, saya bertanya pada jasadnya: dari mana sumber kekuatan dan ketabahanmu?
Ketika mata saya terbuka, saya mendekati IBU-nya yang sedang duduk menatap jasad putra-nya.
Ketika saya menjabat tangan dan memperkenalkan diri pada beliau, sang Ibu menarik saya dan membisikkan sesuatu di telinga saya: “Doakan Faisal dan doakan saya agar saya kuat dan tabah.”
Air mata hangat beliau yang mengenai pipi saya dapat melelehkan intan dan memadamkan gunung api.
Bang Faisal Basri telah menghadap Rab-nya dalam perjuangan untuk negeri yang adil dan menolak bersekutu dengan kezaliman.
Bang Faisal menghadap Ilahi dalam kesucian. Dia gajah dan harimau nusantara yang meninggalkan gading dan belang.
Bang Faisal mewariskan ilmu dan arti BERANI serta kompas MORAL dalam perjuangan buat seantero anak negeri.
Jakarta-Makassar, 7 September 2024
Murid yang berduka.