Izinkan saya bertutur tentang seseorang yang telah saya kenal lebih dari dua dekade dan baru saja saya temui lagi dengan perasaan (utamanya) bahagia dan bangga.
Lebih dari dua dekade lampau di kelas Gerakan Sosial yang saya ampu tetiba hadir seorang mahasiswa dari jurusan yang tak seharusnya ada di kelas itu. Dia tak minta izin untuk duduk mendengarkan kuliah saya, tetapi kemudian mendatangi saya setelah kelas selesai.
Dia memperkenalkan diri dengan suara yang lirih, hampir seperti berbisik. “Endro,” begitu katanya lebih keras, karena saya tak cukup menangkap namanya kali pertama. Dia bilang hendak meneliti gerakan lingkungan, dan karena dia merasa tak mendapatkan perspektif yang memadai di jurusannya, maka dia meminta izin untuk seterusnya duduk di kelas saya setiap minggunya.
Saya tak punya alasan menolak. Apa yang dia ingin tahu memang bisa saya sediakan di kelas pada minggu-minggu berikutnya. Lagipula, pembicaraan pertama kami jelas membuat saya berpikir bahwa Endro punya energi intelektual yang luar biasa besar. Kalau dia mau menyeberangi sekat-sekat jurusannya, jelas dia punya pikirin multi- atau bahkan inter-disipliner. Dan saya sangat menyukai para mahasiswa yang demikian.
Beberapa minggu kemudian, Endro mulai menjelaskan idenya. Dia mau melihat gerakan lingkungan yang membela kelestarian Hutan Meler Kuwus dari berbagai ancaman deforestasi. Sontak saya tersenyum dan bilang kepada dia, “Saya tahu perspektif yang akan sangat cocok. Dan jurusanmu juga akan lebih bisa menerima dengan mudah.”
Saya mengenalkan Ekologi Politik kepada Endro. Saya berikan kepada dia buku karya Bryant dan Bailey, yang menurut saya adalah buku pengantar Ekologi Politik terbaik untuk konteks Dunia Ketiga, macam Indonesia. Saya juga meminjamkan kitab karya Peluso tentang hutan Indonesia yang kaya, namun mereka yang tinggal di dalam dan sekitarnya itu cenderung miskin.
Ketika dalam bilangan beberapa minggu dia kembali kepada saya dengan catatan ringkasan dan sederet pertanyaan, saya tersenyum lebih lebar. Agaknya prasangka baik saya soal energi intelektualitasnya memang tak meleset.
Oleh karena itu, alih-alih saya jawab dengan jawaban langsung, saya memberikan dia bacaan yang lebih banyak lagi. Kali ini lebih banyak artikel jurnal ilmiah, plus beberapa buku juga. Mungkin buku pengantar kritis untuk Ekologi Politik dari Robins yang waktu itu saya berikan. Tak lupa, saya beri juga beberapa teks Sosiologi Lingkungan yang membahas gerakan lingkungan.
Semuanya dia baca dengan telaten, dia ringkaskan, dan dia datang lagi dengan pertanyaan-pertanyaan baru. Begitu terus bahkan ketika dia sedang menuliskan skripsinya. Ketika akhirnya dia sidang, para dosen lebih banyak mengajukan pertanyaan ingin tahu, dan jauh dari kesan menguji. Begitulah. Dia lulus dengan memberi impresi kuat kepada para pengujinya.
Saya sendiri tak membuang waktu. Dengan energi seperti itu, ketekunan (dan kreativitas!) pencarian data di lapangan, serta kemampuan menulis jauh di atas rerata mahasiswa dan sarjana baru, jelas Endro bakal dengan mudah mendapatkan tempat kerja. Oleh karena saya sedang membutuhkan orang seperti Endro, saya menawarkannya untuk bergabung dengan A+ CSR Indonesia yang baru saya dan beberapa kolega dirikan.
Endro pun mulai jadi peneliti dan konsultan. Dia banyak terlibat meneliti hubungan perusahaan dan pemangku kepentingannya di seluruh Indonesia, dan kami benar-benar merasa beruntung dengan apa yang dia kontribusikan. Sampai beberapa tahun berlalu dan dia bilang mulai ingin menggapai langit intelektualitas yang lebih tinggi.
Akhirnya Endro beroleh beasiswa di sebuah universitas terkemuka di Turki (kemudian menjadi Turkiye). Dia ingin belajar di bawah Guler Aras, profesor bisnis berkelanjutan yang publikasi-publikasinya sudah sangat terkenal saat itu, dan itu motivasinya untuk pergi ke kota yang dijuluki Ibu Kota Dunia itu.
Dengan energi intelektualitasnya yang meruah, dia menulis tesis soal perbandingan standar dan regulasi keuangan berkelanjutan di Eropa, jauh sebelum kebanyakan orang Indonesia mendengar istilah ESG. Dan dia memilih untuk menghadapi tantangan ganda: isu yang baru, dan bahasa asing yang juga harus dia pelajari.
Saya tak pernah bertemu Endro lagi setelah dia berangkat ke kota yang ada di dua benua, dipisahkan Selat Bosforus yang sangat historis itu. Dia pernah kembali ke Indonesia, tapi kami tak sempat bertemu, lantaran jadwal saya yang entah sedang berada di mana. Kami terus berkontak lewat aplikasi pesan, tapi tak kerap. Tahun 2019 saya bilang bakal menengoknya di bulan April 2020. Lalu COVID-19 datang, memupus asa perjumpaan itu.
Baru akhir pekan lalu saya tiba di Istanbul. Saya memberi tahu ketika sudah mendarat di Bandara Istanbul, melewati imigrasi, dan ketika menunggu bagasi. Tetiba dia muncul di tempat pengambilan bagasi itu. Senyumnya masih seperti dulu, wajahnya pun tak jauh berbeda. Hanya bagian tertentu saja yang seperti menandai dia sudah bukan lagi sarjana baru seperti ketika meninggalkan Indonesia untuk menuntut ilmu.
Dia mengantarkan saya ke hotel setelah sebelumnya kami makan malam. Selama dua hari dia ajak saya berkeliling Istanbul. Dia mulai dengan menunjukkan yang ‘standar’, yaitu Hagia Sophia dan Masjid Biru. Tapi dia tak cuma menunjukkan tempat. Dia benar-benar bertutur lengkap dan runut. Saya seperti didampingi sejarawan + ilmuwan politik + ekonom dengan pengetahuan yang merentang sejak sebelum masa Isa lahir hingga Turkiye mutakhir.
Dia kini bekerja sebagai analis dan pembina hubungan dengan pemangku kepentingan untuk Konsulat Jenderal Indonesia di Istanbul. Untuk memastikan tugasnya lancar, dia menugaskan dirinya untuk tahu apa pun dan siapa pun di wilayah kerjanya: seputar Laut Marmara, bukan cuma Istanbul.
Maka, dia bisa mengajak saya masuk Hagia Sophia dan bercerita kapan bangunan dahsyat itu mulai dan selesai dibangun, bagaimana pemanfaatannya oleh Kristen Ortodoks, perubahannya menjadi masjid setelah Konstantinopel jatuh ke tangan Al Fatih, perubahan menjadi museum di bawah Ataturk, lalu kembali lagi (sebagiannya) menjadi masjid di bawah Erdogan.
Tak cuma itu, dia bisa menunjukkan masjid, menara, tembok, pasar, dan situs arkeologis mana pun dan langsung bercerita hal-hal paling menariknya. Saya seperti ditemani pemandu wisata paling kawakan. Dan memang dia adalah pemandu yang sangat menguasai substansi dan fasih bertutur.
Dan, dia bukan cuma ‘jagoan kandang’ Istanbul. Ketika Mas Noviansyah Manap, direktur eksekutif A+ CSR Indonesia, datang menyusul tiba di Istanbul 2 hari setelah saya, Endro mengajak saya menjemput. Sebelum ke bandara, dia tunjukkan ke saya hutan di sebelah utara Istanbul yang sangat luas. Sambil berjalan di dalamnya, dia ceritakan gosip yang sangat menyeramkan: di hutan inilah potongan mayat jurnalis Jamal Khasoggi dibuang setelah dihabisi para algojo Arab Saudi.
Keesokan harinya, Endro mengantar kami ke Canakkale, yang jaraknya 300+ km dari Istanbul. Kami melintasi jembatan gantung yang baru untuk mencapai lokasi Troia, yang kini ditandai dengan patung kuda yang dipergunakan pada film Troy besutan Wolfgang Petersen. Kami juga memandangi lokasi Perang Gallipoli. Dan, pengetahuan Endro soal itu tak kalah impresifnya.
Hanya berselang sehari setelah dia menyetir mengantar kami pulang pergi ke tempat yang sebetulnya tidak bisa dibilang dekat itu, dia kembali mengantar kami. Kali ini kami memulai perjalanan di malam hari, menuju Kapadokya. Targetnya: tiba di sana ketika balon mulai naik. Dan begitulah yang kami dapatkan. Persis ketika balon pertama naik, kami tiba di sana. Saya dan Mas Novi bisa punya pengalaman mengamati rumah-rumah yang dipahat di bebatuan, dan pulangnya menyaksikan Danau Garam Tuz juga lantaran Endro.
Di seluruh hari bersama dia saya menyaksikan betapa Endro sudah semakin matang. Pengetahuannya berlimpah, koneksinya luas, dan itu tak membuatnya terasa jumawa apalagi congkak. Endro masih seperti yang dulu. Bisa bercakap akrab dengan siapa pun. Dia tertawa bersama pedagang kopi, dia bercanda dengan pemilik toko keju, di telepon dia terdengar bercakap dengan serius dengan orang-orang yang ditolongnya. Ketika malam larut, di pom bensin ada seorang ibu tua perlu bantuan mengisi angin untuk bannya, dia tak segan membantu.
Begitulah kisah yang hendak saya bagikan soal mahasiswa langsing yang dulu saya temui di Depok yang kini jadi ‘penguasa’ Istanbul. Saya tak bisa lebih berbahagia lagi melihat perkembangan dirinya. (Bisa sebetulnya, kalau dia lebih baik menjaga kesehatannya, terutama demi Dara istrinya, serta Najwa dan Kamila, dua putrinya yang sungguh menyenangkan).
Dan, kalau Endro bisa berbagi gairah dan pengetahuannya tentang Istanbul, Turkiye, dan kawasan Mediterania, kepada publik yang lebih luas, terutama kita yang ada di Indonesia, kebahagiaan saya buat pencapaian dirinya jelas bakal menyentuh langit.
Langit di atas Dubai
6 Oktober 2024, 00:50
Bacaan terkait
Backpacker Penakluk Asia Tengah
Perusahaan, Bertanggungjawablah atas Seluruh Dampakmu
Mengekang Dorongan Konsumsi Tiada Henti
Setelah Heboh Ulil, Bahlil, dan Tahlil: Mungkinkah Pertambangan Hijau?