Ini semua bermula dari perubahan iklim. Perubahan iklim yang disebabkan kian meningkatnya gas-gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, sekarang ini menjadi lema yang mau tidak mau harus dipahami dan bahkan dihadapi oleh semua orang di muka bumi. Perubahan iklim menjadi hal yang tidak asing bagi para pengambil keputusan, sektor bisnis, sampai masyarakat awam dan generasi muda. Transisi energi
Semakin parahnya pemanasan global dan perubahan iklim ini mengakibatkan semua pihak akhirnya mencari jalan yang paling tepat dan cepat untuk memperlambat laju kenaikannya. Masalahnya, jalan itu ternyata tidak ada. There is no silver bullet for the fight against climate change.
Tak ada jalan pintas untuk mengatasi perubahan iklim yang frekuensi kejadian dan peningkatan suhunya terjadi secara eksponensial. Sebaliknya, hal ini memerlukan upaya besar di bidang teknologi, bisnis, dan masyarakat. Dan itu membutuhkan modal yang besar, banyak kegiatan yang kemudian harus dilakukan, dan tentu saja juga target, strategi, dan kebijakan yang tepat. Artinya, juga harus ada keterlibatan dari seluruh pemangku kepentingan di dalam upaya pencegahan semakin memburuknya perubahan iklim.
Transisi Energi dan Perubahan Iklim
Bahan bakar fosil yang berupa batu bara, minyak dan gas, sejauh ini merupakan kontributor terbesar terhadap perubahan iklim global, menyumbang lebih dari 75% emisi gas rumah kaca global dan hampir 90% dari seluruh emisi karbon dioksida1).
Pembakaran bahan bakar fosil yang kemudian menjadi emisi gas rumah kaca, menyelimuti bumi, dan memerangkap panas dari sinar matahari. Pembakaran bahan bakar fosil ini faktor utama penyebab pemanasan global dan perubahan iklim. Akibatnya, dunia saat ini mengalami peningkatan pemanasan lebih cepat dibandingkan titik mana pun dalam sejarah. Saat ini suhu terpanas yang pernah terukur dalam sejarah moderen adalah pada bulan Juli 2023, yang mengalahkan bulan Agustus, September dan Oktober di tahun yang sama sebagai bulan terpanas di dunia2).
Dengan melihat hubungan sebab-akibat di atas, maka untuk melakukan pencegahan perubahan iklim semakin meluas artinya juga pengurangan emisi yang lebih besar lagi dari pemakaian energi. Transisi dari energi dengan emisi yang tinggi menjadi nir emisi, atau minimal dilakukan penghematan dan transisi ke energi yang lebih rendah emisinya, dilakukan oleh setiap negara, perusahaan, bahkan individu menjadi suatu keharusan global.
International Energy Agency (IEA) adalah lembaga energi internasional yang sejak Paris Agreement ditandatangani menjadi lembaga yang paling getol mendorong semua negara untuk membuat strategi nol emisi atau Net Zero Emission Strategy (NZE), secepat mungkin dan sedrastis mungkin. Hal ini yang mendorong negara maju, negara berkembang, dan bahkan negara miskin, untuk membuat strategi dan perencaanaan ini, yang kemudian diikuti oleh perusahaan-perusahaan swasta di berbagai belahan bumi.
NZE menjadi menjadi satu “tren” dari setiap negara untuk menjadikannya strategi nasional, termasuk Indonesia. Banyak negara maju yang kemudian menjadikan tahun 2050 target untuk penggunaan energi nir emisi. Indonesia dan sebagian negara berkembang lain menjadikan tahun 2060 sebagai tahun target untuk implementasi NZE. Itu artinya di tahun tersebut energi yang dikonsumsi di Indonesia direncanakan sudah semuanya menggunakan energi bersih dan atau nol emisi. Kalaupun masih ada penggunaan energi fosil, maka diharapkan emisi GRK tersebut akan bisa diserap CO2-nya melalui penyerapan alami penanaman pohon dan konservasi hutan, ataupun penyerapan mekanis dengan metode CCS (Carbon Captured and Storaged).
Pemerintah Indonesia bahkan sudah memiliki rencana detail implementasi, dari mulai selembar gambar sederhana rencana awal sampai pada rencana dan target rumit dengan menggunakan berbagai modelling yang, seperti biasa, juga diperbaiki dan “diupdate” setiap saat. Strategi dan program inilah yang kemudian diiharapkan akan menjadi panduan dari arah pembangunan energi sampai tahun 2060. Tapi, apakah bisa?
Transisi Energi Berkeadilan
Bagi negara lain seperti Thailand dan Filipina, dan bahkan Jepang, transisi energi adalah semata menakar kekuatan ekonomi, kemampuan teknologi, dan niat mereka untuk berpindah dari energi fosil ke energi terbarukan atau jenis energi yang lebih bersih. Berbeda dengan Indonesia, ketiga negara tersebut dan banyak lagi negara lain, tidak memiliki tambang batubara–meski mereka mempunyai pembangkit listrik tenaga batubara, yang sebagaian besar diimpor dari Indonesia.
Bagi negara pengimpor energi fosil, rencana dan strategi untuk melakukan NZE akan jauh lebih banyak bertumpu pada implementasi teknologi untuk pemanfaatan energi terbarukan, pengembangan nuklir, riset serta implementasi efisiensi energi, dan implementasi CCS dengan cara menyuntikkan CO2 yang tersisa ke dalam reservoir di bawah muka bumi.
Hal ini tidak akan bisa dilakukan oleh Indonesia.
Selaku negara yang saat ini selain mempunyai sumber daya berlimpah untuk batubara, sekaligus juga salah satu pengekspor batubara terbesar di dunia, pembangkit listrik di seluruh Indonesia juga masih 80% menggunakan batubara sebagai bahan bakar. Bahkan ketergantungan akan batubara bukan hanya di sisi pembangkitan saja, tapi juga beberapa provinsi di Indonesia pendapatan daerahnya masih sangat tergantung dengan ekspor dan penjualan domestik batubara. Provinsi Kalimantan Timur, misalnya, pada tahun 2022 sebesar 44% dari PDRB berasal dari sektor batubara. Provinsi Kalimantan Selatan dan Sumatra Selatan ada di urutan berikutnya.
Apabila kemudian Indonesia melakukan kegiatan transisi energi, maka tidak hanya sektor energi saja yang akan terkena dampak, tetapi juga berbagai sektor lainnya akan terdampak secara langsung maupun tidak langsung. Dan bila kemudian Indonesia tidak melakukan transisi energi tapi negara pengimpor batubara Indonesia melakukannya, maka penurunan permintaan batubara yang sebelumnya pernah terjadi selama beberapa tahun berturut-turut sebelum Perang Rusia-Ukraina, akan terjadi lagi, sehingga mau tidak mau pengaruh ke Indonesia akan sangat besar.
Dampak menurunnya pendapatan daerah dan nasional karena berkurangnya pertambangan batubara sangat mungkin terjadi apabila ekonomi penggantinya belum disiapkan. Berbagai pembangkit batubara, infrastruktur tambang dan transportasinya, juga lahan tambang batubara akan menjadi aset yang tidak bermanfaat bila transisi energi dilakukan secara keseluruhan. Sementara penurunan ekonomi pasti juga akan terjadi karena belum siapnya sumber pendapatan lain.
Dilihat dari sisi pekerja, transisi energi akan berdampak pada perpindahan dan transisi pekerjaan dari pekerja tambang harus berpindah profesi pekerjaan yang lain bila tambang batubara kemudian akan berkurang atau malah ditutup. Akan banyak pengangguran bila tidak disiapkan lapangan pekerjaan lain untuk menampung tenaga kerja. Hal ini tidak saja berdampak ekonomi, tetapi juga dampak sosial dan politik pasti tidak bisa dihindari. Artinya, transisi energi ini dampak negatifnya juga cukup besar.
Tapi, tidak berubah, atau tidak melakukan transisi energi, juga bukan merupakan pilihan. Kondisi dunia dengan perubahan iklimnya yang semakin parah, ditambah dampak kerusakan lingkungan yang parah sekitar tambang batubara, penurunan kualitas kesehatan, dan buruknya kualitas udara, mengharuskan Indonesia untuk melakukan transisi energi. Dari berbagai sumber penelitian yang sudah dilakukan, maka dampak negatif pertambangan batubara ini lebih besar daripada dampak positif ekonomi yang ditimbulkan. Tak ada pilihan lain selain transisi energi, transisi dari ekonomi berbasis batubara ke arah ekonomi hijau adalah satu keharusan.
Sudah terlalu banyak kerusakan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang terjadi karena tidak bertanggungjawabnya pengelola tambang batubara, terutama tambang ilegal. Kerusakan secara global juga akan berakumulasi karena tambang batubara masih dilanjutkan dan dikembangkan; karena emisi GRK akan menumpuk di atmosfer bumi. Meski di sisi lain pemerintah yang sama juga menyerukan transisi energi, pemberian izin tambang batubara terus diberikan, bahkan kepada organisasi kemasyarakatan keagamaan (Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah).
Dan bagaimana kemudian dengan proses berkeadilan yang katanya harus dilakukan pada setiap transisi energi? Bisakah hal itu terjadi?
Proses transisi energi berkeadilan harus melibatkan bukan saja pekerja tambang, pemilik tambang batubara, dan pemerintah, tetapi juga seluruh pemangku kepentingan lain, seperti akademisi, jurnalis dan media, sektor bisnis swasta, organisasi kemasyarakatan, organisasi perempuan, dan masyarakat sekitar tambang. Semua harus dilibatkan dalam proses transisi energi yang berkeadilan, no one will be left behind.
Berkeadilan Adalah Proses Bersama
Transisi energi berkeadilan atau Just Energy Transition yang kemudian menjadi tren dunia ini sebenarnya adalah proses bersama yang harus dilakukan antara semua pemangku kepentingan melalui proses dialog sosial dengan prinsip saling menghargai, keterbukaan, kerja sama, dan keinginan untuk mencapai tujuan bersama. Proses ini bukan hal yang mudah dilakukan. Untuk mencapai kesepakatan antarpemangku kepentingan dibutuhkan kesepahaman awal, proses dialog berkelanjutan, dan juga saling percaya antarsesama wakil pemangku kepentingan.
Beberapa contoh keberhasilan dialog sosial dalam implementasi transisi berkeadilan dari beberapa negara sahabat membuktikan bahwa proses ini adalah salah satu jalan terbaik dalam melakukan transisi energi. Semakin awal transisi energi ini dilakukan dan terkelola, maka akan semakin mudah untuk mencapai tujuan. Perlunya dialog dan kerja sama antarpemangku kepentingan dari awal kegiatan berlangsung bukan saja untuk peningkatan keterlibatan pemangku kepentingan, tetapi juga untuk pemahaman akan posisi masing-masing pemangku kepentingan di dalam transisi energi.
Beberapa negara yang telah sukses dalam pengurangan operasi tambang batubara dengan transisi energi berkeadilan, antara lain, adalah Jerman, Cekoslowakia, Meksiko, dan beberapa negara lain. Pengakuan akan pentingnya keterlibatan masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan terkait di dalam dialog sosial yang diadakan adalah kemutlakan di dalam proses transisi.
Dalam setiap tahapan, contohnya akan ditutupnya pembangkit listrik tenaga batubara, atau pengurangan operasi tambang batubara, maka seluruh pemangku kepentingan akan diajak berdialog dalam penyelesaian dampak yang mungkin timbul. Beberapa dampak yang semula tidak terpetakan akan menjadi bisa dipahami bersama, sehingga antisipasi pemecahan masalah bisa dilakukan sejak awal.
Pada perkembangannya, proses transisi energi berkeadilan ini terbukti justru mampu untuk meningkatkan ekonomi daerah di lokasi kegiatan transisi yang terdampak secara langsung. Peningkatan ekonomi hijau adalah imbangan yang layak untuk diterima daerah-daerah tersebut.
Bagaimana Proses Transisi Energi Berkeadilan ke Depan di Indonesia?
Berbagai kegiatan sebenarnya telah dilakukan di Indonesia dalam kaitannya dengan transisi energi berkeadilan ini. Adanya kerja sama internasional dalam JETP atau Just Energy Transition Partnership yang berusaha untuk melibatkan masyarakat, NGO, media, dan unsur-unsur kepentingan yang lain adalah satu langkah yang tepat di dalam implementasi.
Saat ini rencana pensiun dini bagi beberapa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menjadi target awal adalah langkah awal yang tepat, meski secara ekonomi memiliki tantangan yang tinggi, terutama untuk penanganan aset bekas PLTU.
Walau begitu, di sisi pasokan batubara, masih belum ada rencana yang jelas untuk pensiun dini bagi tambang batubara. Berbeda dengan pensiun dini PLTU, penutupan tambang batubara ilegal saja jarang sekali terdengar. Ke depan pemerintah bahkan bermaksud mengalihkan beberapa izin pertambangan untuk ormas keagamaan. Banyak pengamat yang meragukan pengelolaan tambang batubara oleh ormas karena minimnya pengalaman para ormas tersebut di dalam pengelolaan tambang. Hal ini akan berpotensi meningkatkan emisi nasional maupun global, di samping memperparah kerusakan lingkungan dan kesehatan.
Langkah dan implementasi kegiatan pemerintah yang berbeda dengan strategi yang telah dibuat sebelumnya inilah yang meragukan banyak pengamat untuk keberhasilan proses transisi energi berkeadilan sesuai target yang telah ditentukan. Pergantian pemerintahan yang segera akan terjadi juga berpotensi berubahnya strategi dan target dalam pembangunan berkelanjutan dan implementasi pengurangan emisi melalui transisi energi, walau juga tidak menutup kemungkinan untuk menjadi lebih baik dari yang sekarang.
Konsistensi kebijakan dan implementasi pemerintah di dalam transisi energi berkelanjutan ini adalah salah satu kemutlakan. Kebijakan pemerintah dari mulai target, strategi, dan tata aturan implementasi tidak boleh berubah hanya karena situasional atau kepentingan politik. Di atas segalanya, kepentingan menjaga lingkungan dari kerusakan lebih parah dan pencegahan semakin meningkatnya perubahan iklim tetap harus menjadi target utama.
Di level nasional, regional, dan provinsi, dialog sosial untuk perancangan langkah dan implementasi transisi energi tetap dan semakin harus ditingkatkan. Masyarakat dan semua pemangku kepentingan harus memahami berbagai informasi dan pengetahuan terkait energi hijau, pertambangan batubara, ekonomi hijau, memutuskan sendiri apa yang kemudian harus dipersiapkan, dan saling berkoordinasi untuk implementasinya kemudian.
Maka, untuk tetap dapat melakukan implementasi transisi energi berkeadilan ke depan, disarankan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, konsistensi kebijakan dan tata aturan pemerintah untuk pencapaian target. Kasus mustahil tercapainya target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 tidak boleh lagi terulang. Konsistensi pemerintah yang diterjemahkan ke dalam penyiapan anggaran dan aturan pendukung adalah satu kemutlakan.
Kedua, kebijakan untuk tidak menambah, dan justru mengurangi tambang batubara dan PLTU batubara, harus diimplementasikan alias diwujudkan secara konsisten dan terencana, termasuk kemungkinan kerja sama pendanaan dengan berbagai mitra di dalam dan luar negeri.
Ketiga, pemetaan para pemangku kepentingan yang terkait dengan transisi energi berkeadilan mutlak untuk dilakukan, dilanjutkan dengan perancangan strategi secara komprehensif. Karena tiap daerah berbeda kondisi dan situasinya, juga peran masing-masing pemangku kepentingan, maka pemetaan ini menjadi modal awal penting untuk dialog sosial.
Keempat, pembentukan tim atau kelompok wakil para pemangku kepentingan untuk cikal bakal dialog sosial antarpemangku kepentingan. Di dalam dialog sosial inilah dirancang secara bersama kegiatan-kegiatan inti transisi energi berkeadilan.
Kelima, pengembangan strategi transisi berkeadilan di kawasan khusus batubara yang dijadikan prioritas dapat dibangun bersama antara pemerintah dan para pemangku kepentingan melalui dialog sosial. Di dalam strategi dapat harus diidentifikasi berbagai peluang untuk melakukan implementasi ekonomi hijau, model pendanaannya, sampai langkah implementasinya.
Keenam, membangun model tata kelola yang efektif dan peningkatan peran dari para pemangku kepentingan di dalam setiap proses kegiatan adalah langkah berikutnya yang kemudian harus diambil.
Ketujuh, peningkatan pengetahuan para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah sendiri, untuk energi terbarukan dan efisiensi energi yang mempunyai prioritas untuk dikembangkan. Peningkatan pengetahuan ini harus dilakukan berkelanjutan, sehingga antarpemangku kepentingan mempunyai pengetahuan dan nilai tawar yang setara. Implementasi kemudian akan bisa dilakukan oleh para pemangku kepentingan yang membutuhkan.
Kedelapan, dekarbonisasi berbagai instlasi penghasil emisi, terutama pengguna batubara, juga harus dilakukan secara paralel dan terencana. Setiap implementasi juga harus mempertimbangkan dampak terhadap tenaga kerja dan antisipasi terjadinya transisi tenaga kerja dari instalasi pengguna batubara maupun tambang batubara, ke sektor bisnis yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Kesembilan, implementasi energi hijau, yaitu energi terbarukan dan efisiensi energi, yang diharapkan juga membuka lapangan kerja baru serta peningkatan ekonomi pengganti ekonomi batubara. Energi hijau dan kemudian juga penanganan daerah pasca pertambangan batubara akan bisa diimplementasikan bersama dengan anggota masyarakat, organisasi kemasyarakatan, perusahaan, dan juga akademisi sesuai dengan perannya masing-masing.
Langkah-langkah transisi energi berkeadilan di atas hanya merupakan langkah generik dan pokok untuk implementasi. Di dalam implementasi yang dilakukan, seperti yang saat ini tengah dicoba di Provinsi Kalimantan Timur dan Sumatra Selatan, jauh lebih rumit teori.
Keragaman kondisi daerah, beranekanya pemangku kepentingan, dan banyaknya kepentingan yang sejalan maupun bertentangan, menjadikan proses yang harus dilakukan melalui dialog sosial menjadi proses yang sangat menantang. Tapi ini adalah proses yang harus dilakukan apabila kemudian unsur berkeadilan benar-benar ditonjolkan, sehingga implementasi kegiatan berkelanjutan.
Dan hasil akhir yang dituju kemudian adalah tetap penurunan emisi yang harus bisa diukur secara transparan, terukur, dan berkelanjutan. Indonesia sebagai suatu negara harus punya peran nyata dalam penurunan emisi global, karena Indonesia bukan saja sebagai korban tetapi juga salah satu penyebab perubahan iklim itu sendiri.
Pada akhirnya pertanyaan besarnya adalah, apakah transisi energi secara berkeadilan, unsur keadilannya benar-benar bisa diimplementasikan di Indonesia, sehingga tak ada seorang pun yang tertinggal atau menjadi korban dari transisi energi itu sendiri. Tahun-tahun ke depan akan bisa membuktikannya, kita akan berhasil bersama atau menderita bersama.
Jabal Golfie, 3 Juni 2024
Referensi:
- United Nations: https://www.un.org/en/climatechange/science/causes-effects-climate-change.
- https://www.washingtonpost.com/weather/2023/11/09/earth-hottest-months-climate-warming/.
- Toolbox Transisi Energi Berkeadilan untuk Daerah Kawasan Batubara, buku pedoman, Wuppertal Institute, 2024.
Ulasan Pembaca 6