Bicara tentang krisis iklim, generasi milenial (lahir 1981-1996) dan generasi Z (lahir 1997-2012) adalah generasi yang paling “marah” dan “cemas’” dibandingkan dengan generasi X, baby boomer, dan pasca-perang. Dua emosi kuat ini cenderung banyak muncul di generasi muda karena dampak krisis iklim yang paling mengancam mereka, mulai dari kejadian cuaca ekstrem, gelombang panas, kebakaran hutan, hingga berkurangnya sumber pangan dan air.
Dalam cuitan singkat yang saya lempar di X (sebelumnya Twitter), jawaban generasi Z mengenai rasa frustrasi mereka akan krisis iklim adalah:
“Berkurangnya persawahan yang dialihfungsikan menjadi perumahan, … berkurangnya burung setempat (karena peralihan fungsi lahan ini)…”
“Jika korbannya adalah masyarakat adat (lahan diambil perkebunan atau tambang, lingkungan tercemar)…”
“(Lebih) mengutamakan kendaraan listrik dan IKN dibanding transportasi publik…”
Paradoks Kepedulian dan Kecemasan
Generasi milenial dan generasi Z yang tergolong muda (younger generations) tumbuh dengan persebaran informasi yang masif, memiliki daya pikir kritis yang baik, dan lebih berani untuk mengungkapkan pendapat atau perasaan mereka. Kombinasi karakter dan akses pada pendidikan serta pengetahuan ini membuat mereka lebih paham dan peduli dengan isu-isu iklim dan lingkungan–isu yang tidak menjadi perhatian khusus bagi generasi sebelumnya.
Jika generasi milenial sudah mulai dewasa saat era internet berkembang, dengan berita dan percakapan tentang isu iklim masih di batasan perubahan iklim atau pemanasan global dengan contoh mencairnya es di Kutub Utara yang tidak terlalu relate; generasi Z lahir dan tumbuh sebagai digital natives dan isu iklim sudah menjadi krisis iklim dengan banyak dampak merusak yang terjadi di seluruh dunia, diberitakan pula secara masif. Tak hanya terpapar pada berita mengenai badai dan siklon yang luar biasa, wildfire yang terjadi dari Kanada sampai Australia, kekeringan di Amazon, mereka juga mengalami sendiri gelombang panas di Asia Tenggara, atau menjadi bagian masyarakat adat seperti Laetania Belai Djandam, aktivis muda Dayak yang prihatin dengan penebangan hutan ilegal dan kerusakan alam karena tambang.
Kepedulian (dan empati) ini membuat generasi muda aktif ambil bagian menyuarakan pesan, membuat konten (di media sosial), terlibat dalam aksi-aksi protes damai, hingga mengadopsi perilaku-perilaku berkelanjutan (sustainable lifestyle). Mereka banyak menggunakan platform daring seperti media sosial dan kegiatan komunitas luring untuk menuntut beragam aksi iklim: transportasi publik (yang lebih rendah emisi), ruang terbuka hijau, akselerasi energi terbarukan, kecaman akan praktik perampasan tanah adat dan pembukaan hutan yang masif, juga kebijakan yang mengedepankan prinsip lingkungan berkelanjutan.
Di sisi lain, kepedulian ini juga mengerucut pada kemarahan dan kecemasan. Marah karena mereka banyak melihat generasi yang lebih tua, yang memegang posisi penting pengambilan keputusan (negara, perusahaan, lembaga lain)–justru kurang ambisius dalam upaya mengurangi emisi dan menanggulangi dampak krisis iklim. Greta Thunberg bisa jadi merupakan aktivis gen Z populer di dunia yang kerap mengungkapkan kemarahannya pada para pemimpin dunia di berbagai konferensi iklim dan pertemuan tingkat tinggi.
Younger Generations Taking Over the Workplace and as Consumers
Dengan statistik menunjukkan bahwa generasi muda memiliki porsi terbesar di dunia kerja dan sebagai konsumen, isu krisis iklim diperkirakan akan terus menjadi isu prioritas. Survei pekerja di Inggris pada tahun 2022 menunjukkan bahwa setidaknya separuh pekerja yang berusia 18-24 tahun akan “keluar dari pekerjaan” jika perusahaan tempat mereka bekerja tidak memiliki upaya net-zero yang komprehensif. Temuan McKinsey juga menunjukkan komitmen perusahaan pada isu environmental, social, and governance (ESG) berdampak positif pada komitmen untuk bekerja dengan baik dan lebih lama di perusahaan.
Sebagai konsumen, generasi muda juga memiliki preferensi membeli produk dan menggunakan jasa yang lebih hijau dan berkelanjutan. Selain rela membeli produk dengan harga sedikit lebih mahal namun lebih tahan lama, berkualitas, dan diproduksi dengan proses yang berkelanjutan, mereka juga cenderung mencari hotel atau tempat menginap yang menerapkan eco-living, misalnya pencucian sprei dan handuk sesuai kebutuhan dan pembatasan penggunaan kemasan sekali pakai. Generasi muda bahkan juga memilih instrumen investasi yang memiliki aspek berkelanjutan, tidak lagi sebatas investasi konvensional.
Tidak bisa dipungkiri, kemarahan dan kecemasan iklim di kalangan generasi milenial dan generasi Z membutuhkan perhatian serius. Namun, juga perlu disadari bahwa dengan kepedulian dan emosi yang kuat itu, generasi muda ini memiliki semangat besar untuk melakukan perubahan dan memengaruhi lingkungan terdekat, komunitas, hingga menyuarakan aspirasi mereka pada pengambil kebijakan dan keputusan di berbagai tingkatan. Survei terbaru Deloitte menggarisbawahi hal serupa: generasi muda telah melakukan banyak hal untuk meminimalkan emisi mereka dan berpendapat bahwa pemerintah memegang peran besar untuk aksi iklim yang lebih kuat.
Jujurly, sebagai bagian dari generasi yang disebut muda ini–saya sering “marah” tidak hanya karena krisis iklim yang semakin parah, juga karena para penentu kebijakan dan pengambil keputusan di banyak lembaga (yang umumnya generasi di atas kami), sering mengatakan “anak muda harus ambil peran!”; sedangkan mereka yang justru memegang peran penting itu tidak optimal mendorong dan menunjukkan aksi iklim yang nyata dan ambisius.
Doa sederhana kami: bila dianugerahi umur panjang, kami ingin tinggal di bumi yang masih bisa dihuni.
Ulasan Pembaca 5