“Sedikit-sedikit marah. Marah, kok, sedikit?” Ini lawakan Asmuni grup Simulat yang dulu begitu populer dan tetiba jadi terngiang kembali. Dan hari-hari ini tampaknya apa yang dicandakan oleh pelawak dengan kumis kayak Charlie Chaplin ini menemukan momentumnya. Saat ini kemarahan terlihat begitu cepat tertumpah. Banyak yang gampang meriang, kejang, dan lalu marah. Sedikit ada isu yang sering belum jelas kebenarannya, maka seketika marah menguar-nguar. Ya, seakan kita hidup dalam “peradaban marah”.
Demo-demo merebak, pertanda ada amuk kemarahan. Di alam demokrasi, demo seakan menjadi ‘keharusan’, bahkan bisa ‘dibuat-buat’. Daripada planga-plongo di rumah, mending ikut demo, kata seseorang yang tak sengaja bertemu dengan saya mengungkapkan unek-uneknya. Tentu saja demo karena ada alasan yang kuat, patut dihargai, dan itu hak.
Demo memang menjadi pantulan ekspresi dan respons yang kritis. Demo di alam nyata memang tidak saban hari terjadi. Tapi, yang namanya demo-demo di ‘dunia lain’, tepatnya di dunia maya, suasana ‘padat merayap’, jarang yang ‘ramai lancar’. Jalanan di media sosial sudah begitu berisik dan menjadi sebuah ‘mob’ gerombolan yang siap menghunus apa saja demi membela apa yang mereka yakini benar dan menguntungkan. Lihat saja nanti saat pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2024 ini berlangsung atau bahkan setelah usai. Ada saja benturan antarpendukung atau demo ketidakpuasan dengan tuduhan kecurangan dan lainnya.
Terlebih soal yang yang menyangkut agama, atau setidaknya menyerempet irisan darinya, bagai api dalam sekam, mudah tersulut amarah. Demo offline dan online, hujatan, cacian, dan semua sumpah serapah keluar begitu entengnya, betapapun isu yang mengemuka belum tentu sebagaimana diopinikan.
Sindrom Fobia
Menekuri fakta giris itu, banyak orang termasuk saya sendiri lama-lama menjadi ‘takut’ bicara agama. Rasa-rasanya hal hal yang berserempetan dengan agama menjadi riskan dan bisa-bisa menimbulkan petaka. Kenapa? Coba kita pelototi ceramah-ceramah dan debat agama. Masing-masing sudah menggunakan dalil yang dianggapnya sahih, masih saja dibantah dengan dalil yang katanya lebih sahih. Apalagi kalau di arena debat agama, semisal soal perbuatan bidah atau debat antar sekte agama semacam Aswaja dengan Salafi atau dengan Syiah, wow banyak dalil yang bersahutan. Semua menganggap dalilnya sebagai petunjuk yang paling benar. Jangankan masalah berat dalam bidang agama, hal-hal yang sudah menjadi ritual keseharian seperti salat, itu pun masih banyak yang memperdebatkan mana yang sesuai dengan salatnya nabi, shollu kama roaitumuni usholli.
Di era medsos ini begitu banyak tampil para ahli agama, baik untuk berceramah maupun untuk adu argumentasi. Mereka sepertinya terpanggil untuk ‘meluruskan umat’ yang selama ini dilihat mereka sudah jauh melenceng dari ajaran aslinya. Jadi, tampil berdakwah bukan untuk ‘menenangkan’ masyarakat, tetapi sudah melebihi ‘pakem’ yang ada sehingga kerap menimbulkan gaduh.
Seorang teman satu kampung yang kini menjadi wirausahawan sukses barusan berselang main ke rumah saya. Lama tak jumpa membuat suasana jadi hangat dan penuh canda tawa. Usai kelakar ngalor ngidul, tiba-tiba dia bertanya pada saya, apakah orang yang sudah menjalankan agama seperti salat dan sudah menjadi orang baik, minimal tidak pernah menyakiti orang lain, kok, masih ditunjuk-tunjuk ‘akidah’-nya melenceng sehingga harus diluruskan. Sosok orang sepertinya hanya dilihat dari ‘kepalanya’, tidak sekujur tubuhnya. Saya yang terumpan dengan pertanyaan ‘sederhana tapi kritis’ itu mendadak bungkam sejenak. Saya menyadari, perasaan seperti ini sedang berkecamuk pada mereka yang masih punya daya kritis dalam menanggapi ujaran dan ajaran yang dikhotbahkan pada pengusung dakwah.
Belum lagi yang terkait dengan urusan ‘jihad’, tak sedikit para pendakwah dan mentor-mentor ideologis yang mengajak untuk berjihad dari yang ‘jihad minimalis’ sampai yang ‘jihad maksimalis’. Duh, jadi ‘bingung-bingung dibuatnya’, menyitir syair lagu “Perdamaian” dari Nasyida Ria yang dulu top markotop.
Coba kita telusuri dunia jihadis, mungkin bisa bikin kita tambah gamang dan absurd. Bagaimana menatapi cara pandang yang menghinggapi jihadis, sepertinya butuh asupan pikiran yang bisa menguatkan pikir. Ada kawan saya eks napiter yang dengan bangga mengatakan, dulu sewaktu dia diajak untuk berjihad, langsung dia sangat gembira dan terbayang indah akan kematian dalam kesyahidan. Beruntung dia masih hidup dan kini berjualan martabak. Rata-rata para jihadis mempunyai pola pikir yang demikian. Kematian dalam berjihad sangat diimpikan.
Belakangan ini, kalau diteliti, tak sedikit orang yang mengeluh tentang eksistensi agama yang begitu mudah menjadi pemicu ricuh. Kenyataan seperti ini bisa menimbulkan ‘fobia’. Jangan lebay dulu! Maksudnya, dengan terjangkitinya sindrom tersebut bukan lantas mencemooh agama, tapi kekuatiran akan membuat agama menjadi kehilangan ‘taji’-nya. Banyak keluhan ini muncul dari mereka yang tergolong generasi ‘jadul’. Bagaimana pula yang dirasakan generasi ‘genial’ bisa-bisa terombang-ambing oleh kebingungan. Misalnya menonton ustaz yang sukanya memaki-maki, menyampaikan agama yang seolah hanya sebagai ‘ancaman’ melulu seperti soal ‘akhir zaman’, kiamat, Imam Mahdi, dan lainnya. Bahkan ada seorang ustaz dengan lantang dan bahasa yang sarkastis berani menunjuk hidung bahwa Imam Mahdi sudah ada, yaitu seorang ulama asli Indonesia yang sedang terzalimi.
Nah, mengungkap belantara fakta ini, bukan berarti lantas tidak mengimani hal-hal yang sudah terkandung dalam agama. Hanya saja, remah-remah dari ceramah ‘kalap’ akan memantik orang bertanya, apa fungsi agama diturunkan? Apakah agama hanya untuk hal seperti itu? Apakah agama menjadi ‘senjata’ untuk melabrak dan menabrak mereka yang tidak sepaham? Banyak lagi pertanyaan yang meruyak, yang intinya gelisah tentang makna agama bagi manusia.
Saya jadi teringat kalau baca-baca sejarah pemikiran Islam, tak sedikit filsuf Muslim seperti Zakaria al-Rozi dan Ibnu Rawandi yang menyebutkan bahwa hadirnya agama hanya membikin kacau masyarakat. Karena, bagi kedua filsuf tersebut, manusia cukup menggunakan akalnya untuk mengelola dunia dan melakukan kerja peradaban. Apa betul? Ah, jadi takut meresponsnya.
Rujukan Ilmiah
Demi menjaga supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, bagi saya , lebih baik ‘çari selamat’ atau ‘cari nyaman’ saja. Caranya, dengan mengambil dan mengutip pandangan di luar agama saja untuk menyigi fakta masifnya amuk di masyarakat. Dipilih yang lebih bersifat ‘netral’, tapi mempunyai daya isi yang tidak kurang positifnya.
Kalau kita berselancar di dunia pemikiran dari zaman baheula sampai zaman mabuk gajet kini, akan kita jumpai pandangan dari para pemikir yang bisa menjadi ‘obat penenang’ dan juga ‘pencerahan’ di tengah kesemrawutan hidup. Bagaimana para pemikir melihat dan merumuskan tentang marah atau emosi. Kita bisa temukan teori-teori yang mengungkap tema tersebut dan itu hasil riset yang tidak sebentar. Misalnya emosi sebagai bentuk kajian sosiologis dapat didalami dari teori budaya, seperti dijelaskan dalam artikel Peterson (2005) tentang Cultural Theory and Emotions. Kajian lainnya dikembangkan melalui Teori Ritual oleh Erika Summers (2006), yang menggambarkan hubungan emosi dengan ritual kolektif yang dikaitkan dengan simbol, bentuk keyakinan, pemikiran, dan moralitas serta budaya tertentu.
Ada lagi teori tanda yang menjelaskan bahwa marah atau emosi bukanlah sesuatu yang tampak, tetapi dapat dijelaskan dan dimaknai melalui ujaran bahasa manusia. Bahasa menjadi tanda yang merujuk pada kehadiran emosi seseorang terhadap orang lain.
Menyuplik Paterson (2005), emosi sendiri secara umum terbagi-bagi; yakni emosi sebagai bentuk konsep psikologis atas adanya reaksi terhadap stimulus yang datangnya dari luar dan emosi sebagai bentuk konstruksi sosial tentang sensasi, ekspresi bahasa tubuh, dan makna budaya terhadap suatu objek dan hubungannya dengan orang lain
Ini kajian yang sifatnya teoretis. Jangan dipandang sebagai ‘spam’ atau ‘thrash’ yang tak perlu dan lalu dihapus atau dibuang. Ini perlu setidaknya untuk bisa memahami munculnya fenomena marah secara simultan dan masif di masyarakat. Jadi, biar tidak hanya ‘otak-atik-gathuk’ yang hasilnya muter-muter keblinger. Atau melihat dari kacamata ‘politis’ yang bisa menghasilkan yang polaritif. Ya, memang begitulah seharusnya membangun ‘masyarakat ilmiah’, perlu berkiblat pada hasil penelitian. Bukan asal comot sana-sini dan lalu marah. Marah setidaknya bisa ‘dinetralisasi’ lewat telaah ilmiah terhadap hasil pemikiran mendalam.
Setelah sekelebat tahu teoretisasi kemarahan, supaya tidak dimarahi sebagai lambe turah, sekarang langsung saja ambil ‘jalan pintas’ tentang resep mengelola amarah. Saya baca-baca pandangan filsuf Stoa, sekelompok filsuf yang hidup pada masa Yunani Kuno. Kemunculan kaum Stoa ditandai dengan pengajaran orisinil dari filsuf Zeno sekitar tahun 300 SM. Stoisisme ini menjadikan filsafat sebagai lelaku hidup yang praktis. Bagi kaum Stoa, tujuan hidup adalah hidup selaras dengan alam. Alam itu sendiri didefinisikan sebagai keseluruhan kosmos, termasuk manusia. Dalam hal marah, kaum Stoa memberikan terapinya, yaitu dimulai dengan memandang bahwa kebahagiaan itu bukan untuk dikejar. Mereka lebih berfokus bagaimana kita bisa mengurangi emosi-emosi negatif seperti marah, stres, sedih dan galau. Bagi mereka, emosi negatif itu bisa diobati dengan filosofi.
Tengok lain lagi, misalnya dalam The Nicomachea Ethics, Aristoteles telah membahas tentang kebajikan, karakter, dan hidup yang benar. Tantangannya adalah bagaimana menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik, akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Akan tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan dan hal itu sering kali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukan mengenai emosionalitas, melainkan keselarasan antara emosionalitas dan cara mengekspresikannya.
Bagaimana orang bisa mudah marah hanya gara-gara isu yang belum jelas jeluntrungnya? Ternyata jauh-jauh sebelumnya di abad sebelum Masehi sudah ada wejangan dari Marcus Aurelius, salah satu filsuf Stoa termasyhur. Dia mengingatkan, apa yang kita dengar itu hanyalah opini, bukan kebenaran, dan apa yang kita lihat adalah perspektif, bukan fakta. Karenanya, manusia harus cermat dan waspada terhadap segala hal yang datang kepadanya.
Nah, banyak pendaman khazanah pemikiran dan kebijaksanaan yang mengajarkan untuk mengelola kemarahan serta membaliknya menjadi ketenangan batin. Saat ini ada fenomena yang menguat di tengah fenomena puritanisme dan radikalisme agama, yaitu banyak orang yang berpaling pada kearifan kuno. Mereka mempelajari filsafat yang dipandang kaya dengan pikiran dan ajaran yang reflektif untuk menuju ketenteraman hati. Tak cukup itu, banyak juga yang kembali pada kearifan lokal yang menyimpan ajaran budi pekerti dan moralitas praktis untuk memandu jalannya hidup. Muncul tak sedikit paguyuban-paguyuban ‘olah rasa’ melalui yoga, Zen atau Tantra. Yang sifatnya komunal-etnik juga muncul seperti kelompok literasi Jawa untuk mempelajari konsep dan ajaran Jawa baik kosmologi, kosmogoni maupun moralitas. Belum lagi bangkitnya ‘agama lokal’ seperti kejawen, Sunda Wiwitan, Parmalim, Tolotang, Marapu, Buhun, Aluk Tadolo, Sapto Dharmo, dan banyak lainnya.
Mereka ini tampil di dunia medsos membentuk situs-situs untuk mengkritis agama-agama ‘resmi’, bahkan dengan cibiran, ejekan, dan hajaran yang bertubi. Bagi sebagian para pemeluk agama lokal, datangnya agama-agama ‘resmi’ telah mengkolonialisasi kepercayaan nusantara dan dipandang bikin onar dengan konflik-konflik keagamaan. Mereka merasa terjajah dan saatnya ‘berunjuk ‘rasa’ di tengah keterbukaan informasi serta dukungan fasilitas internet. Begitupun bertebarannya di dunia medsos orang-orang atau kelompok agnostik dan ateis yang memeriahkan hujatannya terhadap agama-agama dominan yang dipandang telah menciptakan atmosfir konflik antarmasyarakat. Ya, berbagai kepercayaan yang selama ini ‘tercecer’, sekarang menyadarkan orang untuk kembali memeluknya seiring masyarakat tengah dibadai oleh keberagamaan yang ‘mengeras’.
Agama tidak boleh jumawa, karena ia tidak hidup sendiri di bumi yang dihuni tujuh miliaran manusia ini. Ada banyak kepercayaan yang ‘menemani’ agama dan saling berlomba menebarkan kebaikan, meraih ketenangan serta menghalau segala rupa emosi yang hanya membakar jiwa dan merusak tatanan sosial. Berawal dari simbol–meminjam bahasa filsuf Paul Ricoeur–lalu melahirkan makna, dan terjadilah lingkaran percaya. Itulah proses menjasadnya sebuah kepercayaan. Dengan kepercayaan, manusia akan terpandu oleh nilai-nilai yang sering disimbolisasikan melalui aneka wujud. Dan justru inilah hakikat kepercayaan demi mengajak pada kebaikan, kesabaran, dan kejernihan.
Maka, kepercayaan yang sudah meresap di dada para pemeluknya sepatutnya dijadikan sebagai ‘energi’ positif untuk menjalin harmoni dengan sesama, mengedepankan welas asih (compasion), dan menghindari amuk yang membuta. Dalam Islam disabdakan al-dinu huwa al-nashihah, agama sejatinya adalah akhlak yang berbasis pada spiritualitas.
Bacaan terkait
Kata Haemin Sunim, Ketika Dunia Mengecewakan, Istirahatlah Sejenak!
Kebenaran atau Fakta yang Terlipat
Izhatun Nasyi’in: Hidup Sering Kali Tidak Baik-Baik Saja, Tapi Kita Bisa Mengatasinya