Sekitar satu tahun lalu saya menulis sebuah artikel yang datang dari kegundahan sejak lama. Di Indonesia, kita kerap mendengar istilah keuangan berkelanjutan diobral di ruang-ruang seminar dan di lembaran publikasi dari pemerintah dan bank. Tapi, sejumlah persoalan mendasar masih saja ditemukan, walau sudah lebih dari satu dekade kita mendengar dan menggunakan istilah itu.
Persoalan implementasi tentu saja seabrek. Tapi yang saya tuliskan di artikel itu bukanlah soal kesenjangan antara konsep dan realitas, melainkan kekurangan mendasar dari konsep keuangan berkelanjutan di negeri ini, terutama di sisi sosial. Dengan dalih mau memulai dari yang paling mendesak dulu, keuangan berkelanjutan jadi sangat berat bobot isu lingkungannya, alias keuangan hijau.
Apakah tak ada aspek sosialnya? Ada. Tapi itu kelewat kecil dan disederhanakan. Keuangan sosial disetarakan dengan pembiayaan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dan ini menjadikan bank-bank yang punya portofolio pembiayaan UMKM bisa mengklaim punya produk keuangan sosial. Jelas, ini menimbulkan persoalan yang tidak sederhana, dan sayangnya tak banyak orang yang mau mendiskusikannya secara terbuka.
Apakah pembiayaan untuk UMKM langsung bisa dinyatakan berkelanjutan? Menurut saya tidak bisa. Walaupun menyediakan pembiayaan untuk usaha mikro dan kecil memang menunjukkan dimensi keadilan yang kuat, tetapi itu tak bisa langsung dinyatakan berkelanjutan. Apalagi, pembiayaan untuk usaha menengah yang sebetulnya jauh lebih mudah mengakses pembiayaan dan investasi bila usahanya memang layak secara ekonomi.
Untuk bisa masuk ke dalam kategori berkelanjutan, seluruh dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan perlu diperiksa dengan saksama. Dan ini seharusnya tidak hanya berlaku untuk korporasi, melainkan juga UMKM. Walau dampak setiap usaha dalam UMKM memang lebih kecil, itu tak berarti boleh diabaikan dalam pengambilan keputusan pembiayaan dan investasi.
Penyamaan pembiayaan sosial sebagai pembiayaan UMKM juga sangat problematik. Kalau pembiayaan korporasi dibedakan berdasarkan industri bahkan subindustrinya, bagaimana mungkin tetiba kita terima pembiayaan sosial hanya dikaitkan dengan ukuran bisnis?
Lebih jauh lagi, banyak orang di Indonesia kemudian menjadi asing terhadap ide bahwa pembiayaan sosial perlu dikaitkan dengan tujuan-tujuan bisnis untuk menghilangkan kemiskinan, ketimpangan, kelaparan, juga mempromosikan kesehatan dan pendidikan, kesetaraan gender, dan lain-lain. Sementara pembiayaan hijau sudah canggih kategorisasinya di Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan sejak fase pertama, pembiayaan sosial jauh tertinggal.
Oleh karena itu, ketika beberapa bulan lalu saya bertemu dengan sahabat yang saya kagumi, Farhan Helmy, pendiri dan presiden gerakan DILANS (disabilitas dan lansia), “omelan” itu saya teruskan, dengan membeberkan fakta tentang banyak negara yang jelas-jelas memasukkan pembiayaan untuk penyandang disabilitas sebagai bagian dari pembiayaan sosial dan pembiayaan berkelanjutan yang sangat menonjol.
Mas Farhan, atau Pak Kepsek, begitu beliau saya panggil, dengan telaten bertanya dan berkomentar. Jadilah obrolan itu ngalor-ngidul dan ngetan-ngulon ke semua spektrum pembiayaan, mulai dari yang komersial murni (namun dijaga oleh pertimbangan ESG) hingga investasi berdampak dan strategi filantropi yang mutakhir. Setelah hampir 3 jam, Mas Farhan bilang dia sudah siap berhadapan dengan para bankir dan eksekutif perusahaan investasi.
Dan bukan Mas Farhan namanya kalau gerakannya tak secepat kilat. Dia memang seperti Flash yang berkursi roda. Bukan cuma urusan tempat, tapi juga urusan koneksi. Dalam beberapa minggu kemudian, dia bertemu saya lagi dan bercerita bahwa ilmu barunya itu dia sudah pakai untuk membuat rencana Reksadana DILANS. Saya betul-betul terkagum.
Kami masih bertemu beberapa kali lagi, dan setiap pertemuan itu ada kemajuan-kemajuan yang dibagikan Mas Farhan dengan senyum dan tawanya yang selalu ngangenin. Dan kemarin, kemajuan terbesarnya saya saksikan tanpa perlu dia sendiri yang bilang. Dia cuma bilang sore hari bisa ditemui di daerah Haji Nawi, Jakarta Selatan, tanpa bilang ada agenda apa.
Awan begitu gelap ketika saya tiba di depan alamat yang dia share loc. Setelah menelepon, saya disambut masuk ke ruangan yang sudah sesak. Ada empat mbak-mbak yang tampil profesional, ada seorang bule muda, di samping Mas Farhan sendiri. Para mbak yang ramah, rapi, dan wangi itu adalah profesional keuangan dari perusahaan sekuritas terkemuka plus sebuah perusahaan manajemen aset. Si bule adalah chef dari Prancis.
Menyusul hadir kemudian ada dua pendukung DILANS lain, plus sahabat saya yang lain, pendeta intelek sekaligus jagoan kebencanaan, Victor Rembeth. Yang kami dengarkan adalah hasil kerja Mas Farhan yang mengagumkan. Tanggal 14 Mei mendatang, Reksadana DILANS sudah bakal selesai administrasinya. Tanggal 12 Juli nanti, peluncurannya bakal diadakan. Targetnya reksadana yang hasilnya juga untuk membiayai program pemberdayaan penyandang disabilitas dan lansia bisa mengumpulkan Rp300 miliar di akhir tahun. Dan Mas Farhan sudah berhasil membujuk sebuah lembaga filantropi untuk menaruh Rp100 miliar di awal peluncurannya!
Ini perkembangan yang luar biasa menggembirakan. OJK belum memasukkan pembiayaan untuk membantu penyandang disabilitas, tetapi di tengah tahun ini, insya Allah, kita akan melihat reksadana untuk keperluan itu. Mas Farhan dan saya sudah merencanakan advokasi agar pada peta jalan ketiga (2026-2030) pembiayaan untuk isu disabilitas masuk secara eksplisit ke dalam keuangan sosial sebagai bagian dari keuangan berkelanjutan.
Rencana itu perlu kerja serius. Tapi bukan Mas Farhan namanya kalau tidak tajam melihat peluang lainnya. Di WAG Thamrin School pagi ini, dia mencolek saya, menanyakan apakah ada peluang agar Danantara di-JEDI-kan. Justice, Equity, Diversity and Inclusion adalah kepanjangan yang kami lebih pilih dari dulu dibandingkan istilah yang sekarang jadi sangat politis gegara Trump, DEI. Kalau kemudian Mas Farhan langsung bertanya soal itu ketika ada kelebatan berita soal Danantara, ya memang begitulah kalau JEDI Knight betulan. Dia tak pernah berhenti memikirkan bagaimana membantu memudahkan hidup penyandang disabilitas dan lansia.
Penerbangan IU 370 Jakarta – Banyuwangi, 16 April 2025 10:10