“To be a powerful force for redesigning the present, hurting world, sustainability needs to avoid becoming just another thing to measure and manage, and instead become a word that will bring forth an image of the world as we would hope it to be.”
–John Ehrenfeld, Sustainability by Design
Sejak saya mulai meresensi buku melalui Social Investment Roundtable Discussion (SIRD) beberapa tahun yang lalu, mungkin kali inilah yang paling banyak mendapatkan komentar di luar forum diskusi itu. Seperti biasanya, saya mengirimkan bahan presentasi saya ke beberapa WAG dan individu, tidak sekadar untuk para peserta diskusi daring tersebut.
Buku yang saya baca, ringkas, dan komentari adalah karya Matthew Archer. Archer adalah akademisi interdisiplin muda yang kini mengajar di Universitas Maastricht. Awal tahun lalu, bukunya berjudul Unsustainable: Measurement, Reporting, and the Limits of Corporate Sustainability terbit. Jadi, sebetulnya sudah setahun lalu buku itu bisa dibaca orang. Saya memutuskan untuk meresensinya karena kebetulan tema yang dipilih oleh rekan-rekan saya di SII adalah tentang pelaporan keberlanjutan dengan IFRS S2.
Apa yang bisa dibaca di buku tersebut mungkin tidak begitu menyenangkan buat para proponen keberlanjutan perusahaan, apalagi mereka yang berkutat dalam pengukuran dan pelaporannya. Archer mengungkapkan bahwa keberlanjutan perusahaan itu telah dibajak oleh Kapitalisme, dan hasilnya bukanlah keberlanjutan yang hakiki. Keberlanjutan perusahaan yang menggunakan logika Neoliberal ini sangat dibatasi oleh pencarian, kalau bukan malah maksimisasi, keuntungan. Kalau memang bisa menguntungkan, apa yang tampak berkelanjutan akan dilakukan. Tidaklah mengherankan bila penekanannya terus-menerus pada business case.
Karena demikian, maka standar, pengukuran dan pelaporan keberlanjutanpun dibuat untuk melayani kepentingan tersebut. Alih-alih sesuai dengan idealisme keberlanjutan di mana seluruh penghuni Bumi bisa selamat, sejahtera, dan kelak beroleh kehidupan lebih baik dibandingkan kondisi sekarang, keberlanjutan perusahaan versi sekarang ini benar-benar ditentukan oleh yang empunya kepentingan terbesar: perusahaan-perusahaan raksasa global.
Archer dengan sangat piawai menuturkan betapa tak imbangnya kekuatan dalam menentukan apa itu yang berkelanjutan versus yang tidak di dalam perundingan terbuka maupun utak-atik tertutup. Apa yang diinginkan kekuatan modal itulah yang selalu menang.
Pertanyaannya kemudian—dan ini yang banyak diajukan kepada saya—apa lebih baik kita tinggalkan saja urusan keberlanjutan perusahaan ini? Apalagi toh negeri yang paling kerap berceramah soal keberlanjutan perusahaan, Amerika Serikat, kini malah pemerintahnya menjadi anti-ESG, anti-DEI, anti-pengendalian iklim dan seterusnya. Lebih daripada sekadar mengabaikannya di negeri sendiri, keputusan AS keluar dari Persetujuan Paris, WHO, dan yang terbaru, menyatakan bahwa SDGs tak sesuai dengan kepentingan dalam negeri, membuat semua perjanjian internasional soal keberlanjutan seperti tak ada lagi taringnya. Apakah benar masih ada manfaat dalam menegakkan idealisme keberlanjutan?
Saya sudah menjawabnya di dalam diskusi. Amerika Serikat bukanlah negeri yang patut diteladani dalam urusan ini. Kita tak punya hak untuk merusak, yang ada adalah hak atas kondisi lingkungan yang baik dan sehat. Segala persoalan keberlanjutan seperti iklim adalah persoalan global yang mustahil diselesaikan di level negara, melainkan harus dengan tata kelola global. Lagi pula, keluar dari perjanjian internasional berarti akan kehilangan suara, pengaruh, dan sumber daya untuk memperjuangkan keberlanjutan. Jadi, biarlah AS mengisolasi dirinya sendiri, tetapi kita jangan ikut-ikutan menjadi pandir seperti mereka.
Pada persoalan keberlanjutan perusahaan, nasihat Archer sendiri juga jelas. Paragraf terakhir dari bukunya memuat kalimat-kalimat sebagai berikut: “The goal is not to abandon markets completely, which are just one of many ways we relate to each other, or to discard social and environmental indicators, which can be valuable sources of information; the goal, rather, is to figure out how these things can be put to use by diverse communities for diverse ends, without allowing them to rule us. Faced with the end of this world, we have to work hard to make sure the next one is better.” Dia tidak menyarankan untuk meninggalkan upaya menggunakan kekuatan pasar dalam mengarahkan kita kepada keberlanjutan, melainkan melengkapinya dengan mekanisme yang lain.
Archer, bagaimanapun, memang memfokuskan diri pada kritik, bukan pada solusi. Dalam diskusi itu saya juga menyatakan bahwa jalan lain menuju keberlanjutan, yaitu melalui perjanjian internasional, legislasi dan regulasi negara, juga lewat gerakan sosial, seluruhnya memiliki kelemahan, dan masing-masing akan bisa menghasilkan setidaknya satu buku kritik seperti yang sudah ditunjukkan Archer lewat Unsustainable. Tetapi, seperti apa solusi atas kekurangan dalam keberlanjutan perusahaan yang disarankan atau diinginkan oleh Archer tidaklah benar-benar jelas. Dia hanya mengajak kita berimajinasi, dan imajinasi itu menyangkut beragam cara untuk memperjuangkan keberlanjutan. Bukan hanya melalui pasar.
Imajinasi, kata mahafisikawan Albert Einstein, itu lebih penting daripada ilmu pengetahuan. Konon, hanya yang bisa kita imajinasikan saja yang punya peluang untuk diwujudkan. Karenanya, ajakan Archer itu sebetulnya patut disambut gembira oleh siapa pun, terutama oleh mereka yang selama ini berada di dalam ruang karya keberlanjutan perusahaan. Saya termasuk di dalamnya, tentu saja. Kalau saya ditanya apa imajinasi saya soal keberlanjutan perusahaan, di antara isinya akan seperti ini:
Pertama, laporan keberlanjutan isinya harus lengkap dan benar. Lengkap sesuai dengan seluruh isu yang dinyatakan material dalam uji materialitas ganda—atau lebih baik lagi ditentukan saja seluruhnya, seperti buatan SASB, tetapi juga memasukkan materialitas dampak—dengan seluruh indikator yang diminta, dan isinya benar-benar mencerminkan kondisi nyata. Laporan yang tidak lengkap dan benar perlu diberi sanksi yang keras, karena merugikan seluruh pemangku kepentingan.
Kedua, laporan keberlanjutan harus menunjukkan bahwa perusahaan terus memperbaiki kinerja keberlanjutan. Siapa pun yang membaca laporan keberlanjutan dengan sungguh-sungguh akan mendapati banyak sekali substansi yang tak jelas trajektorinya. Perusahaan bisa naik turun dalam urusan pemanfaatan energi, materi, dan air per satuan produk; perusahaan juga bisa inkonsisten kinerjanya dalam urusan dengan keselamatan kerja, hubungan dengan masyaarakat, dan seterusnya. Kalau benar perusahaan memang hendak menuju keberlanjutan, bukankah trajektori semua dampak negatif itu seharusnya menurun hingga kelak hilang, dan dampak positifnya terus meningkat, di semua isu yang material? Bila tidak demikian, bagaimana kita bisa yakin bahwa perusahaan memang menuju keberlanjutan?
Ketiga, pada seluruh isu keberlanjutan yang material, perusahaan harus memiliki target kinerja dan waktu pencapaian yang sesuai dengan sains atau norma yang paling masuk akal. Perusahaan tidak bisa mengaku bersungguh-sungguh melakukan pengendalian dampak iklim bila belum memiliki target NZE selambatnya di tahun 2050 dengan peta jalan yang sesuai. Perusahaan tidak bisa menyatakan dirinya sungguh-sungguh peduli pada keanekaragaman hayati bila tidak bisa menunjukkan bahwa mereka tidak akan pernah merusak lagi setelah tahun 2030 dan pada titik itu mulai melakukan regenerasi. Perusahaan tambang tak bisa mengaku peduli pada masyarakat bila tak punya target bahwa masyarakat terdampak operasinya bisa sejahtera, mandiri, tangguh, dan berkelanjutan sebelum menutup tambangnya.
Keempat, perusahaan yang dibuat mulai tahun 2030 tidak bisa lagi menyatakan bahwa tujuannya adalah pencarian keuntungan. Perusahaan harus didirikan untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat dan lingkungan dengan mendapatkan tingkat keuntungan yang selaras dengan kemampuan keberhasilan masalah itu. Model bisnis yang diperkenankan hanyalah yang sesuai dengan sains dan norma keberlanjutan—misalnya yang diilhami oleh Doughnut Economics. Sementara, perusahaan-perusahaan yang telanjur didirikan dengan tujuan utama keuntungan harus mengubah model bisnisnya selambatnya di tahun 2040.
Kelima, untuk bisa memandu poin ketiga dan keempat tersebut, berbagai perjanjian internasional soal keberlanjutan harus memuat juga bagaimana setiap sektor industri berkontribusi pada keberlanjutan. Jadi, secara formal menegaskan bahwa keberlanjutan bukan hanya tugas negara, melainkan juga tugas perusahaan. Demikian juga, insentif dan disinsentif untuk perdagangan internasional semuanya disandarkan pada pertimbangan keberlanjutan. WTO yang telah berkuasa selama beberapa dekade perlu direformasi menjadi World Sustainable Trade Organization (WSTO), yang akan menjadi hakim bagi praktik perdagangan dengan keberlanjutan sebagai panduan tertinggi.
Keenam, seluruh negara diberi kesempatan untuk menghilangkan seluruh subsidi langsung dan tak langsung terhadap ketidakberlanjutan, seperti yang selama ini diberikan kepada bahan bakar fosil, selambatnya di tahun 2035. Alih-alih seluruh belanja negara akan diarahkan kepada apa pun yang memiliki kredensial keberlanjutan yang lebih tinggi. Demikian juga, negara akan membuat regulasi yang mewajibkan seluruh biaya sosial dan lingkungan produk diinternalkan oleh perusahaan, atau dipungut cukainya oleh negara sesuai perhitungan daya rusaknya, sehingga produk yang tidak berkelanjutan menjadi lebih mahal dibandingkan yang berkelanjutan.
Ketujuh, peran masyarakat sipil di dalam tata kelola perusahaan diperkuat. Kelompok-kelompok masyarakat sipil yang memiliki rekam jejak positif dalam keberlanjutan perlu difasilitasi oleh pemerintah untuk memberikan masukan kepada perusahaan lewat jalur tata kelola pemangku kepentingan (stakeholder governance). Regulasi tata kelola perusahaan ini sudah harus diundangkan selambatnya di tahun 2030, dan di dalamnya terkandung berbagai mekanisme pemberian masukan yang tercatat secara digital dan bisa diakses di ruang publik. Perusahaan dengan isu material yang sangat menonjol, misalnya emisi, perlu diwajibkan memiliki wakil masyarakat sipil dengan kepakaran tersebut di dewan komisaris atau setidaknya di dalam komite.
Masih berantakan? Tentu. Belum berhitung dampak dari transisi ke sana? Betul juga. Tetapi itu tak menghalangi saya untuk percaya bahwa sains adalah pemandu terbaik keberlanjutan, dan keberlanjutan adalah tujuan yang terbaik dan adil bagi seluruh pihak. Perusahaan, yang memiliki sumber daya terbesar harus dipastikan mengarahkan sumber dayanya itu untuk mencapai, bukan menghancurkan, keberlanjutan. Dan, karena kita tak punya kemewahan untuk bersantai-santai, sains dan norma keberlanjutan harus segera memandu kita semua.
Bacaan terkait
Omong Besar ESG di Pos Awal Pendakian
Trump dan “Teman Nyebur Sumur”
Mengelola Risiko, Menangkap Peluang Bisnis: ESG Versi Penulis Harvard Business Review
Ulasan Pembaca 2