Greta Thunberg kembali mendapat sorotan. Kali ini namanya disebut di dua paragraf terakhir tulisan Ulil Abshar-Abdalla, Seri Kedua Tulisan Soal Tambang: “Iqtishadiyah” sebagai Model Berpikir. Di situ Gus Ulil bilang bahwa Thunberg adalah contoh terbaik alarmism. Puncaknya, kata Gus Ulil, adalah pidato Thunberg di Konferensi Perubahan Iklim PBB di tahun 2019, “How Dare You! You have stolen my dreams and my childhood with your empty words.” Lalu, pada paragraf terakhirnya Gus Ulil bilang bahwa mimpi Thunberg itu berbeda dengan mimpi anak-anak Kulon Progo.
Sebetulnya, tulisan Gus Ulil memiliki poin-poin yang lain dari bagian awal hingga paragraf ketiga terakhirnya. Tapi saya tak berminat mengomentari bagian-bagian itu. Saya juga telah membaca tulisan ketiga dan dinyatakan yang terakhir dari Gus Ulil, Seri Terakhir tentang Tambang: Kitik atas “Metafisika” yang Mendasari Aktivisme Lingkungan. Di situ Gus Ulil terutama mengomentari soal Deep Ecology yang, agaknya, dia prasangkai sebagai rujukan utama dari gerakan lingkungan. Di tulisan ini saya tak ingin mengomentari juga hal itu, tetapi saya mau menyatakan setuju sepenuhnya kepada ulasan dari Budhy Munawar-Rachman, Kesalahpahaman Ulil atas Deep Ecology.
Hal yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini ada tiga. Pertama, saya ingin mengungkapkan isi pidato Thunberg dengan lebih lengkap, sehingga para pembaca bisa menilai apakah pidato itu memang bersifat alarmis—yang kurang lebih berarti melebih-lebihkan bahaya sehingga menimbulkan ketakutan bahkan kepanikan yang tak mendasar. Kedua, saya ingin memberikan gambaran atas apa yang dilakukan Thunberg setelah pidato itu, sehingga pembaca bisa menilai apakah pidato itu memang “puncak” dari apa yang dilakukan Thunberg. Ketiga, saya juga ingin menggambarkan situasi terkait perubahan iklim di Kulon Progo, sehingga pembaca dapat menilai apakah mimpi anak-anak Kulon Progo itu lebih dekat pada apa yang diperjuangkan Thunberg, atau lebih dekat dengan, katakanlah, organisasi yang punya konsesi tambang batubara di Kalimantan.
Sains di Balik “How Dare You!”
Transkrip lengkap dari pidato Thunberg di Konferensi tersebut itu tersedia di banyak situs dan dengan mudah ditemukan. Bagian yang dikutip Gus Ulil itu ada di paragraf ketiga dan selengkapnya adalah, “You have stolen my dreams and my childhood with your empty words. And yet I’m one of the lucky ones. People are suffering. People are dying. Entire ecosystems are collapsing. We are in the beginning of a mass extinction, and all you can talk about is money and fairy tales of eternal economic growth. How dare you!”
Kalau saja Gus Ulil meneruskan mengambil satu kalimat berikutnya, pembaca akan tahu bahwa sesungguhnya Thunberg tidak sedang bicara tentang mimpinya yang tercuri oleh “omong kosong” generasi sebelumnya. Dia terutama bicara tentang kesengsaraan orang-orang lain, di berbagai penjuru dunia, dengan kesadaran penuh bahwa dia sebetulnya ada di posisi yang relatif beruntung. Sebagai yang lebih beruntung, Thunberg bisa saja diam dan menikmati keberuntungannya itu, tetapi dia memiliki empati atas kesengsaraan yang lain, sehingga dia tak bisa diam. Dia memilih untuk berbicara, dan tidak dengan bermanis kata. Dia juga tahu bahwa apa yang membuat para pemimpin dunia itu tak cukup cepat berubah adalah kepentingan ekonomi—yaitu keuntungan dan pertumbuhan tak terbatas, yang sesungguhnya adalah kemustahilan dalam keterbatasan Bumi.
Paragraf keempat Thunberg menyatakan, “For more than 30 years, the science has been crystal clear. How dare you continue to look away and come here saying that you’re doing enough, when the politics and solutions needed are still nowhere in sight.” Lalu disusul dengan, “You say you hear us and that you understand the urgency. But no matter how sad and angry I am, I do not want to believe that. Because if you really understood the situation and still kept on failing to act, then you would be evil. And that I refuse to believe.”
Di sini Thunberg menegaskan posisinya bahwa dia memanfaatkan sains untuk aktivismenya. Buat dia, sains sudah terang benderang pesannya, namun dia kecewa lantaran hal itu tidak ditindaklanjuti dengan politik dan solusi yang seharusnya. Kalau pesan sains menegaskan urgensi, ternyata tak demikian dengan kekuasan politik dan ekonomi. Apakah mereka yang memahami urgensi penyelamatan umat manusia tetapi tidak bertindak sesuai lalu menjadi jahat di mata Thunberg. Dengan tegas dia menolak melabel mereka sebagai pihak yang jahat. Thunberg bahkan tidak melihat mereka sebagai musuh atau pihak yang tak mungkin berubah, karena dia bersedia berbicara dengan mereka.
Lalu, Thunberg menyatakan, “The popular idea of cutting our emissions in half in 10 years only gives us a 50% chance of staying below 1.5 degrees [Celsius], and the risk of setting off irreversible chain reactions beyond human control.” Disambung pada paragraf berikutnya, “Fifty percent may be acceptable to you. But those numbers do not include tipping points, most feedback loops, additional warming hidden by toxic air pollution or the aspects of equity and climate justice. They also rely on my generation sucking hundreds of billions of tons of your CO2 out of the air with technologies that barely exist.”
Di sini Thunberg kembali menegaskan urgensi. Apa yang dikemukakannya itu memang didukung oleh sains, baik soal ambang kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius di atas pra-Revolusi Industri, maupun soal peluang yang sebetulnya sekarang terbukti (jauh) di bawah 50% itu—kalau bukan malah sudah habis sama sekali. Dalam 13 bulan terakhir, rerata kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius itu sudah terlampaui. Dan, Thunberg lagi-lagi benar ketiga bicara soal tipping points dan feedback loops, juga kaitan antara perubahan iklim dengan polusi udara, keadilan iklim, dan teknologi penangkap karbon yang masih jauh dari kehandalan. Memang, nada kemarahan serta wajah Thunberg seakan bertentangan dengan sains yang “dingin”, tetapi yang dilakukan Thunberg agaknya adalah meneriakkan sains ke telinga-telinga yang masih kurang mendengar, dan dengan demikian dia berharap bisa lebih membuka benak, menyentuh hati, dan menggerakkan tangan.
Masih ada butir-butir penting dari pidato Thunberg itu, tetapi agaknya paragraf-paragraf itu cukup untuk menggambarkan bahwa Thunberg itu memang mendasarkan aktivismenya pada sains, dan bukan ideologi tertentu. Laman Wikipedia tentang Thunberg menjelaskan bahwa dia memang pembaca literatur ilmiah sejak kecil, dan sebagai akibatnya dia mengalami depresi karena memahami bahwa ada peluang besar masa depan generasinya tidaklah baik. Dia membujuk orangtuanya untuk menjadi lebih sadar lingkungan, dengan data dari berbagai sumber dan dalam beragam bentuk. Ketika dia sudah berhasil menghijaukan keluarganya, dia meneruskannya dengan protes di depan sekolahnya yang menjadikan dia sangat terkenal.
The Climate Book
Dari laman itu juga kita bisa belajar bahwa Thunberg tak berhenti di pidato terkenalnya itu. Bahkan itu juga bukan satu-satunya pidato Thunberg yang terkenal. Dia masih terus hadir di beberapa perhelatan iklim yang sama, dengan cara transportasi yang paling ramah lingkungan yang mungkin, lantaran dia sepenuhnya menolak untuk terbang. Di berbagai acara lain terkait iklim maupun keberlanjutan secara umum, dia juga banyak hadir, termasuk berdemonstrasi di berbagai negara yang membuatnya ditangkap di kepolisian setempat.
Tetapi menggambarkan Thunberg sebagai orator dan demonstran iklim sangatlah jauh dari memadai. Dia telah membukukan pemikirannya bersama anggota keluarganya yang lain dengan sangat tertib lewat Scenes from the Heart (2018) yang kemudian dilanjutkan menjadi Our House is On Fire: Scenes of a Family and a Planet in Crisis (2021). Pidato-pidatonya hingga tahun 2019 dibukukan ke dalam No One is Too Small to Make a Difference (2019), juga kumpulan pidato dan wawancaranya What Would Greta Do (2020) yang, bila dibaca dengan hati-hati, akan membuat pembacanya mengapresiasi kedalaman pemikirannya dan tak terjebak ke dalam sinisisme karena dia kerap menyampaikannya dengan wajah tak menenteramkan. Tetapi, siapa yang bisa tenteram bila mendapatkan pemahaman situasi seperti yang dia tahu?
Kemudian, dia juga menulis artikel opini This is the World Being Left to Us by Adults di The New York Times bersama para aktivis iklim muda lainnya, Adriana Calderón (Meksiko), Farzana Faruk Jhumu (Bangladesh), dan Eric Njuguna (Kenya). Pada artikel opini yang dituliskan untuk menyambut Konferensi Perubahan Iklim ke-26 di Glasgow tersebut para aktivis muda itu dengan bernas menjelaskan mengapa anak-anak jauh lebih rentan di hadapan krisis iklim dibandingkan generasi orangtuanya, dan karenanya mereka mendukung The Children’s Climate Risk Index yang diluncurkan oleh UNICEF. Dukungan tersebut dimaksudkan agar indeks yang baru diluncurkan itu menjadi bagian penting dari pengambilan kebijakan negara-negara di seluruh dunia. Dengan demikian, Thunberg—dengan menggalang suara dari aktivis lainnya—punya pengaruh kebijakan global yang jauh melampaui siapa pun di dalam kohortnya. Apakah indeks itu alarmis? Saya mengajak pembaca untuk membacanya sendiri dan mengambil kesimpulan.
Pada penghujung tahun 2022 lalu, Thunberg menyunting sebuah buku yang diberi judul dingin, The Climate Book. Buat saya, ini adalah karya Thunberg yang paling jelas meneriakkan pesan “Unite behind the Science!” yang sejak awal dia terus nyatakan. Teriakan ini juga yang menurut saya lebih baik dalam menggambarkan seluruh perjuangan Thunberg, alih-alih “How Dare You!” Di buku ini, Thunberg yang lebih dewasa berhasil mengumpulkan nama-nama terbesar dalam sains dan aktivisme terkait iklim—tentu saja, Bjorn Lomborg dan Steven Koonin yang dipromosikan Gus Ulil tak ada di dalamnya karena memang tak memiliki kredensial memadai dalam sains terkait iklim.
Buku itu dibagi ke dalam 5 bagian: How Climate Works, How Our Planet is Changing, How It Affects Us, What We’ve Done about It, dan What We Must Do Now. Dari pembabakan itu saja pembacanya langsung bisa menilai bahwa Thunberg memiliki benak yang sangat tertib. Dan, yang lebih mengagumkan lagi adalah bagaimana dia memilih para penulis di setiap bagian, dan bagaimana dia menuliskan komentar yang menjelaskan sekaligus mengikat erat tulisan-tulisan para pakar itu.
Para pakar lintas-disiplin ilmu yang mendukung buku Thunberg ini di antaranya adalah Mike Berners-Lee, Amitav Ghosh, Katherine Hayhoe, Jason Hickel, Saleemul Huq, Elizabeth Kolbert, Michael Mann, Bill McKibben, Naomi Oreskes, Thomas Piketty, Kate Raworth, Johan Rockstrom, Nicholas Stern, dan Per Espen Stoknes. Untuk mereka yang tak cukup akrab dengan isu-isu terkait iklim, membaca tulisan Thunberg dan para kontributor di buku ini akan benar-benar bisa membukakan mata, walau tentu saja tak akan membuat perasanaan menjadi tenteram.
Kalau pada artikelnya di The New York Times Thunberg mengumpulkan aktivis muda dari negara-negara yang paling rentan terhadap krisis iklim, di buku ini Thunberg menunjukkan keluasan pemahamannya atas sains, ekonomi, politik, komunikasi, dan aktivisme iklim. Buku itu, tak pelak, mendapatkan pujian dari siapa pun yang membacanya, terutama lantaran keluasan sekaligus kedalaman isinya, keseimbangan antara analisis dengan rekomendasi, serta kemampuannya dalam memberikan perkembangan mutakhir berbagai isu iklim dalam bahasa yang relatif mudah dipahami. Dan, sebagaimana seluruh karya Thunberg lainnya, dia sama sekali tak sekadar punya urusan dengan dirinya sendiri, negaranya, atau Eropa, benua tempat dia tinggal. Buku ini sangat jelas pembelaannya kepada mereka yang rentan.
Krisis Iklim dan Kulon Progo
Oleh karena itu, agaknya tak berlebihan untuk bilang bahwa walaupun Thunberg sangat mungkin tak pernah mendengar nama Kulon Progo, benak dan hatinya jauh lebih terkoneksi dengan apa yang terjadi di sana. Pencarian secara cepat di dunia maya atas situasi terkait iklim di Kulon Progo memberikan gambaran bahwa pertanian di sana sudah terganggu oleh perubahan iklim, terutama bergesernya musim hujan dan kering. Kekeringan sudah berkali-kali membuat para petani kesulitan mendapatkan hasil panen yang optimal. Demikian juga dengan pasokan untuk kebutuhan air minum telah beberapa kali terganggu ketika musim kemarau datang.
Kulon Progo sendiri sudah menyadari kondisi ini. Salah satu kelurahan di sana, Triharjo, Kecamatan Wates, di dalam website resminya menyatakan bahwa mereka menggabungkan apa yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.84/Menlhk-Setjen/Kum.1/11/2016 tentang Program Kampung Iklim dengan Keputusan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI (KemenPDT) Nomor 67 Tahun 2023 tentang Panduan Desa Peduli Lingkungan. Kecanggihan kesadaran seperti ini sangatlah menggembirakan buat siapa pun yang selama ini bergerak di aras masyarakat untuk membantu mereka menjadi lebih tangguh dalam menghadapi krisis iklim.
Namun, tentu saja, yang mereka lakukan terutama berada pada sisi adaptasi dari perubahan iklim. Desa seperti Triharjo tak punya banyak hal yang seharusnya dilakukan di sisi mitigasi. Pemerintah Indonesia, perusahaan-perusahaan yang memiliki emisi besar, termasuk pertambangan batubara, punya peran yang seharusnya dijalankan dengan sungguh-sungguh, kalau memang mau mendengarkan suara-suara dari sisi sains. Warga Triharjo—dan 83.700 lebih desa di Indonesia—akan mengalami kesengsaraan ketika emisi tak diturunkan dengan skala dan kecepatan yang telah diketahui oleh sains dan dikomunikasikan oleh Thunberg dan rekan-rekannya.
Oleh karena itu, saya merasa bahwa perjuangan Thunberg lewat pidato, demonstrasi, maupun tulisan-tulisannya jauh lebih dekat dengan kepentingan anak-anak dan seluruh warga Kulon Progo, dan warga negara Indonesia mana pun, dibandingkan dengan mereka yang sedang menjustifikasi pembukaan tambang batubara baru, lewat “argumentasi” agama sekalipun. Kalau perjuangan Thunberg berhasil, saya yakin anak-anak Kulon Progo dan seluruh Indonesia akan punya masa depan yang lebih baik. Apakah akan demikian bila perjuangan Gus Ulil berhasil? Entahlah.
Singapura, 19 Juli 2024, 12:30
Bacaan terkait:
Ulil, Tambang Batubara, dan Krisis Iklim
Fikih Ekologi Ulil dan Deep Ecology
Generasi Muda dan Krisis Iklim: Kami yang Cemas dan Marah