Ada hari-hari yang tak mungkin bisa kita lupakan seumur hidup. Minggu lalu, tepatnya Rabu, 6 November 2024, adalah tanggal yang mustahil saya lupakan. Di satu sisi, itu adalah hari ulang tahun salah seorang sahabat yang sudah saya kenal lebih dari 30 tahun, Mas Noviansyah Manap. Di sisi lain, itu adalah hari terpilihnya kembali Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat.
Trump punya segudang masalah, mulai dari urusan pelecehan seksual hingga pemerkosaan, yang sudah dibuktikan di pengadilan. Dia juga adalah pebisnis yang tak kapabel dan curang, sehingga dalam catatan sejarah korporasi Amerika Serikat, dia bakal terus diingat sebagai orang yang bisnisnya sudah bangkrut enam kali—termasuk bisnis kasino yang semua orang pikir mustahil merugi.
Dia sangat terkenal sebagai orang yang tega tidak membayar tagihan orang dan perusahaan yang bekerja untuk projek-projeknya. Dia juga terbukti mencuri dari yayasannya sendiri, yang dalihnya didirikan untuk anak-anak penderita kanker. Mulutnya yang “tidak sekolah” telah menyakiti jutaan orang, mulai dari imigran, veteran, dan penyandang disabilitas.
Tetapi pembicaraan paling ramai yang saya ikuti adalah soal dampak kepemimpinannya terhadap kondisi iklim global. Trump memiliki sejarah kebijakan dan tindakan yang mengabaikan krisis iklim, dan kekhawatiran muncul bahwa ia akan kembali menerapkan kebijakan-kebijakan serupa seperti pada periode 2017-2021. Bayangkan, apa dampak sebuah negara dengan emisi terbesar kedua di dunia dipimpin oleh seorang pendusta iklim, di saat dunia sedang membutuhkan tindakan nyata dengan skala dan kecepatan yang lebih tinggi?
Telepon saya sendiri hari itu seperti tak berhenti menghantar pesan, yang banyak di antaranya meminta saya menjelaskan apa konsekuensi terpilihnya Trump terhadap kondisi iklim global dan apa yang bisa dilakukan oleh perusahaan untuk mengantisipasinya. Setelah membaca puluhan analisis yang terkait, terutama dengan perasaan sedih dan khawatir, akhirnya saya bisa mulai menuliskan artikel ini.
Kembalinya Masa Jahiliyah Iklim?
Penolakan terhadap bukti sains iklim adalah hal pertama yang langsung terbayang. Dalam masa kepresidenannya yang pertama, Trump dan timnya sering kali mengabaikan bahkan menghina sains iklim. Setidaknya mereka terus menyangkal bahwa perubahan iklim itu disebabkan oleh manusia. Hal ini telah menciptakan persepsi yang keliru di kalangan sebagian masyarakat AS, merambat ke banyak penduduk negeri-negeri lain, dan menghambat kemajuan yang diperlukan untuk mitigasi perubahan iklim. Saya membayangkan penolakan ini akan kembali mewarnai kebijakan AS, dan institusi ilmiah di AS sendiri akan terhambat kemajuannya dalam penelitian dan pengembangan solusi iklim. Tentu saja, ini akan menghambat pencapaian target yang sudah ditetapkan AS sendiri, dan penurunan emisi global yang seharusnya sesuai dengan sains semakin sulit dicapai.
Kedua, peningkatan dukungan pada industri energi fosil. Salah satu janji utama Trump dalam kampanye adalah memulihkan kejayaan industri minyak, gas, dan batubara. Kebijakan yang mendukung energi fosil dapat mempermudah pembukaan kembali tambang batubara, memperluas pengeboran minyak dan gas, serta mengurangi regulasi emisi untuk industri-industri besar. Sangat mungkin, lantaran harga batubara makin tidak ekonomis untuk elektrifikasi dibandingkan dengan energi terbarukan, Trump akan menggelontorkan subsidi yang luar biasa besar. Kebijakan ini akan memperpanjang ketergantungan AS pada bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi tinggi, menambah emisi global, dan menghambat upaya transisi energi bersih. Lagi-lagi, dampak ini sangat signifikan mengingat AS adalah ekonomi terbesar dunia yang memiliki jejak karbon luar biasa besar.
Pelemahan kebijakan lingkungan dan deregulasi adalah hal ketiga yang terpikirkan pasti terjadi. Trump pada periode sebelumnya menghapus atau melonggarkan lebih dari 100 regulasi lingkungan. Caranya, dia menunjuk pelobi industri bahan bakar fosil untuk memimpin EPA. Ini seperti meminta Count Dracula untuk menjaga bank darah. Cara ini pasti dia lakukan pada masa jabatan kedua, dan seluruh dunia bakal melihat lebih banyak deregulasi di bidang pembatasan emisi industri, perlindungan kawasan konservasi, dan standar emisi kendaraan.
Hal ini dapat berdampak langsung pada peningkatan emisi domestik dan memperburuk kondisi lingkungan. Selain itu, pelemahan regulasi AS dapat memberi contoh buruk bagi negara-negara lain, terutama negara-negara berkembang yang dipimpin oleh kepala pemerintahan yang tak cukup peduli pada kondisi lingkungan. Sangat mungkin mereka akan melihat kebijakan AS sebagai dalih untuk melonggarkan standar iklim, dan lingkungan secara keseluruhan, bagi negara mereka sendiri.
Keempat, ketidakpastian dalam diplomasi iklim global. Ketika Trump kembali berkuasa, kekhawatiran utama adalah bagaimana kebijakan iklim AS akan memengaruhi hubungan internasional dalam isu lingkungan. Sekali lagi, AS adalah negara dengan emisi gas rumah kaca terbesar kedua di dunia, di belakang Tiongkok yang jumlah warganya berkali lipat, dan ketika di bawah kepemimpinan presiden dari Partai Demokrat selalu memiliki pengaruh besar dalam mendorong negara-negara lain untuk berkomitmen untuk mengurangi emisi.
Dalam kepemimpinan Trump sebelumnya, ia menarik AS dari Persetujuan Paris, dan menolak bahkan menghina berbagai inisiatif iklim global. Jika, atau yang lebih pas lagi, ketika pendekatan ini diulangi, AS bakal kembali menarik diri dari berbagai kesepakatan internasional, atau paling tidak bakal mengurangi komitmen dan pengaruhnya. Ini jelas melemahkan motivasi negara-negara lain untuk berkomitmen pada target emisi yang ambisius. Dan hal ini sudah dirasakan di COP 29 yang dimulai di minggu ini di Baku, Azerbaijan.
Kelima, pengurangan pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi iklim global juga pasti terjadi. Trump sebelumnya mengurangi secara signifikan kontribusi AS terhadap dana mitigasi iklim global, seperti Green Climate Fund, yang penting untuk membantu negara-negara berkembang mengatasi dampak perubahan iklim. Pendekatan America First, yang selalu dijanjikan pada kampanyenya, bakal membuat dia mengurangi atau bukan tidak mustahil menghentikan pendanaan ini. Banyak negara berkembang yang rentan terhadap perubahan iklim akan kesulitan mendapatkan dukungan keuangan untuk projek-projek mitigasi dan adaptasi. Ini bisa memperlambat upaya global untuk mengatasi krisis iklim dan memperburuk dampaknya pada masyarakat di negara-negara rentan tersebut.
Bagaimana Perusahaan Harus Bersikap?
Saya berpendirian, meskipun kondisi politik di AS jelas tidak akan mendukung kebijakan iklim yang seharusnya semakin ketat, perusahaan tetap memiliki tanggung jawab dan bakal tetap bisa mendapatkan peluang besar untuk berperan aktif dalam mengurangi emisi dan mendapatkan manfaat berupa kinerja ekonomi yang baik melalui upaya-upaya mitigasi dan adaptasi. Bagaimanapun, perusahaan memiliki dampak sekaligus bergantung pada alam untuk kesuksesan bisnisnya. Pengelolaan iklim oleh perusahaan jelas tidak hanya bertujuan untuk melindungi planet ini, dan terutama manusia yang ada di dalamnya, tetapi juga demi keberlanjutan bisnis mereka di masa depan. Apakah mungkin ada bisnis yang selamat ketika lingkungan benar-benar rusak?
Oleh karena itu, alih-alih mengendorkan upaya pengelolaan iklim lantaran seorang pendusta iklim bakal berkuasa di Washington, perusahaan-perushaan, termasuk di Indonesia, seharusnya makin meningkatkan upayanya, demi melindungi bisnis dan seluruh pemangku kepentingannya. Berikut adalah beberapa rekomendasi bagi perusahaan agar dapat mencapai tujuan net zero emissions (NZE), sesuai dengan petunjuk sains dan demi keberlanjutan bisnis, di tengah kondisi geopolitik yang tidak mendukung.
Perusahaan perlu mendengarkan sains dengan lebih disiplin. Perusahaan sebaiknya mengikuti standar berbasis sains, seperti Science Based Targets initiative (SBTi), yang menyediakan panduan dalam menetapkan target pengurangan emisi yang konsisten dengan tujuan global untuk menahan kenaikan suhu di bawah 2,0°C, dan sedapat mungkin seperti tetap mengupayakan kenaikan suhu hingga 1,5°C, walaupun di tingkat global tujuan paling ambisius ini tampaknya sudah mustahil dicapai. Dengan mengadopsi target ini, perusahaan dapat memastikan bahwa rencana mereka selaras dengan tuntutan ilmiah dan menunjukkan dukungan yang sungguh-sungguh dalam upaya global memitigasi perubahan iklim.
Berikutnya, perusahaan perlu mengembangkan kebijakan internal untuk aksi iklim yang lebih ketat dibandingkan sebelumnya. Setiap perusahaan perlu memiliki kebijakan iklim yang kuat dan terintegrasi dalam strategi bisnisnya. Kebijakan ini harus mencakup komitmen jangka panjang untuk mencapai NZE dan tujuan jangka pendek yang realistis agar perusahaan dapat secara bertahap bergerak menuju keberlanjutan. Komitmen perusahaan juga perlu ditunjukkan dalam adaptasi, mengingat sebenarnya adaptasi adalah bagian sangat penting untuk memastikan kontinuitas bisnis. Perusahaan perlu memastikan bahwa kebijakan iklim yang lebih ketat ini didukung penuh oleh manajemen puncak dan menjadi bagian dari budaya perusahaan. Ini artinya beragam lokakarya dan pelatihan internal perlu dilakukan, dan mulai dari puncak manajemen.
Ketiga, mengimplementasikan efisiensi energi seluas mungkin. Efisiensi energi adalah langkah praktis yang bisa segera diambil oleh perusahaan untuk mengurangi emisi. Dengan meningkatkan efisiensi peralatan, menggunakan teknologi hemat energi, dan meminimalkan limbah energi di seluruh proses operasional, perusahaan dapat mengurangi jejak karbonnya, sekaligus menghemat biaya. Penggunaan teknologi seperti sensor otomatis untuk pencahayaan dan pendingin ruangan, serta untuk meningkatkan isolasi bangunan dapat meminimalkan penggunaan energi, dan berpengaruh signifikan dalam turunnya biaya listrik. Efisiensi energi selalu bisa diandalkan untuk menunjukkan manfaat bisnis dalam waktu yang tidak terlalu lama kepada para pemimpin puncak dan pemegang saham, untuk kemudian bisa diteruskan dengan investasi lainnya.
Keempat, memanfaatkan teknologi rendah karbon dan inovasi produk. Perusahaan dapat berinvestasi dalam teknologi rendah karbon, penggunaan bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan, serta inovasi produk dan material lainnya yang memiliki jejak karbon yang lebih rendah. Namun demikian, perusahaan sangat penting untuk memahami terlebih dahulu mana saja inovasi yang perlu dibiayai, dan mana yang masih memerlukan lebih banyak informasi dan waktu untuk mengambil keputusan lebih lanjut.
Berdasarkan pembacaan yang saya lakukan, teknologi seperti Carbon Capture and Storage (CCS) Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS), juga Direct Carbon Capture (DCC) masih menyimpan kontroversi, dan terhitung sangat mahal biayanya. Pilihan teknologi rendah karbon yang lebih ekonomis perlu untuk diambil terlebih dahulu, sesuai dengan pertimbangan bisnis. Investasi dalam inovasi ini, bagaimanapun, tidak hanya membantu perusahaan dalam mengurangi emisi, tetapi juga berdampak dalam menciptakan daya saing dan membuka peluang pasar baru.
Kelima, menghitung dan mengurangi emisi sepanjang rantai nilai (Scope 3). Emisi tidak hanya dihasilkan dari proses produksi perusahaan yang tergambar dari emisi Scope 1 dan Scope 2, tetapi juga dari seluruh rantai nilai, mulai dari bahan baku hingga distribusi produk ke konsumen. Perusahaan perlu mengidentifikasi dan menghitung emisi dari seluruh rantai nilai mereka itu dan berkolaborasi dengan pemasok, penjual, dan konsumen akhirnya untuk mencari cara-cara yang efektif untuk menguranginya. Dengan demikian, perusahaan dapat mencapai pengurangan emisi yang lebih signifikan di seluruh siklus hidup produknya.
Keenam, mengalihkan penggunaan energi ke sumber terbarukan. Sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan air dapat membantu perusahaan mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Selain itu, perusahaan dapat mempertimbangkan untuk mengadopsi teknologi baru seperti sistem penyimpanan energi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi terbarukan di fasilitas mereka. Teknologi batere yang semakin baik akan bisa meningkatkan kapasitas dan waktu penyimpanan dari listrik yang dihasilkan oleh energi terbarukan. Langkah ini juga menguntungkan perusahaan secara ekonomi, terutama dalam jangka panjang, serta ketika biaya energi fosil meningkat atau terjadi fluktuasi harga yang tajam.
Ketujuh, melakukan kolaborasi dan kemitraan strategis. Perusahaan sebaiknya tidak bekerja sendiri dalam mencapai NZE. Mereka bisa bermitra dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi non-pemerintah, komunitas, dan bahkan perusahaan lain. Kolaborasi ini dapat berupa projek bersama untuk pengembangan teknologi baru, inisiatif bersama untuk mengurangi emisi di kawasan tertentu, atau dukungan keuangan untuk program mitigasi dan adaptasi iklim.
Nature-based Solutions (NBS) yang memiliki potensi sangat besar dilakukan di Indonesia membutuhkan kerja sama, terutama dengan masyarakat-masyarakat lokal yang memiliki dan/atau berada di sekitar wilayah pertanian berkelanjutan atau direstorasi dan diregenerasi. Kerja sama ini tidak hanya memperkuat posisi perusahaan sebagai pemimpin dalam aksi iklim, tetapi juga memperluas dampak dari upaya mitigasi mereka. Tentu saja posisi sebagai pemimpin bakal mustahil diraih bila perusahaan malah kedapatan memanfaatkan beragam kerja sama ini hanya sebagai cara untuk greenwashing.
Terakhir, perusahaan harus menegakkan pelaporan keberlanjutan yang transparan dan akuntabel. Pelaporan keberlanjutan menjadi aspek penting bagi perusahaan yang ingin menunjukkan komitmennya terhadap lingkungan, termasuk iklim. Perusahaan dapat menggunakan kerangka pelaporan seperti yang dihasilkan oleh Global Reporting Initiative (GRI), dan Sustainability Accounting Standards Board (SASB), Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD), atau standar IFRS S2 Climate-related Disclosures.
Pelaporan yang terbuka, dan terhindar dari segala bentuk greenwashing, memungkinkan pemangku kepentingan untuk memantau kemajuan perusahaan dalam mencapai NZE, serta meningkatkan kepercayaan publik, termasuk investor dan bank terhadap langkah-langkah yang diambil oleh perusahaan.
Penutup
Posisi Trump sebagai Presiden AS pada periode 2025-2028 jelas bisa memberikan tantangan baru bagi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global. Namun, perusahaan memiliki kekuatan untuk bertindak secara mandiri dan memimpin dalam upaya mengurangi emisi, ketika kebijakan pemerintah tidak sepenuhnya mendukung.
Dengan mengadopsi standar berbasis sains, mengimplementasikan efisiensi energi dan inovasi teknologi, beralih ke energi terbarukan, serta jujur dan transparan dalam pelaporan keberlanjutannya, perusahaan dapat mengambil peran aktif dalam mewujudkan dunia menuju NZE. Langkah-langkah ini tidak hanya penting bagi keberlanjutan lingkungan dan Bumi secara keseluruhan, tetapi juga untuk keberlanjutan bisnis dalam menghadapi tantangan masa depan yang penuh ketidakpastian.
Bacaan terkait
Setelah Heboh Ulil, Bahlil, dan Tahlil: Mungkinkah Pertambangan Hijau?
Mengapa Trump Menang dan Apa Dampaknya bagi Indonesia?
Kala Para Pemimpin Keberlanjutan Berkumpul di Negeri Singa
Agar Bisnis Terus Teguh di Dunia yang Penuh Guncangan
Ulasan Pembaca 4