Selain dari media sosial, para guru juga sudah mendapatkan e-mail resmi tentang pengumuman bahwa Platform Merdeka Mengajar (PMM) tak lagi wajib. PMM sudah sekadar menjadi alat bantu. Dari sana dapat diketahui bahwa rezim PMM tak akan dilanjutkan lagi. Di awal, memang, PMM sempat menjadi momok bagi para guru. Guru sibuk dan tersita waktunya untuk mengisi rubrik dan pelatihan pada PMM. Guru berburu sertifikat yang harus divalidasi oleh rezim PMM. Karena disebut menjadi momok, pemerintah mengintegrasikan PMM dan E-kinerja. Namun, keseriusan pemerintah mengintegrasikan PMM dan E-kinerja sangat diragukan.
Betapa tidak? Dalam hal penentuan angka kredit, misalnya, pejabat pendidikan masih menilai tanpa berdasar pada pencapaian di PMM. Akibatnya, PMM sepertinya tidak digagas untuk mempermudah beban administrasi guru serta melancarkan jenjang karier, justru PMM terkesan untuk membuat guru sibuk dengan berbagai kegiatan yang tidak serta merta berkaitan dengan peningkatan kualitas pendidikan. Padahal, PMM dirancang untuk memerdekakan guru. Dan, PMM disebut menjadi salah satu jalan utama untuk menggerakkan roda Kurikulum Merdeka (KM) di era Nadiem Makarim.
Faktanya, meski PMM ada, Kurikulum Merdeka jadi bahan perdebatan sesama guru. Memang, secara prinsip, KM mendukung perkembangan anak didik secara holistik. Sayangnya, KM terkesan anti pada kritik sehingga jatuh pada glorifikasi. Dalam hal ini, ada benarnya pidato perdana Presiden Prabowo bahwa secara statistik, kita boleh bangga pada pencapaian negara ini, termasuk dalam pendidikan. Namun, kita harus mengerti bahwa statistik itu sering dibaca sebagai upaya glorifikasi, bahkan sensasi. Katakan, misalnya, bahwa konon dengan KM kita telah berhasil meminimalisasi learning loss.
Data Lain
Setidaknya, menurut Anindito Aditomo, sekitar 70-80 persen learning loss akibat pandemi bisa diatasi dengan penyederhanaan kurikulum melalui kurikulum prototipe (Kompas, 14 Februari 2022). Dibandingkan secara langsung dengan sekolah yang tetap menerapkan Kurikulum-13 (K-13), dalam studi BSKAP dan INOVASI, sekolah dengan Kurikulum Merdeka juga telah mampu menunjukkan kemajuan yang tinggi untuk kategori literasi dan numerasi. Yang menarik, kata Anindito Aditomo, sekolah dengan kondisi fisik minimalis, termasuk di daerah-daerah terpencil, justru bisa menerapkan kurikulum prototipe (Detik.com, 27 Desember 2021).
Dari sini dipahami bahwa KM adalah kurikulum yang sangat tepat guna, bahkan jauh lebih baik dibandingkan K-13, misalnya. Sebagaimana diketahui, dalam paparan Kemendikbud, terjadi peningkatan luar biasa dalam literasi dan numerasi. Jika dibandingkan dengan K-13, KM unggul telak dari segi pencapaian literasi dan numerasi. Untuk SMA, melalui K-13, poin capaian literasi hanya 3,15. Sementara itu, perolehan KM selalu meningkat dari tahun ke tahun. Kemendikbud berkesimpulan bahwa kian tahun, hasilnya juga terus membaik: 6,08 implementasi 1 tahun, 8,21 (2 tahun), dan 9,2 (3 tahun).
Namun, melihat berbagai peningkatan itu, apalagi jika dikomparasikan dengan realitas, kita harus banyak berefleksi secara serius: betulkah pencapaian itu sebagai sebuah statistik atau hanya bagian dari glorifikasi belaka? Dalam hal ini, kita harus mencari referensi dari data lain. Untuk kategori literasi dan numerasi, kita bisa melihat pada hasil studi PISA. Faktanya, pada 2022, skor literasi kita juga menurun 12 poin dari hasil periode sebelumnya dan global 18 poin. Tidak bermaksud untuk menyebutkan bahwa pencapaian Kurikulum Merdeka adalah sensasi, namun kita memang tak perlu puas dengan angka-angka.
Kita justru harus serius berefleksi untuk membenahi berbagai level masalah pendidikan kita. Katakan, misalnya, tentang program Sastra Masuk Kurikulum. Andai tak ada protes dari para pegiat literasi dan sastrawan, program ini bisa-bisa akan diglorifikasi sebagai sebuah program yang nyata-nyata mempercepat angka melek budaya baca. Padahal, sejak Gerakan Literasi Nasional (GLN) diterapkan (2016), kita harus menerima fakta getir bahwa tak ada lompatan kuantum yang eksponensial dalam hal keterbacaan anak didik. Hal itu menyusul pada buruknya hasil survei literasi dari PISA sejak 2009, 2012, hingga 2015.
Pada 2009, skor literasi kita berada pada angka 402. Saat itu, rerata global adalah 493. Pada 2012, hasil PISA kategori literasi kita adalah 396, di bawah rerata global (492). Pada saat itu, siswa kita dimasukkan sebagai siswa paling bahagia di dunia. Karena itu, Elisabeth Pisani tanpa ragu menyebut bahwa siswa-siswa kita adalah manusia bodoh yang bahagia. Sementara itu, pada 2015, skor kita adalah 397, hampir 100 poin dari rerata global (493). Hasil tahun 2015 bisa menjadi titik krusial karena pada tahun tersebut akan menjadi tahun terakhir sebelum Gerakan Literasi Nasional digalakkan pada 2016. Idealnya, kita mesti mendapatkan peningkatan indeks literasi.
Berefleksi
Faktanya, hasil PISA pertama setelah GLN digalakkan (2018), skor literasi justru menurun menjadi 371, di bawah rata-rata perolehan dunia (487). Celakanya, pada 2022, skor literasi kita menurun 12 poin dari hasil periode sebelumnya dan global 18 poin. Boleh jadi kita berbangga hati karena jumlah penurunan poin dunia lebih besar. Namun, jika berpikir kritis sesuai dengan salah satu karakter Profil Pelajar Pancasila, kita mesti tertegun. Ini ibarat sebuah nasihat A.S.Laksana bahwa terkadang kita tak bisa menangis lagi karena kesedihan sudah semakin memuncak. Dalam hal inilah kita memahami kritik tajam dari Iwan Pranoto.
Karena pandemi, skor negara lain turun. Sementara itu, karena selama ini sudah rendah di bawah global, kita tak bisa turun lebih rendah lagi (Kompas, 6 Desember 2023). Artinya, alih-alih bahagia karena naik peringkat, kita seharusnya justru merenung betapa selama ini kita sudah terpuruk dan terburuk sehingga tak bisa turun lebih rendah lagi. Dalam renungan itulah kita tak perlu melakukan euforia di berbagai media, apalagi melakukan semacam klaim bahwa kurikulum tertentu telah berhasil meningkatkan kualitas pendidikan. Sebab, jika peringkat kita naik karena datang pemain baru yang sebenarnya tidak lebih baik dari kita, hal itu hanyalah prestasi semu.
Maka, dalam logika berpikir seperti itulah kita harus memahami mengapa PMM ini tidak disambut antusias oleh para guru, meski sudah diwajibkan. Sangat mungkin tidak tepat guna untuk mengembangkan kompetensi dan melancarkan karier. Pemerintah rezim PMM boleh berbangga hati karena aplikasi tersebut diunduh jutaan kali, sehingga anggaran yang dialokasikan untuk itu terasa bermanfaat. Namun, kita mesti bertanya: apakah aplikasi itu memang digunakan untuk peningkatan kualitas pendidikan dan kualitas layanan administrasi guru? Faktanya, kebanyakan guru menjawab justru sebaliknya, meski sudah diunduh jutaan kali. Semoga kita bisa berefleksi dari realitas tersebut!
Bacaan terkait
Terima Kasih, Mas Nadiem. Selamat Bekerja, Mas Mu’ti [Surat Terbuka dari Haidar Bagir]