Mungkin di akhir 2023 saya tahu bahwa buku Profesor Alison Taylor bertajuk Higher Ground: How Business Can Do the Right Thing in a Turbulent World bakal segera terbit. Dia adalah salah satu profesor etika bisnis yang selalu bicara dengan cara yang mudah dimengerti, dan isinya selalu “daging semua”. Dalam situasi dunia yang terus berguncang-guncang dalam beberapa tahun terakhir dan tak tampak ada pertanda bakal segera mereda, saya tak sabar menunggu terbitnya buku tersebut.
Buku itu akhirnya terbit pada Februari 2024, dan sebulan kemudian saya sudah memilikinya, dan langsung membaca hingga separuh isinya. Bukan lantaran saya tak menikmati buku itu—sebaliknya, buku itu sangat menarik, hampir seperti karya penulis fiksi—namun lantaran saya punya banyak jadwal di lapangan, dan terseling oleh buku-buku baru lainnya. Baru di akhir Mei saya mendapatkan waktu yang pas untuk meneruskan membaca lima bab, dari dua belas, yang tersisa. Dan, membaca kelima bab itu, sambil melongok bab-bab lain yang tadinya sudah dibaca, membuat saya semakin ingin menuliskan kesan atas buku ini.
Buku ini jelas sekali adalah salah satu buku tentang etika dan keberlanjutan bisnis terbaik yang pernah ditulis oleh siapa pun, dan bukan cuma untuk tahun ini. Kalau saya berefleksi soal buku-buku dalam tema ini sejak kita masuk ke dekade 2020-an, jelas saya akan mengingat juga buku ini untuk masuk ke dalam daftar yang terbaik. Padahal, setiap tahun saya membaca puluhan buku dalam tema ini sebagai bagian dari minat profesional dan personal saya.
Jadi, tak mengherankan kalau Bob Eccles, Ed Freeman, Adam Grant, Ken Pucker, dan Leo Strine—yang seluruhnya adalah raksasa di bidang etika dan keberlanjutan bisnis—meminjamkan kalimat-kalimat sakti mereka untuk mendukung buku ini. Ulasan dan pujian terhadap karya Taylor ini juga datang dari psikolog dan penulis terkenal, Jonathan Haidt, yang menulis kata pengantarnya. Haidt dan Taylor adalah sesama pengajar di NYU Stern School of Business. Mereka juga bersama-sama mengurus organisasi terkenal, Ethical Systems. Haidt yang kenal luar-dalam Taylor menjamin bahwa buku ini tak berisi omong kosong sama sekali.
Dan memang begitulah kesan pertama saya atas buku ini, persis sama dengan cara Taylor bicara di berbagai acara. Di kedua belas bab, serta introduksi di bagian awal dan konklusi di bagian akhir, Taylor benar-benar mencurahkan seluruh pengetahuan dan pengalamannya, sebagai akademisi dan konsultan, dengan tidak mendakik-dakik. Bahasanya lurus bagai anak panah, membelah bermacam masalah bisnis yang rasanya semakin ruwet kita hadapi.
Kalau bab pertama, yang dengan tepat diberi judul Why Running a Business Got So Complicated terasa menyesakkan nafas, memang begitu yang Taylor mau dari pembacanya. Kalau bab kedua, How “Responsible Business” Became a Tangle of Traps membuat pembacanya tersadar soal beragam solusi yang tak efektif, saya juga sangat yakin begitu maunya Taylor.
Dua bab awal itu dijahit ke dalam Bagian Pertama yang menjelaskan bahwa dunia ini memang sedang berguncang-guncang keras, dan transparansi yang dituntut kepada bisnis bisa membuat guncangan itu semakin tampak di hadapan siapa pun. Bahkan, transparansi jelas bisa pula membuat bisnis makin terguncang. Apakah bisnis yang baik akan terbebas dari guncangan?
Cerita soal Starbucks yang dipergunakan Taylor untuk membuka buku ini membuat kita mafhum bahwa perusahaan yang dianggap sebagai pemimpin dalam etika dan keberlanjutan sekalipun masih memiliki pekerjaan rumah yang seabrek, sehingga bebas guncangan bukanlah kondisi yang bisa diharapkan. Perusahaan perlu menjadi tangguh, bukan berharap tak ada guncangan.
Taylor dalam beberapa kesempatan selalu bilang bahwa dia tidak suka untuk menyatakan ada perusahaan baik dan buruk. Dia bilang perusahaan bisa lebih baik dan lebih buruk, dalam bidang-bidang tertentu, dan dalam waktu tertentu. Jadi, jawabannya selalu kontekstual. Itu juga yang dia tunjukkan di dalam Bagian Kedua, tentang bagaimana bisnis bisa menegakkan hal yang benar di dalam situasi seperti sekarang. Teguh dalam prinsip itulah yang akan membuat perusahaan menjadi lebih tangguh.

Bagian Kedua ini, terdiri dari enam bab, dimulai dengan bagaimana bisnis berhubungan dengan para pemangku kepentingannya untuk bisa meraih dan mempertahankan kepercayaan. Kemudian, bagaimana bisnis bisa memprioritaskan isu-isu sosial dan lingkungan untuk dikelola; bagaimana korupsi bisa ditangani hingga benar-benar tuntas; menegakkan nilai-nilai berdasarkan dampak positif terhadap seluruh manusia; menavigasi urusan politik; dan menegakkan transparansi.
Seluruh bab ditulis dengan mumpuni, menandai betapa Taylor memang memahami lika-liku bisnis dalam berhadapan dengan masalah-masalah tersebut. Di ujung bab, dia selalu sertakan Steps to Higher Ground—yaitu kumpulan rekomendasi yang benar-benar bernas.
Prioritisasi isu-isu sosial dan lingkungan bagi perusahaan lewat apa yang disebut uji materialitas adalah suatu keniscayaan. Dengan melihat betapa banyak isu yang dihadapi oleh perusahaan di sektor mana pun, bisa dibayangkan perusahaan-perusahaan akan sangat disengsarakan bila bertindak berdasarkan respons atas apa pun yang datang kepada mereka. Taylor, pada bab keempat buku ini, menjelaskan langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh perusahaan untuk melakukan prioritisasi. Dengan prioritisasi yang benar—yang menurut Taylor harus disandarkan pada dampak perusahaan terhadap manusia dan lingkungan dengan perspektif HAM—perusahaan akan bisa memfokuskan sumber dayanya untuk mengelola risiko dan peluang yang ada.
Empat bab terakhir dia dedikasikan untuk para pemimpin bisnis yang benar-benar ingin memimpin dan membentuk masa depan yang lebih baik. Di situ Taylor memaparkan soal budaya etis di dalam perusahaan; kepemimpinan yang sesuai dengan situasi mutakhir dan masa depan; bagaimana aturan perlu dibuat dengan mempertimbangkan sifat-sifat manusia; serta bagaimana perusahaan perlu bersuara dalam era aktivisme seperti sekarang. Sama dengan bagian sebelumnya, paparan Taylor tentang masalah serta solusinya sangat mengagumkan.
Buku ini diakhiri dengan bab konklusi yang diberi tajuk Purpose Starts with Impact. Tujuan perusahaan itu sesungguhnya adalah memberikan dampak sepositif mungkin sesuai dengan bisnis inti mereka. Tak perlu dalam semua isu dampak positif itu diwujudkan, namun pada isu-isu material yang sudah diidentifikasikan dengan cara yang benar. Walau tak benar-benar mirip, uraian Taylor tentang tujuan perusahaan membuat saya ingat pada pemikiran Profesor Colin Mayer dari Universitas Oxford, bahwa tujuan bisnis adalah untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh manusia dan lingkungan dengan cara-cara yang menguntungkan, dan bukannya mendapatkan keuntungan dari membuat masalah bagi manusia dan lingkungan.
Sebagai pengajar etika bisnis saya selalu kagum dengan jawaban seragam yang diberikan oleh para mahasiswa kalau saya tanyakan tentang tujuan bisnis. Mereka yakin jawabannya adalah mencari, meningkatkan, atau bahkan memaksimalkan keuntungan untuk pemegang saham. Sudah bertahun-tahun saya menikmati diskusi dengan mereka, untuk menunjukkan betapa tujuan yang sempit itu bukan cuma membahayakan bagi dunia dan pemangku kepentingan, melainkan juga berbahaya untuk bisnis sendiri. Dan, di bab penghujung buku Taylor ini saya menemukan ada beberapa mutiara kebijaksanaan baru yang bisa saya pergunakan bila berdiskusi dengan para mahasiswa bisnis kelak.
“Principled and pragmatic,” begitu kata Adam Grant soal rekomendasi-rekomendasi Taylor di dalam buku ini. Dan saya mengamininya. Oleh karena itu, buku ini perlu dibaca oleh siapa pun yang ingin mewujudkan bisnis menjadi kekuatan kebaikan di dunia.
Identitas Buku
Judul Buku | Higher Ground |
Penulis | Alison Taylor |
---|---|
Kover | Hard Cover |
Cetakan | Pertama, Febaruari 2024 |
Halaman | 304 |
Penerbit | Harvard Business Review Press |
ISBN | 978-602-0788-24-1 |
Ulasan Pembaca 3