Dunia akademik dan ruang publik intelektual Indonesia belakangan ini mendapat hantaman bertubi-tubi sehubungan dengan etika akademik. Serangan tersebut terkait dengan kontroversi seputar isu plagiasi terhadap karya sejarawan Peter Carey oleh beberapa sejarawan elite Universitas Gadjah Mada (UGM). Lalu insiden pembekuan terhadap Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fisip Universitas Airlangga oleh elite dekanat yang, meski tidak berlanjut, masih menyisakan problem argumen kebebasan dan etika akademik akut. Kedua hal tersebut menambah barisan rapuhnya benteng integritas akademik.
Kerapuhan pondasi integritas kaum intelektual ini mengingatkan saya pada istilah populer di kalangan aktivis Indonesia yang dilontarkan oleh Antonio Gramsci, yakni intelektual organik. Intelektual organik adalah istilah yang setidaknya menjadi bagian dari imajinasi sosial kalangan aktivis Indonesia selama dua dekade. Imajinasi tentang intelektual organik selama ini dianggap menjadi prakondisi hadirnya subjek politik progresif bagi perubahan. Kalangan yang dengan argumen-argumennya di ruang publik membela kekuatan-kekuatan sosial tempat mereka tumbuh dan berkembang dalam arena pertarungan sosial. Sayangnya, sampai saat ini, jika kita mengamati perjalanan sejarah, upaya tersebut gagal. Mengapa?
Problem Sejarah
Transformasi sosial dalam proses sejarah menuju kemajuan sangat mungkin terjadi, bahkan dalam kondisi tatanan ekonomi-politik yang tertutup sekalipun. Namun demikian, perjalanan sejarah memperlihatkan proses perubahan tersebut kerap kali berwatak hemat–kalau tidak mau dikatakan pelit. Subjek-subjek politik pendukung perubahan kerap kali tidak bebas untuk merealisasi jalan perubahan seperti yang mereka kehendaki. Perubahan-perubahan sosial tersebut terkondisikan oleh perjumpaan antara aksi politik dengan kondisi historis di luar kuasa langsung sang subjek, yang berperan penting memberi peluang atas perubahan. Kondisi itu dalam ilmu sosial disebut sebagai faktor struktural.
Untuk konteks Indonesia, penghancuran kekuatan sosial kaum progresif maupun liberal semenjak era Suharto dan jejaknya sampai hari ini adalah prakondisi dari kegagalan lahirnya intelektual organik di Indonesia. Semua hal itu telah berlangsung sedemikian lama. Saya mengelaborasinya dalam buku tentang relasi kuasa antara intelektual dan politik oligarki di Indonesia pada tahun 2018 berjudul Vortex of Power: Intellectual and Politics in Indonesia post-authoritarianism.
Dalam buku itu disebutlkan, pemasungan kebebasan berpendapat bagi civitas akademik untuk menyatakan kritik sosialnya oleh aparat elite kampus, mandulnya tradisi riset, penghormatan ibarat relasi tuan dan abdi antara elite politik-bisnis dengan dunia akademik dalam aktivitas kampus, perubahan corak universitas dari wahana penyempurnaan humanitas menjadi pabrik pencetak tenaga kerja belaka adalah gejala-gejala hancurnya ruang publik pengetahuan di hadapan corak kuasa oligarki saat ini.
Akar Kerusakan
Saat merenungkan beragam fenomena robohnya benteng universitas, kolega senior saya Rocky Gerung di saluran sosmed WhatsApp mengirim ilustrasi soal maraknya plagiasi di dunia kampus besar dengan segenap kebobrokan dalam institusi akademik melalui catatan pesan singkat: Intelektual gagal organ. Sarkasme Rocky memberi insight terhadap kegagalan kita menciptakan lapisan sosial intelektual organik. Akibat dari belenggu historis kooptasi dan domestikasi kalangan intelektual dalam jangka waktu lama oleh aliansi dominan oligarki di Indonesia menyebabkan kerusakan fatal organ sosial intelektual kita. Ibarat kita menempatkan peran intelektual dalam ruang publik seperti tubuh sosial (body of social), maka represi dalam jangka waktu lama terhadapnya mengakibatkan kerusakan organ dari tubuh sosial tersebut, jantung misalnya.
Dalam ilmu biologi, jantung bertugas memompa darah ke seluruh tubuh manusia, hingga manusia dengan asupan oksigen yang baik memiliki kesadaran penuh dalam berbagai aktivitas hidup. Sementara berbagai macam bentuk kooptasi dan domestikasi sosial oleh kekuatan sosial dominan terhadap intelektual menyebabkan energi pengetahuan tidak mengalir ke kalangan intelektual, membuat mereka sering kali gagal bernalar dengan koherensi akal budi dengan solid, atau berperan dengan baik dalam aksinya sebagai intelektual.
Ketika hal ini terjadi, apalagi menjadi intelektual organik (penyambung suara kaum subaltern), bahkan menjadi intelektual sendiri mereka gagal. Kaum intelektual gagal mencipta karya-karya akademik otentik dan kerap melakukan malpraktik seperti plagiasi, kalangan elite akademisi gagal mengondisikan ruang publik sebagai wahana merdeka sehingga mampu mengoreksi tendensi negara yang opresif maupun komodifikasi sosial di wilayah pasar yang eksesif. Bahkan mereka terlibat dalam rekayasa perubahan kampus menjadi pabrik dalam semesta tatanan kapitalisme sebatas penyedia tenaga kerja; mereka menjadi kerdil dalam rangkaian pembonsaian kemerdekaan berpendapat.
Ilustrasi terbaik dalam kasus ini adalah insiden terhadap pembungkaman berpendapat yang beberapa waktu lalu menimpa BEM Fisip Universitas Airlangga. Ketika itu mereka menyiapkan aksi instalasi satire yang direspons dengan segera melalui pembekuan BEM Fisip Unair. Insiden tersebut memang telah selesai, namun masih menyisakan persoalan fatal dari argumen kalangan elite kampus tersebut. Persoalan itu terkait dengan mereka gagal paham membedakan antara etika akademik dan politik eufemisme yang menjadi senjata hegemonik kekuasaan dalam jangka waktu lama atas pengerdilan wahana universitas.
Kegagalan organ jantung dari intelektual dalam mengidentifikasi persoalan berbasis nalar yang koheren tampak dari kebebalan membedakan antara persona dan subjek politik. Seorang pejabat publik setelah dirinya resmi menjadi pejabat publik, maka kita menempatkannya bukan sebagai persona tapi subjek politik yang melekat di dalamnya batasan etika sosial. Keterpilihan mereka sebagai elite oleh rakyat (pemegang kedaulatan) melalui prosesi pemilihan umum menuntut kesetiaan terhadap aturan-aturan konstitusional.
Dengan demikian, apabila pejabat publik mengingkari konstitusi dalam koridor etika politik, bahkan menerabas batasan kepentingan privat dan publik, maka kalangan tersebut telah melakukan tindakan yang sangat buruk! Sementara apa yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa adalah menolak politik eufemisme dan memilih aksi satire untuk menjelaskan secara kategoris keadaan eksistensial dari pejabat itu.
Setelah kita mendiagnosis berbagai problem-problem dari kegagalan penciptaan intelektual organik di Indonesia, lalu dari manakah langkah untuk melakukan terapi sosial-politik terhadapnya? Kembali ke Antonio Gramsci memberikan wawasan penting. Saat merefleksikan bangkitnya fasisme di Eropa maupun tanah kelahirannya Italia, dia menegaskan ”optimism of the will, pessimism of the intellect” (optimisme kehendak dan pesimisme dari intelek).
Sepertinya optimisme di sini bisa diganti dengan hope (harapan). Begitu muramnya mendung pelemahan demokrasi yang sedang kita hadapi tidak membuat kita kehilangan harapan. Analisis berpijak pada kondisi konkret yang membawa kita pada kesimpulan pesimis terhadap keadaan justru membuat kita untuk terus bertindak memajukan langkah progresif. Sebab, harapan menjadi harapan apabila dalam dirinya terbit suatu aksi, bahkan pada tingkatan paling lokal sekalipun.
Kepercayaan yang diberikan kepada publik terhadap kalangan intelektual menuntut kepantasan tindakan kalangan intelektual, berpikir dengan integritas membersihkan hambatan-hambatan dalam berpikir. Bertindak dengan seharusnya untuk merawat kebebasan berpendapat dan menegakkan etika akademik. Dalam ruang sosial artinya adalah mengembalikan ruang publik yang merdeka untuk hadir mengoreksi berbagai bentuk pembusukan atas demokrasi. Sebab, seperti yang diutarakan oleh Peter Parker (Spiderman) saat mengingat nasihat pamannya, ”From great power comes great responsibility!” (Dari kuasa yang besar terbit pula tanggung jawab yang besar!).
Bacaan terkait
Awal Prabowo yang Problematik: Sebuah Peluang yang Terlewatkan?
Ulasan Pembaca 1