Pada 6 November 2024 Presiden Prabowo Subianto mengunggah pesan ucapan selamat di X kepada Donald Trump atas terpilihnya Trump sebagai presiden ke-47 Amerika Serikat. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa “Indonesia dan Amerika Serikat adalah mitra strategis yang memiliki hubungan yang kuat dan beragam” dan bahwa dia berharap dapat berkolaborasi secara erat dengan Trump dan pemerintahannya untuk meningkatkan kemitraan strategis kedua negara dan untuk perdamaian dan stabilitas global.
Terpilihnya Trump, yang masa jabatan empat tahun keduanya sebagai presiden Amerika Serikat akan dimulai pada Januari 2025, telah menjungkirbalikkan politik Amerika dan dunia. Pandangan negatif Trump terhadap multilateralisme, perjanjian perdagangan, dan aliansi keamanan konsisten selama beberapa dekade terakhir. Trump percaya pada kebijakan luar negeri transaksional, mengharapkan negara-negara lain untuk “membayar” bagian mereka dari biaya keamanan atau mengambil risiko AS meninggalkan komitmen keamanan regional dan multilateral.
Pandangan seperti itu diterjemahkan ke dalam kebijakan selama masa jabatan pertamanya. Misalnya, pemerintahannya menarik diri dari Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) antara AS dan beberapa negara Indo-Pasifik, dan Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim. Sebagian besar analis percaya bahwa Trump akan melanjutkan kebijakan-kebijakan unilateral yang serupa selama masa jabatan keduanya dan bahkan mungkin menggandakannya.
Terpilihnya kembali Trump juga akan berdampak besar di kawasan Indo-Pasifik. Demikian juga, prospek kesepakatan perdagangan regional dan multilateral yang melibatkan negara-negara Asia Tenggara dan AS untuk setidaknya empat tahun ke depan adalah pesimis. Pemerintahan Trump kemungkinan besar akan membatalkan Kerangka Kerja Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF), yang dipromosikan oleh pemerintahan Biden sebagai pengganti TPP yang sekarang sudah tidak berlaku.
Apa Arti Trump 2.0 bagi Hubungan Indonesia-AS?
Bagi Indonesia, terpilihnya kembali Trump menghadirkan serangkaian tantangan baru, terutama dalam hal mencapai kesepakatan kemitraan ekonomi baru yang telah diupayakan Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Prabowo saat ini sedang melakukan kunjungan pertamanya ke Amerika Serikat dalam kapasitasnya sebagai presiden dan telah bertemu dengan Presiden Joe Biden, dan mungkin akan bertemu dengan presiden terpilih.
Baik Trump maupun Prabowo secara luas dianggap sebagai nasionalis yang gigih yang bertekad untuk memperkuat posisi ekonomi negara masing-masing. Namun, kesamaan ini tidak berarti bahwa akan mudah bagi kedua pemimpin ini untuk mencapai kesepakatan kerja sama ekonomi dan keamanan bilateral yang baru dalam waktu dekat. Naluri proteksionisme “America First” dari Trump kemungkinan besar akan membutakan dirinya dari manfaat penuh dari potensi kesepakatan perdagangan bilateral dengan negara manapun, termasuk Indonesia. Selain Trump, sentimen proteksionisme yang kuat juga lazim terjadi di Kongres AS. Secara keseluruhan, kenyataan-kenyataan ini membuat kesepakatan bilateral atau multilateral baru dengan mitra-mitra di Asia– termasuk Indonesia–menjadi sangat tidak mungkin terjadi di masa Trump 2.0.
Di bawah Joko Widodo, Indonesia mengusulkan perjanjian perdagangan bebas mineral yang sangat penting (FTA) dengan Amerika Serikat. Namun, prospek FTA yang diusulkan untuk diratifikasi oleh Kongres AS meredup karena para senator dari Partai Republik dan Demokrat telah menyuarakan keprihatinan mereka tentang investasi Cina di industri nikel Indonesia dan kurangnya standar tenaga kerja dan lingkungan yang ketat di tambang-tambang nikel Indonesia. Mengingat skeptisisme Trump yang mendalam terhadap perjanjian perdagangan apa pun yang tidak menghasilkan manfaat yang saling menguntungkan bagi AS, sangat kecil kemungkinannya bahwa FTA mineral kritis akan terwujud.
Sementara itu, Kemitraan Transisi Energi Bersama (Joint Energy Transition Partnership)–sebuah inisiatif multilateral yang dipimpin oleh AS dan ditengahi oleh pemerintahan Biden untuk membantu transisi energi Indonesia dari sumber-sumber tak terbarukan ke sumber-sumber terbarukan–juga dapat mengalami masalah serius. Inisiatif senilai US$20 miliar ini dimaksudkan untuk mendorong perusahaan-perusahaan energi Indonesia untuk beralih secara bertahap ke sumber-sumber energi terbarukan agar Indonesia bisa mencapai nol emisi pada tahun 2050. Namun, mengingat reputasi Trump sebagai seorang yang skeptis terhadap perubahan iklim, kecil kemungkinan ia akan terus mendukung inisiatif-inisiatif yang mendorong negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk mencapai transisi energi.
Jalan ke Depan untuk Kebijakan Luar Negeri Indonesia
Ada dua skenario yang masuk akal untuk evolusi hubungan ekonomi dan keamanan antara Indonesia dan AS di bawah pemerintahan Trump yang kedua. Dalam skenario pertama, meski pemerintahan Trump akan melanjutkan untuk membatalkan kesepakatan kerja sama ekonomi pendahulunya dengan negara-negara Indo-Pasifik, ia mungkin akan mempertimbangkan kesepakatan perdagangan bilateral yang terbatas berdasarkan kasus per kasus. Pemerintah Trump mungkin akan mempertahankan komitmen keamanan utamanya, terutama dengan negara-negara Indo-Pasifik. Dalam skenario ini, Indonesia kemungkinan akan mempertahankan strategi non-alignment tradisionalnya dengan menyeimbangkan peningkatan kerja sama ekonomi dan keuangan dengan Tiongkok dengan kerja sama pertahanan dan keamanan yang signifikan dengan AS dan sekutunya.
Namun, dalam skenario kedua, pemerintahan Trump mungkin akan menghentikan negosiasi kesepakatan ekonomi bilateral dan multilateral baru sembari bersikeras agar Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya mengikuti langkahnya jika hubungan AS-RRT semakin memburuk. Skenario ini masuk akal karena Trump secara luas diperkirakan akan memilih elang Cina sebagai pembantu pertahanan dan kebijakan luar negerinya. Di bawah skenario ini, Indonesia mungkin akan merespons tidak hanya dengan tidak melakukan kesepakatan-kesepakatan besar dengan AS, tetapi juga mengembangkan kerja sama yang lebih erat dengan Cina serta melihat negara-negara kekuatan baru dan negara-negara kekuatan menengah lainnya sebagai mitra ekonomi dan keamanan yang prospektif.
Sebagai contoh, Indonesia baru-baru ini menandatangani kesepakatan senilai US$10 miliar dengan Cina, yang mencakup pengembangan bersama fasilitas perikanan dan minyak dan gas di wilayah maritim di mana kedua negara “memiliki klaim yang tumpang tindih”. Kesepakatan ini merupakan bagian dari serangkaian kesepakatan bilateral baru yang disepakati oleh Presiden Prabowo dan Presiden Cina Xi Jinping selama kunjungan kenegaraan resmi pertama Prabowo ke luar negeri.
Namun, kesepakatan yang baru saja ditandatangani ini dikritik oleh para analis kebijakan luar negeri dan hukum internasional Indonesia, mengingat frasa “tumpang tindih klaim” secara luas ditafsirkan sebagai sebuah pengakuan untuk pertama kalinya bahwa Indonesia adalah penggugat dalam sengketa Laut Cina Selatan, dan bahwa Indonesia akan mengizinkan Cina untuk melakukan penangkapan ikan dan eksplorasi minyak dan gas di dalam zona ekonomi eksklusifnya di sekitar Laut Natuna Utara. Langkah tersebut sama saja dengan mengorbankan hak-hak kedaulatan Indonesia di bawah Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Mengingat kritik-kritik tersebut, Indonesia lebih disarankan untuk memperkuat kemitraan ekonomi dan keamanannya dengan negara-negara lain di kawasan Indo-Pasifik, terutama sesama anggota ASEAN. Menjalin kemitraan yang saling menguntungkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya tidak hanya akan memperkuat posisi non-blok di kawasan ini dalam tatanan geopolitik yang semakin tidak menentu, tetapi juga akan meningkatkan status Indonesia sebagai pemimpin ASEAN serta kredensial multilateralnya di saat AS semakin condong ke arah unilateralisme.
Terakhir, Indonesia harus melanjutkan aplikasi baru-baru ini untuk bergabung dengan Kemitraan Trans-Pasifik Komprehensif dan Progresif (CPTTP), yang mendorong perdagangan dan investasi multilateral di antara negara-negara Indo-Pasifik yang telah menandatangani kemitraan tersebut. Fakta bahwa baik AS maupun Cina tidak menjadi anggota CPTPP memberi Indonesia peluang untuk memperluas kesepakatan perdagangan dan investasi dengan negara-negara regional lainnya.
Kesimpulan
Terpilihnya kembali Donald Trump berarti bahwa semua negara Indo-Pasifik harus mengevaluasi kembali perjanjian ekonomi dan keamanan yang sudah ada dengan Amerika Serikat dan mengadopsi sikap yang realistis tentang prospek kesepakatan baru di sektor ini.
Terpilihnya kembali Trump terjadi hanya dua minggu setelah Prabowo secara resmi dilantik sebagai presiden Indonesia. Meskipun kedua orang ini mungkin memiliki ciri-ciri kepribadian dan gaya kepemimpinan yang sama, ketika menyangkut pembuatan kesepakatan, keduanya akan mengejar apa yang mereka anggap sebagai kepentingan nasional negara masing-masing, berdasarkan pandangan dunia yang mereka pegang teguh.
Mengingat pertimbangan ini, meski mungkin menggoda bagi para pembuat kebijakan Indonesia untuk mencari pengaturan ekonomi dan keamanan yang lebih dekat dengan Cina dan negara-negara lain yang sedang naik daun untuk mengimbangi kurangnya kesepakatan baru dengan AS, mungkin lebih baik bagi Prabowo dan para penasihat kebijakan luar negerinya untuk mengembangkan kerja sama ekonomi dan keamanan dengan negara-negara lain di kawasan ini yang juga berkomitmen pada prinsip-prinsip non-alignment dan non-intervensi.
Dengan memperkuat kemitraannya dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya dan bergabung dengan forum-forum multilateral yang netral secara geopolitik seperti CPTPP, Indonesia akan memperkuat status non-bloknya dan pada saat yang sama memenuhi tujuan pemerintahan Prabowo untuk mengamankan sumber daya ekonomi bagi rakyat Indonesia. Ini adalah strategi kebijakan luar negeri yang tepat untuk menavigasi negara ini mengingat persaingan geopolitik antara AS dan Cina diperkirakan akan memburuk di bawah Trump 2.0.
Naskah orisinal di sini (14 November 2024): Indonesian Foreign Policy under Trump 2.0: Between Non Alignment and Realignment
Bacaan terkait
Mengapa Trump Menang dan Apa Dampaknya bagi Indonesia?
Donald Trump dan Ancaman Krisis Iklim
Menuju Indonesia 2040 yang Bukan Kaleng-kaleng
Menjadi Pemimpin, Menjadi Kekuatan untuk Kebaikan
Awal Prabowo yang Problematik: Sebuah Peluang yang Terlewatkan?
Ulasan Pembaca 1