Tidak ada kata Israel dan Palestina dalam pidato Donald Trump saat pelantikan kedua kalinya menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) pada 20 Januari 2025. Isi pidatonya justru lebih banyak bagaimana ia ingin mengimplementasikan 12 program prioritas. Mulai dari imigrasi, aborsi, pajak, tarif perdagangan, LGBT, birokrasi federal, iklim dan energi hingga pertahanan dan keamanan.
Oleh karena itu, menjadi kontradiksi ketika Trump sangat gencar membahas Israel dan Palestina dalam sebulan awal kepemimpinannya. Saking gencarnya, Trump sampai mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial khusus kedua kata tersebut.
Hobi Trump: Bikin Pernyataan Kontroversial
Pertama, secara tiba-tiba Trump ingin merelokasi masyarakat di Gaza. Sebuah pernyataan yang unpredictable pada 5 Februari 2025. Pernyataan yang menyulut emosi untuk sebagian besar pihak, khususnya masyarakat Indonesia.
Menurutnya, Gaza sudah tidak lagi aman. Tidak lagi nyaman untuk ditinggali. Maka, jalan terbaik, menurut Trump, adalah memindahkan masyarakat di Gaza. Lalu, mau berpindah ke mana?
Trump mengatakan bahwa ada negara-negara yang cocok untuk menjadi penampungan masyarakat di Gaza, khususnya masyarakat Palestina. Kawasan Timur Tengah seperti Arab Saudi, Mesir, hingga Yordania, dan Indonesia.
Nama terakhir memang bukan ide Trump, tetapi berasal dari pejabat tinggi AS. Alasannya, cukup sederhana. Indonesia cukup dekat dengan Palestina secara emosional.
Masalahnya, jika masyarakat di Gaza berpindah dengan “paksa”, itu sama saja AS melakukan pembersihan etnis. Sesuatu yang sebenarnya diidam-idamkan oleh Benjamin Netanyahu, Presiden Israel yang juga sobat karib AS.
Ide tersebut tentu saja melukai masyarakat di Gaza mengingat sehari sebelum Trump dilantik, Hamas-Israel sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Gencatan senjata itu berhenti dalam waktu yang tidak ditentukan untuk mencari jalan atau solusi terbaik. Bukan terburuk. Yang dilakukan Trump itu hanya baik bagi sekutunya saja, tetapi tidak memikirkan nasib masyarakat Palestina.
Bangun dan Relokasi Masyarakat di Gaza adalah Ide Buruk
Kedua, Trump ingin membangun Gaza. Konon, ia ingin membuat Gaza menjadi Riviera Timur Tengah. Sebuah kawasan tepi laut yang menjelma menjadi pariwisata modern seperti di Albania dan Italia. Menurutnya, ide membangun Gaza untuk kebaikan dan perdamaian dunia. Bahkan, konon, peruntukan wilayah Gaza kepada masyarakat dunia. Kalimat tidak jelas dan cenderung kabur mengingat siapa yang dimaksud Trump mengenai masyarakat dunia.
Apakah masyarakat Palestina termasuk masyarakat dunia? Jika ya, seharusnya tidak perlu ada istilah relokasi Gaza. Sebab, hingga hari ini, ia tidak berkomentar apa pun ketika ditanya apakah masyarakat Palestina boleh dan bisa tinggal di Gaza. Jika bukan, lantas siapa? Israel-kah?
Ketiga, pengiriman bom MK-84 seberat 2000 pon dari AS ke Israel. Artinya, larangan ekspor bom yang sempat dicanangkan Joe Biden, presiden AS sebelumnya, dicabut. Larangan tersebut dibuat mengingat terlalu banyak korban berjatuhan sejak perang bulan Oktober 2023 hingga akhir 2024.
Laporan dari pejabat kesehatan Palestina, setidaknya ada 46.000 orang tewas saat perang tersebut. Namun, laporan lebih rinci dikemukakan oleh para akademisi dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, Universitas Yale, dan institusi lainnya.
Kurun waktu Oktober 2023 – Juni 2024 setidaknya ada 64.260 orang tewas. 59,1% lebih banyak ke anak-anak, perempuan, dan lansia. Jika para tentara Israel mengklaim bahwa serangannya untuk Hamas, lantas mengapa senapan dan bomnya meluncur kepada mereka yang tidak ikut berperang?
Maka, pengiriman bom MK-84 justru memicu berakhirnya gencatan senjata. Padahal, gencatan senjata setidaknya memberikan nafas segar bagi masyarakat di Gaza–karena lebih dari setahun mereka lebih sering menghirup asap dari timah panas dan bom ketimbang oksigen.
Netanyahu adalah Trumpmania Sejati
Kata “mania” menjadi populer ketika debat antar politisi di salah satu televisi swasta di Indonesia. Dan memang, sesuai penjelasan Rocky Gerung dalam debat tersebut, mania adalah gangguan suasana hati yang membikin seseorang bisa selalu semangat, tapi bikin keputusan kontroversial.
Donald Trump masuk ke dalam klasifikasi tersebut. Masalahnya, di belakang Donald Trump adalah Benjamin Netanyahu. Orang yang pasti akan mengamini apa kata Trump. Begitu pula sebaliknya. Dua orang tersebut tidak akan bisa dipisahkan. Bagai pinang dibelah dua, segala keputusan, entah dari mulut Trump atau Netanyahu, mudah dipastikan saling menjustifikasi.
Jika sudah begini, akan sangat sulit membuat keputusan yang melawan mereka. Apalagi jika ada perlawanan dari luar dan masuk sebuah pernyataan yang menyudutkan mereka di Dewan Keamanan PBB, dengan mudah AS memvetonya.
Kini, perlawanan sedang diupayakan Mesir. Abdul Fattah as-Sisi sedang berusaha melancarkan proposal tandingan AS, yaitu membangun Gaza, tetapi tidak memindahkan masyarakat Palestina. Keseriusan Mesir ditunjukkan dengan menunda pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) darurat Liga Arab. KTT tersebut nantinya berfokus pada rekonstruksi Gaza. Sejatinya, KTT tersebut berlangsung pada 27 Februari 2025, tetapi ditunda menjadi 4 Maret 2025. Alasannya, hendak memenuhi “kebutuhan logistik”.
Pertanyaannya, sekuat apakah KTT darurat Liga Arab untuk menandingi Trump Plan? Bisakah Mesir mengubah suasana hati Trump atau Netanyahu?
Let’s wait and see.
Bacaan terkait
“Pesan” Ta-Nehisi Coates tentang Tragedi Palestina
Lebanon antara Israel dan Iran