“May you live in interesting times” kerap diatribusikan sebagai kalimat kutukan dari tradisi Tiongkok. Penyelidikan mendalam tak menemukannya begitu, tapi kalimat itulah yang terkenang ketika menyaksikan pasar saham di AS, dengan ke seluruh dunia, kembali rontok beberapa jam lalu. Buat yang tak paham, interesting pada kalimat itu sebetulnya berarti gonjang-ganjing.
Setelah beberapa kali mengancam dengan tarif khusus untuk Kanada, Meksiko dan Tiongkok, lalu Trump menambahkan lagi beberapa negara termasuk Spanyol yang dia bilang alasannya adalah keanggotaan di BRICS (konyol!), di awal April ini sekitar 180 negara dan teritori dia masukkan ke dalam apa yang dia sebut sebagai tarif retaliatori (balasan).
Sebagai tarif balasan, tentu Donald Trump membutuhkan penjelasan soal berapa tarif yang dikenakan suatu negara atau teritori kepada AS, dan AS ‘hanyalah’ membalas apa yang mereka lakukan. Dengan begitu, Trump bisa unjuk diri sebagai presiden yang melakukan tindakan demi masyarakatnya. Dia bakal jadi pahlawan lantaran pembelaan itu bukan? Tentu saja, kalau itu benar.
Bagaimana Trump menunjukkannya? Dia pakailah kertas tebal yang menunjukkan berapa ‘tarif’ yang dikenakan suatu negara/teritori kepada AS di satu kolom, dan satu kolom lainnya dia pergunakan untuk menunjukkan tarif yang dia kenakan kepada negara/teritori itu. Sederhana dan meyakinkan. Tapi hanya untuk pengikutnya yang pandir.
Ketika menelisik dengan mata yang lebih tajam, banyak ekonom bingung. Tabel itu tak menunjukkan angka yang benar. Banyak negara di daftar itu yang tak memberi tarif apa pun kepada AS, lantaran ada dalam perjanjian perdagangan bebas dengan AS, tapi nongol dengan angka puluhan persen. Dan tentu saja, balasan dari Trump juga ‘setimpal’ kepada mereka yang berani-beraninya mengenakan ‘tarif’ kepada barang-barang dari AS.
Tetapi, kalau itu bukan tarif, lalu apa? Di sinilah hal yang sangat menarik dari pemikiran Trump: dia pikir perdagangan itu hanya adil kalau neraca ekspor-impor bilateralnya seimbang. Kalau tidak, maka itu bukan perdagangan yang adil. Dan, yang dia lihat di situ adalah bahwa mayoritas negara punya surplus perdagangan dengan AS. Surplus, dalam bentuk persentase, itulah yang ditulis di kolom sebagai tarif dari suatu negara. Untuk menyeimbangkan perdagangan, Trump lalu menaruh tarif betulan kepada negara-negara bersangkutan. Absurd? Tentu saja.
Trump itu bukan cuma bilang bahwa perdagangan antar-negara itu adil bila neracanya seimbang. Dia bahkan bilang bahwa negara yang surplus dalam berdagang dengan AS itu berarti menikmati subsidi dari AS, dan beberapa kali menyatakan itu adalah bentuk perampokan. Semakin besar surplus negara mitra dagangnya, di benak Trump, semakin jahat negara itu. Tak aneh, bila mitra dagang AS terbesar, yaitu Kanada, Meksiko dan Tiongkok adalah yang paling dia benci.
Tentu saja pandangan ngawur itu tak bisa diterima. AS, sebagai ekonomi terbesar di dunia, memang doyan impor. Mereka mengonsumsi besar sekali, dan maunya membayar murah. Maka, negara-negara yang punya keunggulan komparatif versus AS memanfaatkan AS sebagai pasar dari produk-produknya. Dan rakyat AS merasakan keberlimpahan selama beberapa dekade terakhir lantaran situasi ini. Dan ini adalah hasil kalkulasi perdagangan yang normal, bukan lantaran subsidi apalagi perampokan.
Di sisi lain, karena tarif dari Trump itu mengenai hampir seluruh negara dan teritori, maka hal yang aneh juga terjadi. Pulau tak berpenghuni manusia, hanya ada penguin di situ, pun dikenai tarif 10% oleh Trump. Apakah ada ekspor dari situ? Tentu saja tidak. Untungnya, di daftar Trump itu tak ada Narnia dan Wakanda. Kalau tak dibatasi pengenaan tarif di Bumi, mungkin juga Pandora dan Tatooine bakal masuk ke dalam daftar.
Tanggal 2 April 2025 adalah hari yang dijanjikan Trump untuk kebijakan tarif itu. Sudah jauh-jauh hari para pakar bilang bahwa ide itu buruk, lantaran yang akan menanggung tarif sebetulnya adalah perusahaan dan masyarakat AS sendiri. Ada perhitungan yang menunjukkan bahwa rerata rumah tangga AS bakal membayar harga US$3.400 – 4.200 per tahun lebih tinggi. Tapi Trump bukan saja tak peduli, melainkan dengan bangga menyatakan 2 April itu sebagai Liberation Day. Majalah The Economist bilang bahwa nama yang cocok buat hari itu adalah Ruination Day, yang bahkan mereka tabalkan di sampul edisi terbarunya. Bukan pembebasan, melainkan penghancuran.
Reaksi pasar bisa digunakan sebagai salah satu indikator apakah yang dilakukan oleh Trump itu pembebasan atau penghancuran. Pagi kemarin, ketika mata saya terbuka, pasar saham di AS telah kehilangan lebih dari US$2,5 triliun dalam sehari perdagangan. Lebih dari 2 kali lipat Efek DeepSeek. Kalau mau membandingkan dengan Indonesia, seluruh usaha kolektif kita setahun itu sekitar US$1,4 triliun, sehingga apa yang terjadi di AS dalam sehari adalah kehilangan 56% lebih banyak daripada yang kita hasilkan setahun.
Tentu saja, ini adalah reaksi pertama.
Hal yang pertama saya pikirkan adalah entah apakah pasar saham bakal rebound ketika kembali dibuka beberapa jam kemudian, ataukah bakal menghunjam lebih dalam lagi. Jawabannya saya dapatkan pagi tadi, dan pasar saham di AS dinyatakan sudah kehilangan nilai US$6,6 triliun. Kepanikan di hari kedua itu dinyatakan karena tarif balasan dari Tiongkok diumumkan. Kini pasar saham beristirahat dua hari. Apakah Senin depan akan membaik? Entahlah. Tetapi bila ancaman Uni Eropa untuk mengumumkan tarif balasannya terwujud, tentu penurunan lebih dalam lagi yang akan kita saksikan.
Adakah hal lain di luar apa yang tampaknya seperti chaos ini? Di depan panggung retorika Trump dan pengikutnya seperti terus mengobarkan api yang membakar rumah sendiri dan tetangga kanan-kiri. Setelah bilang bahwa para imigran dari Amerika Latin itu bromocorah dan pemerkosa, Kanada dibilang bakal jadi negara bagian ke-51, dan Greenland bakal diambil alih dari Denmark termasuk kalau perlu dengan kekuatan militer. Tarif kepada hampir semua negara itu cuma babak berikutnya.
Tetapi, ada di antara pakar yang mengingatkan bahwa Trump dan gerombolannya tidaklah cuma mau bikin dunia rusuh. Mereka ingin memastikan kekuatan dominan AS tetap tak bisa disaingi. AS memang jagoan militer, tetapi kekuatan ekonominya terus melemah secara relatif. Makanya mereka ingin kekuatan ekonominya itu terus dominan, dengan cara apa pun.
Masalah besarnya adalah banyak sektor di AS, termasuk manufaktur, sudah sangat melemah. Salah satunya karena keasyikan impor yang memang murah. Sementara, kalau ingin mengembalikan kekuatan itu ke AS, dolar yang kelewat perkasa dan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi dibandingkan banyak negara industri baru bikin keinginan itu jadi angan-angan belaka, kalau AS main dengan cara yang jujur. Karenanya, pilihan untuk main kayu jelas adalah satu-satunya yang masuk akal buat mereka.
Penasihat ekonomi utama Trump adalah Stephen Miran. Dia mengusulkan agar AS bikin penurunan nilai dolar, sebagaimana yang dulu dilakukan ketika di dekade 1980an Jepang menjadi ancaman lantaran kapasitas industrinya mengancam dominasi AS. Lewat premanisme ekonomi berbungkus Plaza Accord, Yen dibuat menguat dengan cepat dan dolar melemah. Maka, Jepang kehilangan peluang jadi raksasa karena biaya-biaya dalam negerinya meningkat. AS aman dari persaingan ekonomi versus Jepang, sementara Jepang meratapi nasib batal jadi raksasa ekonomi seperti potensinya.
Kini, tentu saja, yang mengisi tempat Jepang adalah Tiongkok. AS sudah main kayu berkali-kali, tetapi tak juga berhasil membendung Sang Naga. Tiongkok di dekade 2020an sudah jauh lebih kuat daripada Jepang di dekade 1980-an. Menurut perkiraan Kishore Mahbubani, hanya kalau AS berhasil melumpuhkan Tiongkok dalam 1 dekade ke depan saja maka AS masih bisa bertahan jadi kekuatan ekonomi nomor wahid hingga beberapa dekade mendatang. Tetapi, peluang itu sudah sangat kecil, kalau bukan sudah tidak ada sama sekali. Tiongkok sudah jadi nomor satu dalam GDP PPP, dan akan jadi begitu juga dalam nilai mutlak GDP-nya di suatu masa yang dekat. AS harus terima nasib jadi nomor dua. Ide Miran yang menginginkan adanya Mar-a-Lago Accord untuk memastikan dominasi ekonomi AS sudah dinyatakan oleh para pakar di AS sendiri tak akan berhasil.
“It was the best of times, it was the worst of times,” kata Charles Dickens ketika membuka Tale of Two Cities. Kalimat itu yang kini saya ingat. Di bawah Trump jilid kedua AS telah memilih untuk menjadi negeri isolasionis. Bukan saja jadi mitra dagang yang tak reliabel, melainkan juga brengsek. Trump mewujudkan kekhawatiran Henry Kissinger bahwa AS itu bakal dikenal sebagai musuh yang berbahaya, tetapi juga sekutu yang mematikan bagi konco-konconya.
Itu adalah bagian worst of times. Tetapi para pemimpin negara yang lebih waras daripada Trump tentu tahu bahwa tak bisa berdiam diri atas ancaman dan perisakan itu. Dan, upaya melawannya tak bisa dilakukan sendirian. Beberapa hari belakangan kita menyaksikan penguatan solidaritas dunia atas Kanada, Meksiko dan Greenland; unjuk gigi diplomasi kolektif Uni Eropa; juga hubungan Tiongkok-Korsel-Jepang yang seperti mendapatkan alasan terkuat yang sebelumnya tak pernah terpikirkan. Trump membuat dunia bersatu dalam melihat projeksi peran AS yang baru.
Kalau dunia betul-betul bisa mewujudkan tatanan dunia baru dengan relevansi AS dan dolar yang semakin rendah, tak tergantung pada AS sebagai pasar, dan kembali menemukan kewarasan bahwa dunia perlu bersatu dalam menghindari bencana iklim juga tantangan global lingkungan-sosial-ekonomi lainnya, maka kita mungkin berada pada the best of times itu. Karenanya, warga sipil dunia perlu menegaskan agendanya kepada pemerintah masing-masing, mendorong konsistensi kebijakan dan strategi keberlanjutan di level global dan nasional, dan memastikan penegakannya.
Biarkan saja AS sendirian seperti maunya Trump dan pendukungnya.
Mungkin suatu saat mereka bisa kembali waras. Tetapi tak perlu juga terlalu diharapkan. Kata Barbara Walters, mereka itu ada dalam peluang yang tinggi untuk perang saudara. Jadi mereka memang bakal lebih sibuk sendiri dalam beberapa tahun, kalau bukan malah dekade, ke depan.
Pulau Garam, 4 April 2025 11:25
Mojokerto, 5 April 2025 08:05
Bacaan terkait
Menyingkap Tiga Langkah Strategis Kebangkitan Tiongkok
Donald Trump dan Ancaman Krisis Iklim
Ulasan Pembaca 2