Presiden Prabowo Subianto tampaknya sedang membangun kembali Orde Baru Soeharto satu per satu, menghidupkan kembali tatanan politik yang memungkinkan mantan mertuanya, Soeharto, memerintah Indonesia dengan tangan besi selama lebih dari 30 tahun.
Klaim ini mungkin terdengar seperti klise yang basi. Bagaimanapun, beberapa akademisi telah meremehkan kekhawatiran bahwa Prabowo akan mengubah Indonesia menjadi otokrasi, dengan mengutip kendala oligarki atau perlindungan demokrasi. Mereka berpendapat bahwa persaingan elite akan menjaga kecenderungan otoriter Prabowo.
Pertanyaannya adalah bagaimana jika, alih-alih membatasinya, konfigurasi oligarki saat ini justru memungkinkan Prabowo untuk melepaskan hasrat otokratisnya yang paling liar?
Indonesia tidak sedang berjalan dalam tidur menuju otokrasi
Jelas, mantan jenderal ini tidak sendirian mengatur Indonesia yang semakin jatuh ke dalam otoritarianisme.
Demokrasi Indonesia telah lama dicirikan sebagai tidak liberal karena sifatnya yang oligarkis. Yang saya maksud dengan oligarki adalah sistem kekuasaan yang ditopang oleh aliansi kepentingan politik dan bisnis untuk akumulasi modal. Kepentingan predatoris mereka terkadang dapat menumbangkan institusi-institusi demokratis di Indonesia, dengan sedikit atau bahkan tanpa perlawanan dari rakyat. Inilah sebabnya mengapa, setelah 24 tahun Reformasi, Indonesia diklasifikasikan sebagai “sebagian bebas” oleh lembaga pemantau kebebasan global, Freedom House.
Di balik lembaga-lembaga demokrasi baru di Indonesia, selalu ada potensi otokrasi yang tersembunyi. Di bawah mantan presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang pernah dijuluki “Soeharto Kecil”, Indonesia telah memulai pembalikan demokrasi. Sepuluh tahun berkuasa, Jokowi melihat kembalinya lembaga-lembaga Orde Baru yang tidak liberal seperti legalisasi keterlibatan militer dalam urusan sipil, dan senjata ideologi negara Pancasila (melalui UU Ormas).
Namun, kita sekarang melihat tanda-tanda bahwa naiknya Prabowo ke tampuk kekuasaan telah mempercepat penghancuran institusi-institusi Reformasi Indonesia yang masih tersisa, termasuk meluasnya peran militer dalam pemerintahan. Hal ini bukan hanya karena presiden baru ini memiliki kecenderungan otoriter, namun juga karena kemenangannya (yang hampir tak terelakkan) dalam pemilu mencerminkan keinginan umum oligarki. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa Prabowo memenangkan dukungan dari kelompok oligarki terbesar pada pemilu bulan Februari lalu.
Memang benar bahwa demokrasi Indonesia berada di bawah tekanan oligarki yang sangat kuat yang akan tetap ada terlepas dari siapa yang memenangkan pemilihan presiden yang lalu. Namun, Prabowo tampaknya memiliki pengetahuan, dan yang lebih penting lagi, tekad pribadi, untuk menciptakan kembali tatanan sosial-politik yang sangat mirip dengan negara Integralistik Soeharto–model politik yang berperan penting dalam penciptaan dan pemeliharaan sistem oligarki otokratiknya.
Saya tidak bermaksud menguraikan setiap langkah yang diambil oleh Prabowo untuk mengembalikan otoritarianisme ala Soeharto, tetapi saya akan mengidentifikasi tiga strategi utamanya.
Mengejar konsensus politik
Salah jika ada anggapan bahwa konflik oligarki intra-elite tidak ada di bawah Soeharto, tetapi ia sangat efektif dalam mengelolanya–setidaknya hingga kejatuhannya pada akhir 1990-an.
Prabowo, yang pernah menjadi tokoh kunci dalam Orde Baru Soeharto, sangat memahami bahwa konflik intra-elite dapat menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup politiknya. Bagaimanapun juga, pertengkaran elite mengenai siapa yang akan menggantikan Soeharto adalah salah satu penyebab penggulingannya yang tiba-tiba dan penuh kekerasan. Pertengkaran elite juga mendorong polarisasi sosial-politik yang melemahkan saingan Prabowo yang kini menjadi sekutunya, Jokowi, selama pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017 yang sangat memecah belah serta pemilihan presiden tahun 2014 dan 2019. Hal ini menjelaskan mengapa Prabowo sangat bertekad untuk membentuk koalisi yang luas dengan sedikit atau bahkan tidak ada ruang untuk oposisi.
Baru-baru ini, Prabowo menyerukan pembentukan ‘koalisi permanen’ partai-partai politik untuk menopang pemerintahannya. Usulan ini muncul tak lama setelah terpilihnya kembali sebagai pemimpin Partai Gerindra dan menjelang pencalonan dirinya sebagai calon presiden untuk pemilihan presiden 2029.
Faktanya, Prabowo telah didukung oleh aliansi raksasa partai-partai politik yang disebut Koalisi Indonesia Maju (KIM). Koalisi ini terdiri dari semua fraksi politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan pengecualian hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Mayoritas anggota KIM, termasuk Partai Golkar (mantan kendaraan politik Soeharto), menyambut baik gagasan ‘koalisi permanen’.
Partai NasDem, yang mendukung Anies Baswedan yang gagal dalam pemilihan presiden 2024, adalah satu-satunya partai KIM-Plus yang tidak berkomitmen dalam memberikan tanggapan. PDI-P, satu-satunya “oposisi” resmi terhadap Prabowo, juga telah menolak proposal tersebut, dan mengatakan bahwa mereka akan menentang pemilu dengan calon tunggal yang mereka harapkan akan diusulkan oleh koalisi permanen. Namun, kedua partai, yang memiliki hubungan yang tidak harmonis satu sama lain, hanya memiliki 30 persen kursi di DPR, tidak cukup untuk menentang rencana Prabowo.
Usulan koalisi permanen ini jelas dimaksudkan untuk mengatasi potensi konflik intra-elite menjelang pemilihan presiden 2029, ketika setiap partai akan memenuhi syarat untuk mengajukan kandidatnya sendiri. Hal ini merupakan hasil dari keputusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini yang menghapus ambang batas pencalonan presiden sebelumnya, yang berarti hanya partai-partai atau koalisi yang memiliki 20% kursi di DPR, atau telah memenangkan setidaknya 25% suara pada pemilu sebelumnya, yang dapat mengajukan kandidat.
Jika koalisi permanen menjadi kenyataan, implikasinya jelas: berkurangnya kapasitas DPR untuk melakukan check and balance. Di bawah kepemimpinan Gerindra, DPR telah dijuluki oleh para kritikus sebagai “Kementerian DPR”, yang mengingatkan kita pada DPR ‘stempel karet’ di era Soeharto.
Namun, upaya Prabowo untuk menciptakan koalisi yang luas dan permanen bukan berarti ia dapat menyenangkan semua orang. Dia masih harus berhati-hati dalam melakukan manuver politiknya. Sebagai contoh, Prabowo telah memuji Jokowi dan mempertahankan ambisi Jokowi untuk memindahkan ibu kota ke Kalimantan, meskipun anggarannya telah dipotong. Namun, proyek pemindahan ibu kota jelas bukan prioritas baginya seperti halnya Jokowi.
Selain itu, dalam sebuah langkah yang jelas untuk melawan pendahulunya dan para pendukung oligarkisnya serta kemungkinan mendekati Megawati Soekarnoputri dari PDI-P, Prabowo menindak tegas proyek-proyek nasional yang diperkenalkan di bawah pemerintahan Jokowi, termasuk proyek-proyek pembangunan perkotaan di bagian utara Jabodetabek. Salah satunya adalah proyek Tropical Coastland yang dikembangkan oleh Agung Sedayu Group, sebuah perusahaan properti raksasa, yang memimpin sekelompok pemodal domestik yang berinvestasi di proyek ibu kota baru Jokowi.
Penyerapan kekuatan masyarakat sipil
Sangat jelas bahwa meskipun ada serangkaian demonstrasi online dan offline yang diadakan oleh mahasiswa Indonesia dengan menggunakan tagar seperti “Peringatan Darurat” atau, baru-baru ini, “Indonesia Gelap”, peringkat persetujuan Prabowo dalam 100 hari pertamanya secara konsisten di atas 80 persen.
Prabowo tetap populer meskipun ada kritik dari para aktivis pro-demokrasi. Faktanya, para aktivis ini tampaknya telah menjadi kurang legitimate sebagai juru bicara publik, dengan para elite yang sering mengutip peringkat persetujuan yang tinggi untuk Prabowo dan Jokowi untuk menunjukkan kesenjangan yang semakin besar antara para elite intelektual dan rakyat. Prabowo dengan cepat menggambarkan demokrasi liberal, bersama dengan LSM-LSM yang mendukungnya, sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Dia telah menyoroti perlunya “demokrasi yang santun” untuk mengutuk perbedaan pendapat politik yang konfrontatif dan, lebih jauh lagi, para pengkritiknya.
Seperti mantan mertuanya, Soeharto, Prabowo adalah seorang pemimpin yang populis–jauh lebih populis daripada Jokowi. Kebijakan-kebijakan populisnya, termasuk program makan gratisnya, akan membuat Sukarno terkesan. Namun, populisme saja tidak cukup untuk mendapatkan dukungan rakyat. Tidak seperti pendahulunya, Jokowi, Prabowo tidak berniat untuk mengasingkan separuh rakyat Indonesia dengan menyebut mereka sebagai kampret (kelelawar) atau kadrun (kadal gurun), istilah-istilah yang merendahkan yang digunakan oleh para cybertroopers pro-Jokowi untuk mendeskripsikan para pendukung Prabowo dan kaum Muslim radikal.
Prabowo kini mendapat dukungan penuh dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam besar yang, di antara keduanya, mewakili mayoritas Muslim Indonesia. Tidak hanya diberi posisi di Kabinet Prabowo, kedua organisasi ini juga diberi konsesi pertambangan batu bara yang menguntungkan.
Prabowo juga mempertahankan hubungan yang relatif baik dengan kelompok-kelompok paramiliter atau preman di Indonesia, termasuk Front Pembela Islam (FPI, yang sekarang dikenal sebagai Front Persaudaraan Islam) yang terkenal sebagai kerikil dalam sepatu Jokowi. Dukungan masyarakat sipil yang luas ini membantu memberinya dan para pendukung oligarkisnya legitimasi yang cukup untuk terlibat dalam sejumlah besar kebijakan predatoris dan mendiskreditkan tantangan politik atau bahkan kritik teknokratis.
Pemusatan kekuatan politik dan ekonomi
Pembentukan Daya Anagata Nusantara (Danantara) pada tanggal 24 Februari 2025 adalah contohnya. Danantara, yang bertanggung jawab langsung kepada Prabowo, adalah sebuah perusahaan superholding yang akan mengelola perusahaan-perusahaan besar milik negara, dengan sebuah badan investasi yang diperkirakan akan mengelola aset negara senilai US$900 miliar.
Bagi Prabowo, ibu kota baru di Kalimantan sama pentingnya dengan Jokowi. Satu-satunya perbedaan adalah, tidak seperti ibu kota Jokowi, para oligarki batu bara sepenuhnya berada di belakang ambisi Prabowo untuk menjadikan Danantara sebagai lokomotif ekonomi Indonesia.
Bahwa Rosan Roeslani dan Pandu Sjahrir telah ditunjuk untuk memimpin perusahaan baru ini menunjukkan bahwa kepentingan umum oligarki sekarang terkait erat dengan kelangsungan hidup politik Prabowo.
Rosan adalah seorang oligarki batu bara utama yang mendukung kampanye pemilihan Jokowi dan Prabowo. Dia juga merupakan salah satu arsitek utama dari Omnibus Law Cipta Kerja 2020 yang kontroversial, yang diberlakukan terutama untuk memuluskan strategi akumulasi kapitalis ekstraktif Indonesia. Sementara itu, Pandu adalah wakil presiden direktur perusahaan pertambangan batu bara PT Toba Bara Sejahtera dan keponakan dari oligarki kuat Luhut Binsar Pandjaitan, seorang tokoh kunci dalam kabinet Jokowi yang sekarang menjabat sebagai salah satu penasihat ekonomi utama Prabowo.
Keputusan Prabowo untuk mendanai sovereign wealth fund melalui langkah-langkah penghematan besar-besaran yang memangkas anggaran nasional untuk layanan publik telah memicu kekhawatiran akan korupsi politik yang tak terkendali. Pemerintahannya bertujuan untuk memotong US$44 miliar dan menyalurkan US$20 miliar di antaranya ke Danantara.
Implikasi dari kebijakan ekonomi yang berpotensi menjadi predator ini bisa sangat luas. Peneliti veteran oligarki Indonesia, Vedi Hadiz, telah mencatat bahwa pembentukan Danantara sangat mengkhawatirkan, karena hal ini menandakan upaya Prabowo untuk memusatkan kekuatan politik dan ekonomi.
Prabowo telah meminta organisasi-organisasi keagamaan, termasuk Muhammadiyah dan NU, untuk mengawasi Danantara. Namun, tidak jelas apakah ini berarti para pemimpin agama akan menjadi komisaris di dalam perusahaan, yang hanya akan melemahkan kapasitas mereka untuk mengawasi operasinya.
Di sisi lain, sumber daya keuangan yang sangat besar yang tersedia untuk perusahaan investasi baru ini hanya akan semakin mengukuhkan dominasi politik Prabowo dan oligarkinya.
Pemilu langsung yang bebas, adil, dan terbuka dipertaruhkan
Dengan kekuatan akar rumput yang tidak mampu menciptakan tantangan politik yang kohesif terhadap elite, ancaman terbesar yang dihadapi Prabowo dan faksi oligarki dominan yang mendukungnya (termasuk oligarki batu bara yang kuat dan para pemimpin partai dalam koalisinya) adalah para calon presiden yang baru dan populer yang akan bertarung dalam pemilu 2029, yang didanai oleh para penyandang dana yang kaya.
Mereka tidak menginginkan pertarungan oligarki lain yang dapat membahayakan kepentingan mereka. Pertaruhannya lebih tinggi sekarang. Danantara adalah proyek ekonomi-politik yang tidak boleh dibiarkan gagal oleh Prabowo dan oligarkinya.
Jika KIM-plus Prabowo menjadi koalisi permanen yang mirip dengan Barisan Nasional di Malaysia, seperti yang disarankan oleh pialang kekuasaan berpengaruh Jeffri Geovannie, dan jika NU dan Muhammadiyah mempertahankan dukungan mereka untuk Prabowo, bukan tidak mungkin kita bisa melihat elite penguasa yang berani untuk mengakhiri pemilihan langsung dalam beberapa tahun ke depan. Jika hal itu terjadi, pemilu langsung yang bebas, adil dan terbuka yang telah dinikmati oleh masyarakat Indonesia sejak Soeharto jatuh akan menjadi masa lalu.
Dan jika itu terjadi, maka kita dapat dengan aman mengatakan bahwa Reformasi telah berakhir dan rezim otokratis baru telah lahir. Atau mungkin rezim itu harus dilahirkan kembali?
Naskah aslinya: Is Prabowo Reviving the Soeharto Regime
Bacaan terkait
Indonesia-nya Prabowo: Mewarisi Demokrasi di Saat Senja
Kabinet Inklusif Prabowo: Mengakomodasi Faksi-faksi Islam untuk Kohesi Politik
Setelah Bulan Madu, Ke Mana Presiden Prabowo Membawa Indonesia?
Ulasan Pembaca 3