Saya masih ingin berbagi pikiran tentang fikih lingkungan dan ideologi lingkungan. Ulil dalam dua tulisannya, terutama yang pertama (Kompas, 20 Juni 2024), memisahkan antara fikih lingkungan (lebih spesifik yang ia bahas isu tambang, tapi saya mau memperluas ke isu lingkungan), dan ideologi lingkungan. Bagi Ulil, pendekatan ”ideologis” cenderung kaku dan hitam putih. Sementara pendekatan fikih lebih bersifat terbuka. Jadi, keduanya punya posisi dan pandangan yang berbeda.
Tentu saja pendapat Ulil ini tidak benar. Apa yang Ulil sebut sebagai ideologi lingkungan sebenarnya adalah sains atau lebih jauh filsafat lingkungan. Sebagai sains atau filsafat, “ideologi” lingkungan tidak kaku. Tapi juga terbuka, dan yang lebih penting kritis. Dari sains lingkungan menjadi filsafat lingkungan, maka dimensi kritisnya semakin kuat. Ulil menganggap kritisisme sebagai ideologis.
Saya akan mendalami kritisisme filsafat lingkungan, yang Ulil anggap sebagai ideologi itu. Saya akan ambil sebagai ilustrasinya adalah “Deep Ecology”, yang tidak disetujui Ulil (bersama Ekofeminisme). Kalau tentang fikih lingkungan yang diuraikan dalam dua tulisan Ulil itu, saya mengamini. Secara substansial saya tidak berbeda pendapat. Karena itu memang hal yang lazim telah dipahami dalam fikih lingkungan di Indonesia. Saya hanya menyayangkan banyak ide fikih lingkungan akhir-akhir ini kurang kritis. Inilah yang saya maksud dalam tanggapan saya yang lalu, bahwa fikih lingkungan saja tidak memadai.
Maka, saya akan meringkaskan “Deep Ecology”, supaya fikih lingkungan bisa memasukkan dimensi kritisnya dalam fikihnya. Sebenarnya ini yang saya harapkan dari Ulil, panutan saya dalam pemikiran Islam. Untuk saya, “Deep Ecology” akan membantu fikih, dan secara umum akhirnya teologi Islam dalam pergulatan isu lingkungan dewasa ini.
“Deep Ecology” adalah sebuah filosofi lingkungan yang diperkenalkan oleh filsuf Norwegia, Arne Naess, pada tahun 1970-an. Konsep ini menekankan pentingnya hubungan mendalam antara manusia dan alam, serta perlunya perubahan mendasar dalam cara pandang manusia terhadap lingkungan. “Deep Ecology” bukan hanya tentang menjaga lingkungan untuk kepentingan manusia, tetapi juga menghargai nilai intrinsik semua makhluk hidup. Hal ini yang belum kuat disuarakan fikih lingkungan kita, seperti dikatakan Ulil, tapi benihnya jelas fikih lingkungan mengemukakan hal ini, lewat Ushul Fiqh-nya.
David Wallace-Wells dalam bukunya The Uninhabitable Earth mengungkapkan dampak parah perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Buku ini tidak hanya menyoroti bencana yang telah terjadi, tetapi juga memperingatkan tentang kemungkinan terburuk yang akan datang jika tindakan drastis tidak diambil. Tindakan yang Ulil sebut sebagai “alarmisme”.
Beberapa elemen kunci dari kekacauan iklim yang digambarkan dalam buku tersebut antara lain peningkatan suhu global, kelaparan, kenaikan permukaan laut, kebakaran hutan, bencana alam yang semakin sering dan merusak, kekurangan air, kematian terumbu karang dan biota di lautan, polusi udara, penyebaran penyakit tropis, kehancuran ekonomi, dan konflik akibat perubahan iklim. Hal-hal yang digambarkan Wallace-Wells tidak saya dapatkan dalam konsern para ahli fikih di Indonesia, termasuk dalam tulisan Ulil.
Jadi, saya benar-benar dapat insight dari “Deep Ecology”, sebagai salah satu filsafat ekologi yang kritis (yang minimalis paling tidak, ada yang jauh lebih kritis, seperti Murray Bookchin, tapi saya tidak mau mengambilnya, karena terlalu radikal untuk fikih lingkungan yang sedang tumbuh di Indonesia).
Sejarah filsafat ekologi dapat ditelusuri kembali ke pemikiran para filsuf dan ilmuwan alam pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Tokoh-tokoh seperti Henry David Thoreau, John Muir, dan Aldo Leopold telah mengeksplorasi hubungan mendalam antara manusia dan alam. Henry David Thoreau dalam karyanya, Walden, menekankan pentingnya hidup sederhana dan dekat dengan alam sebagai cara untuk menemukan makna hidup yang lebih dalam. John Muir mempromosikan pelestarian alam liar dan keindahan alam sebagai nilai intrinsik yang harus dilindungi dari eksploitasi manusia.
Aldo Leopold melalui bukunya, A Sand County Almanac, memperkenalkan konsep “etika tanah” yang menekankan bahwa manusia harus melihat diri mereka sebagai bagian dari komunitas ekologis yang lebih besar dan bertindak dengan cara yang mempertahankan keseimbangan dan kesehatan ekosistem. Di abad klasik Islam, para sufi dan filsuf mengembangkan pemahaman alam sebagai manifestasi Tuhan (tajalli). Dengan paham tajalli ini, seorang beriman diharapkan menghormati alam sebagai “bersifat Ilahi” – atau paling tidak dalam bahasa yang lebih netral, sebagai ciptaan Allah yang harus dihormati keberadaannya.
Pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, muncul dua kecenderungan dalam menanggapi krisis ekologis. Kecenderungan pertama menganggap krisis ekologis berakar pada masalah ekonomi, politik, dan teknologi sehingga membutuhkan pendekatan ekonomis, politis, dan teknologis untuk mengatasinya. Kecenderungan kedua berpandangan bahwa krisis ekologis bersumber pada dimensi nilai, khususnya filsafat dan agama, sehingga mengatasinya memerlukan perubahan paradigma dan gaya hidup, termasuk perubahan penafsiran teks-teks agama agar lebih bersifat ekologis. Di sinilah mengapa “Deep Ecology” nanti akan disambut oleh dunia agama-agama. Pembacaan saya pada fikih lingkungan Ulil ada pada kecendrungan pertama.
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal sebagai pendiri gerakan ekofilosofi dan penggagas konsep “Deep Ecology”. Filsafat ekologi Naess menekankan pentingnya hubungan mendalam antara manusia dan alam serta perlunya perubahan mendasar dalam cara manusia memandang dan berinteraksi dengan lingkungan. Buku Ecology, Community and Lifestyle karya Naess menguraikan prinsip-prinsip “Deep Ecology” dan pandangan filosofisnya tentang hubungan antara manusia dan alam. Karya Naess memberikan kerangka kerja untuk memahami krisis lingkungan secara lebih mendalam dan menginspirasi banyak gerakan lingkungan dan pemikiran ekologis di seluruh dunia.
Naess mengidentifikasi 8 prinsip inti yang menjadi dasar “Deep Ecology”. Menurut saya, kedelapan prinsip ini sejalan dengan panggilan dan misi agama (apa pun). Sebagai contoh kita bisa rasakan dalam Dokumen Ekologi Katolik, Laudato Si’, dan Islam, Al-Mizan. Kedelapan nilai itu adalah:
1. Nilai Intrinsik: Semua makhluk hidup, baik manusia maupun non-manusia, memiliki nilai intrinsik dan berhak untuk hidup dan berkembang.
2. Keanekaragaman dan Keberlanjutan: Keanekaragaman kehidupan berkontribusi pada kesejahteraan manusia dan non-manusia serta keberlanjutan ekosistem secara keseluruhan.
3. Pengurangan Kegiatan Manusia: Manusia harus mengurangi kegiatan yang merusak lingkungan dan mengancam keanekaragaman hayati.
4. Desentralisasi dan Kesederhanaan: Masyarakat harus beralih ke gaya hidup yang lebih sederhana dan mendukung desentralisasi untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
5. Tanggung Jawab Universal: Semua individu dan masyarakat memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan memulihkan lingkungan.
6. Perubahan Nilai-nilai: Perubahan mendasar dalam nilai-nilai dan praktik manusia diperlukan untuk mencapai keseimbangan ekologis.
7. Partisipasi Aktif: Keterlibatan aktif dalam gerakan lingkungan dan upaya konservasi sangat penting untuk mencapai tujuan ekologi yang lebih mendalam.
8. Menghormati Alam: Manusia harus menghormati dan belajar dari alam, bukan menguasainya.
Kalau membandingkan kedelapan nilai “Deep Ecology”, dengan praktik keberagamaan, maka kita sering melihat bahwa hubungan agama dan ekologi memiliki wajah ganda. Di satu pihak, agama adalah sumber yang baik bagi manusia dalam memahami alam dan dirinya serta mengajarkan bagaimana menciptakan hubungan yang saling menguntungkan dengan alam. Di lain pihak, agama juga bisa menjadi sumber krisis ekologis melalui interpretasinya yang bersifat antroposentris, memberikan pengetahuan dan kuasa kepada manusia untuk mengontrol bahkan mengeksploitasi alam secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan penafsiran agama yang lebih bersifat ekologis untuk mengatasi krisis tersebut.
Bagi saya, belajar “Deep Ecology” akan memberi insight dalam penafsiran agama sebagai sumber yang baik dalam hubungan manusia dan alam, yang akan menjadikan agama kuat sebagai sumber inspirasi dan pedoman bertindak, serta sebagai pemecah krisis ekologis. Agama mengajarkan tentang makna alam, manusia, dan bagaimana seharusnya manusia membangun relasi dengan alam dan sesama. Namun, penafsiran yang keliru atas teks-teks agama yang bersifat antroposentris telah menyebabkan eksploitasi alam. Untuk mengatasi krisis ekologis, perlu mengganti penafsiran yang antroposentris dengan penafsiran yang lebih ekologis.
Nah, sampai disini, saya masih terus merenung, apakah fikih lingkungan Ulil itu antroposentris atau ekosentris? Tapi, dari belajar “Deep Ecology”, seperti saya ringkaskan nilai-nilai dasarnya di atas, saya sadar fikih lingkungan harus bersifat ekosentris, bukan antroposentris. Wallahu a`lam.
Kolom lain yang layak dibaca:
Ulil, Tambang Batubara, dan Krisis Iklim
Setelah NU Dapat Konsesi Tambang
Ulasan Pembaca 1