Di salah satu grup WhatsApp yang isinya sangat beragam latar belakang profesi, lagi ramai banget diskusi tentang tulisan ketua Muhammadiyah yang berjudul “Pengaruh Ideologi Kiri LSM”. Keramaian ini muncul karena mereka peduli dan merasa terpanggil mendiskusikan isi tulisan itu. Inti dari tulisan di atas adalah menjelaskan sejarah dan perkembangan gerakan sosial dan lembaga sosial, seperti NGO atau LSM, dari yang ideologinya “kiri” banget sampai yang “kanan” banget.
Kalimat pembuka tulisannya tuh, menohok gitu. Katanya, tantangan Indonesia bukan hanya ideologi garis keras, tapi juga gerakan masyakarakat sipil seperti NGO atau LSM yang beraliran radikal kiri. Wadidau…
Di tulisan tersebut, sang Ketua juga menyinggung, katanya banyak LSM di Indonesia yang terlalu radikal kiri, yang aksinya selalu menentang pemerintah/negara, anti kemapanan, dan anti negara. Misalnya, para NGO ini anti dalam pengelolaan sumber daya alam karena dianggap produk rezim yang eksploitatif bekerjasama dengan kekuatan-kekuatan oligarki. Termasuk dalam pengelolaan mineral dan batubara.
Tulisan pun ditutup dengan seruan kepada kader Muhammadiyah khususnya, untuk hati-hati terhadap LSM/NGO seperti yang disinggungnya.
Aku pun pengen merespons tulisan itu. Let’s go, kita bahas tipis-tipis aja, satu per satu.
Pertama, dari pemilihan judul tulisan, kok aku merasa Bapake terkesan mencurigai, bahkan menuduh, LSM atau NGO yang disebut “radikal kiri” tadi, sebagai kumpulan orang-orang yang berbahaya, karena katanya selalu bertentangan dengan negara.
Bukankah justru orang-orang-yang kritis dan peduli dengan situasi rill yang dialami masyarakat yang kurang akses dan kurang didengar inilah yang membuat kita semua membuka mata dan hati untuk saling peduli dan mengambil aksi sekecil apa pun untuk membantu yang membutuhkan?
Lihat deh mindset dan lifestyle sebagian besar (enggak semua loh ya, sebagian besar aja) pemerintah, pejabat, orang-orang kaya di negara ini, termasuk tokoh-tokoh organisasi keagaaman seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), apa menunjukkan kesetaraan dengan masyarakat yang hidup dalam kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, yang ramai kita lihat di jalanan, di kampung-kampung, atau di sudut-sudut kota?
Hidup mereka mewah, rumah dan mobil lebih dari satu, anak sekolah di sekolah elite, makan di luar dan liburan jadi agenda rutin. Mungkin di luar dari yang banyak itu, yang kutahu, ada Buya Syafii Maarif dan Gus Dur, dua contoh tokoh lembaga agama yang hidup sederhana, peduli, dan rajin bicara soal kesetaraan.
Kedua, meski enggak disebutkan nama LSM kiri yang dimaksud, tapi kalau indikatornya adalah bertentangan dengan pemerintah, bukannya dalam sejarahnya LSM memang lahir untuk mengingatkan dan mengawasi jalannya pemerintahan supaya enggak “keseleo”, apalagi jatuh ke “jurang”?
Lalu, dalam perkembangannya, makin ke sini, semakin banyak NGO yang kritis, yang sudah bermitra dengan pemerintah. Aku sendiri pernah beberapa kali bekerjasama, atau diminta mengisi kegiatan di Kementerian/lembaga.
Coba deh cek, hampir semua Kementrian dan lembaga itu menggandeng NGO/komunitas/yayasan. Selain karena kadang ada peraturan tertentu dari funding internasional, misalnya, yang mengharuskan kerja sama itu, sering kali aku melihat orang-orang NGO/komunitas/yayasan ini lebih cerdas, ahli, dan konkret dalam melakukan program-program Kementrian itu.
Ketiga, dari segi konteks, ada apa gerangan sampai ketua Muhammadiyah menulis topik ini? Jadi penasaran, apa memang sebelumnya beliau terbiasa menulis atau mengkritisi keberadaan LSM di Indonesia? Kalau iya, tapi kok tulisan ini muncul persis setelah keputusan Muhammadiyah menerima menjadi pengelola tambang?
Masyarakat Sipil Membangun Bangsa
Tahun 2017, Gallup meneliti 150.000 responden di masing-masing 146 negara tentang jumlah relawan. Hasilnya? Dari 7,6 miliar penduduk dunia, jumlah relawan terbanyak ada di Indonesia. Indonesia menyumbang 53% prosentase relawan di seluruh dunia. Ini adalah angka tertinggi di dunia.
Ada tiga pertanyaan Gallup kepada responden: apakah di bulan lalu mereka menyumbangkan uang untuk amal kemanusiaan, menjadi relawan untuk sebuah organisasi, atau membantu orang asing. Beberapa penelitian lain juga menyebutkan Indonesia adalah negara yang dermawan atau filantropis.
Keren banget enggak, sih? Hasil penelitian-penelitian itu bukan dongeng ya, guys.
Di negeri kita ini memang masih banyak orang, baik secara individu ataupun kelembagaan, yang melakukan aksi-aksi nyata untuk membuat perubahan yang lebih baik, karena cinta pada bangsanya dan karena alasan kemanusiaan. Mereka biasa disebut masyarakat sipil. Secara individu, mereka biasanya menjadi donatur tetap dan tidak tetap pada event-event warga di kompleksnya. Misalnya, saat perayaan 17 Agustus, buka bersama alias bukber di bulan Ramadan, atau ngumpulin uang kas untuk membayar petugas keamanan kompleks.
Dalam skala besar, ada juga individu yang secara konsisten berdonasi kepada organisasi atau lembaga-lembaga non profit, seperti komunitas, NGO, atau LSM.
Sementara secara kelembagaan, banyak NGO/LSM/yayasan yang didirikan para praktisi atau aktivis, dan komunitas relawan yang didirikan oleh anak-anak muda, yang aktif bergerak mengedukasi, memberdayakan, dan mengadvokasi hak-hak masyarakat.
Relawan sebagai Lifestyle
Aku mau cerita khusus komunitas anak-anak muda aja deh, karena aku bergerak dan berteman dengan teman-teman muda di bidang ini. Bagi kami, menjadi relawan di berbagai bidang (pendidikan, lingkungan, kesetaraan gender, perdamaian, seni, literasi, dan sebagainya) adalah panggilan dari hati. Enggak bisa ditunjukkan ke orang, namanya juga dari hati, adanya ya di dalam, bukan di kulit.
Sama kayak panggilan makan saat lapar, panggilan mandi saat keringetan, dan panggilan boker saat mules. Kalau panggilan itu enggak dipenuhi, maka hati kita gundah gulana, dan fisik bisa sakit juga. Menjadi relawan juga adalah cara kami membahagikan dan mengembangkan diri. Karena, di sini kami berkumpul dengan sirkel positif, mendapatkan pengetahuan dan pengalaman hidup yang bermakna.
Fakta ini ternyata dibenarkan oleh penelitian. Banyak penelitian yang bilang bahwa menjadi relawan/membantu orang lain dapat membuat kita bahagia. Makanya, menjadi relawan sudah menjadi lifestyle bagi anak-anak muda. Bahkan, mereka rela mengeluarkan uang pribadi, cuti dari pekerjaan/kuliah/sekolah, sampai putus dari pacar, untuk menjadi relawan.
Di Generasi Literat, misalnya, setiap kami open volunteer untuk merekrut anggota-anggota baru, pertanyaan utama kepada pendaftar, “kenapa kamu mau menjadi relawan di sini? Apa yang kamu harapkan, dan apa yang bisa kamu berikan?”
Rata-rata jawaban mereka adalah: ingin membantu, supaya hidup lebih berfaidah, pengen dapat sirkel positif, pengen belajar hal baru, pengen nambah pengetahuan, kayaknya seru liat kegiatannya jadi pengen terlibat juga, atau sekadar merasa seneng aja.
See? Enggak ada yang jawab: supaya dapat gaji, supaya dapat penghargaan, supaya viral, apalagi supaya dekat dengan pejabat lalu diangkat jadi komisaris. Enggak ada!
Jadi, bicara soal ketulusan dan keikhlasan, boleh diuji. Siapa yang lebih tulus melakukan kerja-kerja yang mendorong pada perubahan bangsa yang lebih baik, meski dengan berbagai keterbatasan?
Gimana dengan dampak aksinya? Boleh diuji di lapangan. Program-program mana yang output-nya lebih mampu membangun sumber daya manusia yang punya mindset, karakter, dan sikap yang berperikemanusiaan, setara, adil, dan bahagia, yang dilakukan oleh NGO/LSM, yayasan dan komunitas, atau yang dilakukan oleh pemerintah?
Ah, sudahlah! Soal siapa pun dan lembaga mana pun yang mau mengelola tambang, yo wis silakan! Toh, juga enggak ada yang bisa mengubah keputusan mereka, kan? Sekalipun sebagian anggotanya, yang punya keberpihakan pada lingkungan, mengkritik bahkan memohon, hasilnya tetap sama.
Mungkin ada baiknya para anggota seperti ini memikirkan ulang untuk tetap bertahan atau cabut dari organisasi yang sudah enggak sepaham secara prinsip. Menurutku, kita sama-sama bergerak aja. Lakukan yang menurut kita baik, dan “lawan” yang menurut kita enggak baik. Tanpa perlu membangun narasi yang bisa merugikan salah satu pihak.
By the way, tulisan ini enggak akan membuat aku sampai disomasi, dipenjara, atau dihilangkan kan, ya?
Bacaan terkait
Generasi Muda dan Krisis Iklim: Kami yang Cemas dan Marah
Tak Sekadar Teriakan “How Dare You!”: Memahami Perjuangan Greta Thunberg Secara Lebih Komprehensif
Setelah Heboh Ulil, Bahlil, dan Tahlil: Mungkinkah Pertambangan Hijau?