Kita saat ini tampaknya sering diributkan oleh munculnya pemikiran Islam yang keras (tathorruf). Terorisme yang masih saja menghantui dipandang sebagai akibat dari pemahaman Islam yang salah kaprah. Puritanisme yang kian “galak” menyesatkan kelompok Muslim lain juga dipandang akibat pemahaman Islam yang “dangkal” (syathiyah).
Banyak dari mereka yang terlibat pemahaman dan tindakan Islam yang radikal dan puritan saat ini, konon, ditengara berasal dari kalangan yang baru “melek” ajaran Islam. Ada penelitian bahwa pemikiran Islam yang keras telah merambah kalangan menengah perkotaan. Sementara buku-buku tentang Islam sudah menjamur sedemikian rupa. Bahkan di tengah erupsi digital, buku-buku keislaman tetap tampil menyerbu pasar. Lalu, apanya yang tak jitu? Apakah ada semacam “salah asuhan”?
Muncul pandangan bahwa pengkajian tentang Islam saat ini seolah “terputus” dari estafet kemajemukan pemikiran masa lampau. Mereka yang belajar Islam saat ini lebih banyak secara “instan” tanpa mengetahui keterkaitan secara keilmuan dengan pemikiran ulama sebelumnya. Sementara, aneka corak pemikiran ulama yang jenial sudah terpampang secara elok dalam kitab-kitab klasik yang juga sering disebut “kitab kuning”.
Tradisi Kritis
Di pesantren, mengaji kitab kuning menjadi syarat mempelajari ajaran Islam sekaligus patokan kecakapan santri. Istilah kitab kuning digunakan karena mayoritas kitab klasik menggunakan kertas kuning. Ada yang mengatakan bahwa istilah kitab kuning hanyalah sebutan istihzak atau semacam pejoratif atau ejekan. Dalam bahasa akademis, kitab kitab kuning lebih populer dengan sebutan turats.
Turats secara harfiah berarti sesuatu yang diwariskan. Di dunia pemikiran Islam, turats digunakan dalam khazanah intelektual Islam klasik yang diwariskan oleh para pemikir tradisional. Istilah turats, yang berarti khazanah tradisional Islam, merupakan asli ciptaan bahasa Arab kontemporer.
Sejarah mencatat, lahirnya karya-karya pemikiran yang termaktub dalam kitab kuning telah memainkan peran sangat penting di panggung pergulatan pemikiran Islam. Hiruk pikuk polemik dan kontroversi telah mewarnai pemikiran dalam kitab kuning. Sengitnya perdebatan antara Mu’tazilah, Murjiah, dan Ahlussunnah wal Jamaah, misalnya, direkam secara rinci oleh Abdul Qohir ibn Thahir ibn Muhammad al-Baghdadi dalam kitab al-Farqu bain al-Firaq. Dalam kitab tersebut terpapar dengan jelas kemajemukan pemahaman keagamaan.
Al-Ghazali juga telah berhasil mengguncang dunia filsafat melalui kitab klasiknya yang bejudul Tahafut al-Falasifah. Dengan sangat rasional, al-Ghazali membongkar kerancuan pemikiran para filosof seperti pemikiran al-Farabi dan Ibnu Sina. Kritik tajam dari al-Ghazali terhadap para filosof ini mendapatkan serangan balik dari Ibnu Rusyd melalui kitab klasiknya, Tahafut al-Tahafut.
Silang pendapat ini sekadar contoh bagaimana para ulama terdahulu tumbuh dalam suasana kesuburan keilmuan. Ilmu menjadi hidup dan tumbuh berkembang dengan adanya penalaran kritis para ulama. Sekaligus ini menjadi fakta bahwa kitab-kitab kuning merupakan bukti produktivitas ulama dan cendikiawan Muslim masa lampau. Mereka menulis kitab-kitab klasik berjilid-jilid di berbagai bidang keilmuan sebagai ekspresi dari ketekunan, kecintaan, dan kepedulian terhadap ilmu pengetahuan, serempak kepedulian terhadap persoalan-persoalan umat.
Mereka tak hanya “berumah di atas angin”, melainkan melakukan penelitian (istiqra’) dan uji coba (tajribah) dalam menemukan produk ilmu pengetahuan yang inovatif. Seiring berkarya, mereka senantiasa mendampingi umat, mendengarkan keluh kesah umat sembari mencarikan solusinya. Dengan cara begitu, tulisan-tulisan mereka menjadi tajam, peka, dan berbobot, karena interaksi yang dilakukan tidak hanya deduktif, melainkan juga induktif, yakni dengan selalu melakukan penelaahan secara empirik terhadap kehidupan nyata.
Catatan lain adalah adanya kecenderungan lintas disiplin, interdisipliner, dan multidisipliner di antara para ulama. Dalam komunitas interdisipliner ini tumbuh dinamika intelektual dan kehidupan akademis yang berstandar tinggi, seperti saling mengomentari karya satu sama lain, baik berupa kritik maupun sanjungan. Sebagai contoh, al-Mas`udi, penulis kitab klasik Muruj al-Dzahab, terkenal ahli filsafat, musafir keliling dunia dan ahli geografi.
Integrasi Ilmu
Ajaran dasar Islam tidak memberikan tempat pada pola pikir dikotomis dalam pendidikan. Kecenderungan pemikiran polarisasi lebih merupakan “kecelakaan historis” yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Ibnu Hazm, misalnya, menyatakan bahwa pendidikan Islam tidak mengenal dikotomisasi antara ilmu agama di satu sisi dan sains di sisi lain.
Tokoh asal Spanyol ini menekankan peran penting orang tua dan guru dalam memperkenalkan ilmu-ilmu dasar Islam (al-Quran, tauhid, syariah) kepada anak sejak usia lima tahun sebagai landasan utama dan kemudian diikuti dengan ilmu alam, matematika, ilmu bumi, sejarah dan sebagainya sesuai dengan perkembangan usia dan minat anak. Semuanya ini tentu masih berada dalam konteks pengagungan Ilahi. Belajar sejarah, misalnya, adalah dalam rangka memperkuat keimanan kepada Allah dan mengenang kebesaran bangsa-bangsa di masa lalu sebagaimana yang dituturkan dalam al-Quran.
Memang, dalam mengkaji kitab kuning perlu metode guna menghasilkan pemahaman yang proporsional. Dalam mengkaji kitab kuning, kita tidak hanya berhenti memahami hukum-hukum hasil karya ulama terdahulu, tetapi melacak metodologi penggalian hukumnya. Mengutip al-Ghazali bahwa ilmu yang paling baik adalah penggabungan antara aqli dan naqli, antara menerima hasil pemikiran ulama salaf sekaligus mengetahui dalil dan penalarannya.
Di sini ada penanaman untuk membiasakan bersikap kritis dan teliti terhadap objek kajian. Budaya kritis adalah hal yang lumrah dalam dunia intelektual. Sebagaimana telah kita saksikan potret kehidupan ulama salaf yang sarat dengan polemik.
Sekadar contoh, kenapa sampai ada qaul qadim dan qaul jadid, kenapa Imam Nawawi berbeda pendapat dengan Imam Syafi’i dalam transaksi jual beli tanpa sighat (bai’ al-mu’athoh). Mengapa Imam Qoffal berani berbeda pendapat dalam memahami sabilillah yang berarti setiap jalan kebaikan (sabil al-khair) dapat menerima zakat, sedangkan mayoritas ulama tidak memperbolehkan.
Warisan Moderasi
Kitab kuning menjad faktor penting yang menjadi karakteristik pesantren di negeri kita. Selain sebagai pedoman bagi tata cara keberagamaan, kitab kuning juga difungsikan oleh kalangan pesantren sebagai referensi (marji’) nilai universal dalam menyikapi segala tantangan kehidupan. Segi dinamis yang diperlihatkan kitab kuning adalah transfer pembentukan tradisi keilmuan yang didukung penguasaan ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu humanistik (adab). Tanpa kitab kuning, dalam pengertian yang lebih kompleks, tradisi intelektual sulit bisa keluar dari kemelut ekstremitas.
Pesantren “jenis kelamin” inilah yang membedakan dengan pesantren-pesantren “kagetan” yang lebih menekankan pada upaya puritanisme radikal. Pesantren model ini berisiko menafikan peran khazanah klasik keislaman yang menyimpan jamak mutiara pemikiran ulama. Islam kemudian dipahami secara “kering kerontang” oleh sebab pengajaran Islam dijauhkan dari tradisi estafet pemikiran. Namun, sebaliknya, pesantren yang mengakrabi pengajaran secara “sistematis” keilmuan dengan senantiasa merujuk pada pemahaman ulama terdahulu tanpa meninggalkan semangat penggalian terhadap sumber primer keislaman, maka pesantren inilah yang mampu melahirkan sikap-sikap yang tasamuh (lapang dada), tawazun (seimbang), dan i’tidal (adil). Pendidikan pesantren seperti ini tidak akan memproduksi sikap radikal yang berpunggungan dengan kultur azali moderat ajaran Islam.
Prinsip mengemban Islam yang ramah dan cinta kasih merupakan jihad suci. Pemikiran yang demikian sudah dijadikan dasar oleh pesantren dalam kurun waktu yang lama. Sedari awal berdirinya, pesantren sudah diarahbidikkan sebagai komponen bagi pembaruan masyarakat. Dan pembaruan yang diungkapkan oleh pesantren itu melalui proses yang lentur, tidak kaku atau menutup diri terhadap dunia luar. Inilah yang justru menumbuhkan sikap para santri untuk terbuka wawasannya, menerima, dan sekaligus kritis terhadap gejala-gejala baru yang muncul. Dan semua ini dilakukan melalui penelahaan terhadap kitab kuning secara mendalam.
Nah, kitab kuning sebagai hasil kerja keras para sarjana Islam klasik menyimpan segudang jawaban atas permasalahan-permasalahan masa lalu. Sementara itu, di sisi lain, kita adalah generasi yang hidup di ruang dan kondisi yang berbeda serta menghadapi peliknya problematika modern. Upaya yang dilakukan para pemikir bebas dalam merespons pernak-pernik modernitas, sembari meninggalkan khazanah tradisional Islam, tak lain hanyalah kecongkakan intelektual. Begitupun mempelajari Islam dengan hanya berkutat pada “satu pintu”, seperti terpaku pada pemikiran satu ulama atau golongan ulama tertentu, merupakan suatu “kedunguan intelektual”.
Kita ini ibarat anak saudagar kaya yang diwarisi ratusan perusahaan besar oleh bapaknya. Akan tetapi, apabila kita tidak mampu memperbaharui sistem, meningkatkan produktivitas, kreatif dalam merespons dinamika zaman, lambat laun produk perusahaan tidak laku dan tidak menarik konsumen. Akhir cerita, perusahaan yang besar itu akan mati meninggalkan seribu kisah manis.
Tak pelak, ikhtiar untuk selalu mengkaji kitab kuning menjadi penting, dengan harapan agar tidak akan terjadi “missing link” atau terputusnya (diskontinuitas) antar pemikiran terdahulu dengan kekinian. Terutama bagi generasi muda sekarang, agar tidak “amnesia” dalam memahami pergumulan intelektual sehingga mampu mendorong kualitas dan keunggulan mereka dalam menekuni ilmu pengetahuan. Anak-anak muda kita, kategori generasi milenial maupun generasi Z yang di negeri kita merupakan ‘bonus demografi’, perlu dirawat dan diruwat melalui pemahaman yang saintifik dan bersikap moderat. Ini bisa dilakukan dengan menumbuhkan semangat untuk mengkaji secara mendalam terhadap semesta ajaran keislaman. Kitab kuning menjadi salah satu media edukasi untuk menjelajahi dunia keilmuan.
Dengan begitu pula, pemahaman Islam tidak akan mudah “dibajak” oleh segolongan tertentu yang menjadikan Islam sebagai “alat ideologis” untuk bertindak melawan kemanusiaan. Ekstremisme akibat kejumudan berpikir perlu segera diatasi melalui penguatan tradisi kritis dengan menjelajahi warisan jenial intelektual keislaman yang menumbuhkan pola pikir dan sikap ilmiah moderat.
Bacaan terkait
Kritik Hujjatul Islam terhadap Filsafat
Melanjutkan Wacana Post-Caknurian
Bibit-bibit Radikalisme di Kampus
Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, Kisah Hidup Dan Pemikiran Sang Pembaru Islam
Bahas Tasawuf di Kampus, UIN Jakarta Gelar Bedah Buku Tasawuf
Ulasan Pembaca 7