Maulid Nabi diperingati tiap tahun, tapi Muhammad Saw. tidak pernah disajikan sebagai Nabi abad ke-21. Selama ini peringatan maulid umumnya bersifat seremonial belaka dan kisah-kisah kenabian yang ditonjolkan adalah narasi yang dibentuk oleh konteks tertentu di abad-abad awal kemunculan Islam. Iklim intelektual saat ini tidak memungkinkan lahirnya suatu potret Nabi yang relevan di abad ke-21.
Paling jauh, kita—kaum Muslim—hanya berbangga dengan penilaian Michael Hart yang pada tahun 1978 menulis buku yang menempatkan Nabi Muhammad sebagai manusia paling berpengaruh dalam sejarah. Apakah pengikut Nabi Muhammad sendiri berhasil menghasilkan karya tentang hidup Nabi, yang membuatnya berbangga, dihargai sebagai kesarjanaan pionir oleh kalangan Muslim dan non-Muslim?
Barangkali kebuntuan intelektual di kalangan Muslim, terutama di Indonesia saat ini, menghalangi lahirnya karya-karya besar tentang Nabi. Sampai batas tertentu, potret kehidupan Nabi yang ditulis ulama modern tidak impresif secara intelektual, dan bisa dikatakan tidak relevan secara keimanan.
Benturan Pemikiran
Orang bisa berbeda pendapat tentang penyebab kejumudan intelektual yang berakibat pada minimnya “benturan” wacana yang serius di kalangan kaum Muslim. Kita tidak boleh melupakan momen ketika penulisan biografi Nabi menjadi simbol kegairahan intelektual yang menakjubkan.
Kegairahan intelektual bisa muncul karena beragam alasan. Misalnya, interaksi dengan kesarjanaan Barat. Ketika Abbas Mahmud Aqqad menulis ‘Abqariyat Muhammad (Kejeniusan Muhammad) pada 1942, ia diinspirasi oleh orientalis Thomas Charlyle dalam bukunya, On Heros, Hero Worship, and the Heroic in History (1841). Aqqad bertanya secara retorik: “Bagaimana mungkin Charlyle menghasilkan karya sedemikian rupa tentang Nabi, padahal dia itu orang Barat yang tidak mungkin lebih paham tentang Nabi dari kita.” Seperti tergambar dari judulnya, Aqqad berupaya memperlihatkan kejeniusan Nabi sebagai jawaban terhadap gambaran Nabi yang kerap ditulis orang-orang Barat di abad ke-19.
Reaksi serupa diperlihatkan Taufiq Hakim yang menulis drama tentang kehidupan Nabi pada 1936 berjudul Muhammad, karena terprovokasi novel terkenal karya Voltair, Le Fanatisme au Mahomet le Prophet. Hakim tersinggung dan menulis karya drama yang bagus.
Dinamika intelektual juga bisa muncul karena pergulatan internal di kalangan Muslim sendiri. Beberapa penulis Muslim paruh pertama abad ke-20 mencoba memperkenalkan pendekatan saintifik dalam penulisan biografi Muhammad. Contoh bagus ialah karya Thaha Husain berjudul ‘Ala Hamisy al-Sirah, yang jilid pertama terbit pada 1933, kemudian diikuti jilid kedua (1937) dan ketiga (1946).
Dalam pendahuluannya, Husain berkata tujuan menulis karyanya tersebut “agar anak-anak muda mengambil manfaat dari sumber-sumber yang kita miliki dan mendorong mereka lebih tertarik pada kajian saintifik, baik tentang sejarah ataupun literatur kreatif.” Jika dikombinasikan, buku ini setebal 700 halaman, dan Husain memilih aspek-aspek tertentu kehidupan Nabi untuk mendorong lahirnya kritik sejarah. Terbukti, buku ini memantik reaksi cukup luas, dan beberapa buku telah ditulis sebagai respons.
Barangkali karya paling monumental yang diklaim menggunakan pendekatan saintifik ialah Hayah Muhammad (Kehidupan Muhammad) karya Husain Haikal. Buku yang berawal dari artikel mingguan itu pertama terbit pada 1935, dan sudah dicetak ratusan kali. Penulis buku tersebut punya perhatian khusus terhadap kritik historis dan mengaku hendak bersandar pada sumber-sumber otentik, terutama Al-Quran. Tidak mengherankan jika kita tidak temukan kisah-kisah supernatural yang tidak masuk dalam buku itu.
Nabi Zaman Modern
Tren yang juga mengagumkan dari periode kecemerlangan penulisan biografi Nabi ialah bagaimana figur Muhammad digambarkan sebagai sosok yang relevan dalam konteks tertentu di zaman modern. Muhammad betul-betul dimunculkan sebagai nabi abad ke-20. Para penulis dari berbagai arus pemikiran merefleksikan ide-idenya melalui imajinasi mereka tentang seorang Nabi zaman modern. Pemikir sosialis seperti Abdurrahman Syarqawi menggambarkan sosok nabi sebagai pejuang pembebasan. Bukunya, Muhammad Rasul al-Hurriyah (Muhammad, Rasul Kebebasan), terbit pada 1952, hanya satu tahun setelah Presiden Naser di Mesir mendeklarasikan kebijakan sosialisme Arab.
Syarqawi memang tidak hendak menulis biografi “baru” tentang Muhammad. Dalam pendahuluannya, ia menjelaskan tulisannya, yakni menggambarkan Muhammad sebagai manusia biasa, bukan Nabi. Katanya: “Ia manusia yang hidupnya berlimpah rahmat, cinta, kebajikan dan kesederhanaan, serta kemampuan mengorganisir, menciptakan dan menaklukkan hati orang lain. Tak ada perbandingan soal kemanusian, heroisme dan kebaikannya.”
Revolusi sosialisme Arab melahirkan sejumlah pemikir yang mengusung cita-cita sosialis, seperti dianut Syarqawi, tapi juga semangat nasionalisme Arab, seperti diperjuangkan Fathi Ridwan. Penulis terakhir ini menulis biografi Nabi berjudul Muhammad: Al-Tsa’ir al-A’dham (Muhammad: Pemimpin Revolusi Agung), yang terbit pada 1957.
Tidak ada kisah kemukjizatan dalam buku ini, karena hal itu bertentangan dengan gambaran Nabi sebagai seorang revolusioner. Buku ini lebih berfokus pada Muhammad di Makkah karena di sana elemen revolusi dapat mudah dideteksi dan ditonjolkan.
Ke dalam kategori buku-buku yang menekankan sisi sosial dan etik Nabi, bisa disebutkan juga beberapa buku-buku berikut: Insaniyyah Muhammad (Kemanusiaan Muhammad) oleh Khalid Muhammad Khalid (1971); Nabi al-Insaniyyah (Nabi Kemanusiaan) oleh Ahmad Husain (tahun tak berhasil dilacak); Syakhsiyah Muhammad (Personalitas Muhammad) oleh Muhammad Syalbi (terbit tanpa tahun).
Mereka yang berminat dalam kajian historis juga menulis biografi Nabi dengan penekanan pada episode. Beberapa karya cukup menonjol ialah Min Hayat Muhammad: Dirasah Tahliliyah (Dari Kehidupan Muhammad: Kajian Analitis) karya Abdul Halim Mahmud Hamuda (1955); Dirasah Tarikhiyah fi Sirat al-Nabawiyah (Kajian Sejarah tentang Biografi Nabi) karya Muhammad Mustafa Najjar (1979).
Aspek taktik militer Nabi dieksplorasi dalam karya-karya berikut: Muhammad al-Qa’id al-A’la (Muhammad sebagai Komandan Tertinggi) oleh Abdul Majid al-Hawidi (1956); Al-‘Abqariyah al-‘Askariyah fi Ghazwah al-Rasul (Kejeniusan Taktik Militer dalam Perang Nabi) oleh Abdul Mun’im Syamis (1962); Tarikh al-‘Arab al-‘Askariyah: Hurub Muhammad (Sejarah Militer Arab: Perang-perang Zaman Nabi) oleh Mahmud al-Dar (terbit tanpa tahun).
Daftar buku bisa dilanjutkan dalam tren-tren lain, seperti mereka yang menulis biografi Nabi berdasar ayat-ayat Al-Quran semata, sifat-sifat Nabi sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab sebelum Al-Quran, atau dimensi politik dalam kehidupan Nabi. Tak cukup ruang untuk dirinci dalam tulisan ini.
Tanpa harus ditutup dengan kesimpulan, pembaca pasti sudah menyadari betapa semarak dan dinamisnya penulisan biografi Nabi Muhammad dan upaya menjadikanya sosok yang relevan dalam periode tertentu abad ke-20. Kenapa sekarang terjadi kemandekan? Sudah saatnya merayakan maulid Nabi dengan dentuman otak-otak besar untuk menghidupkan Nabi abad ke-21.
Ulasan Pembaca 1