Pesantren adalah miniatur kehidupan sosial Indonesia. Di sana ada anak-anak dari berbagai suku, yang tentu saja berbeda perilaku, bahasa, dan tradisi. Para santri ini juga berasal dari kalangan yang berbeda-beda secara ekonomi dan pendidikan orang tuanya. Di pondok pesantren yang penghuninya mencapai ribuan, komposisi ini menghasilkan realita pembelajaran yang serius dan penuh nilai, tetapi juga konyol dan naif.
Dalam hal keberagaman, Pesantren Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, sudah seheterogen negeri ini. Di pondok yang jumlah santrinya lebih dari 4000 ini, kiyai tidak saja mengajar ilmu, tetapi juga etika dan nilai-nilai. Dinamika di dalamnya direkam lengkap secara lucu dalam bentuk komik strip oleh Rochman Romadhon, yang diterbitkan oleh Rene Islam.
Rochman adalah alumni Gontor angkatan tahun 2000. Belajar di sana selama 12 tahun, ia lebih dari paham tentang suasana, budaya, dan realita di pesantren berusia menjelang satu abad ini. Sebenarnya Rochman tidak hanya mengartunkan poin-poin krusial tentang ilmu dan akhlak, tetapi juga kronika di dalamnya. Buku ini awalnya diracik untuk meramaikan acara 90 tahun Pondok Pesantren Modern Gontor tahun 2016, kemudian di jual bebas dan telah dua kali cetak.
Pada hari pertama mondok. Biasanya santri baru yang ditinggalkan orang tuanya akan bersedih. Ada yang menangis histeris, ada yang meneteskan air mata sambil menarik-narik lengan baju ibunya, ada pula yang menangis berguling-guling di ruang tamu. Tetapi ada juga yang santai dengan tampang gembira, seolah menyuruh orang tuanya segera pulang.
Dalam waktu beberapa saat, beberapa golongan ini segera akan bersatu dalam pertemanan yang asik. Dengan cepat mereka akan menjadi akrab dan bersama-sama mengukir sejarah panjang. Tentu saja ada suka, duka, lucu, konyol, pahit, dan manis.
Pesantren itu bukan asrama. Propertinya dibatasi hanya lemari dan kasur single size. Dalam lemari hanya ada pakaian, buku, dan alat mandi. Maka di tempat itu tak mudah dibedakan mana santri kaya dan miskin. Di sini hidup bakal tak mudah bagi santri baru. Mereka terpaksa harus hijrah segala-galanya, mulai tempat tinggal, kebiasaan, menu makanan, pola bermain, jam istirahat, dan sebagainya. Bila di rumah mereka mendapat perhatian dan cinta kasih secara personal, di sini hanya tersedia perhatian kolektif.
Di Gontor, pendidikan digelar dengan standar tinggi dan aturan keras. Para santri baru diberi masa transisi selama setahun, sebelum memasuki dunia santri yang sesungguhnya. Secara umum ada dua golongan santri, yaitu sighar ada kibar. Sighar yang artinya “kecil” adalah santri yang masuk pesantren selepas SD, kibar (besar) adalah santri yang masuk pondok setelah lulus SMP. Namun sebelum itu ada istilah judud, yaitu santri baru yang masih tahun pertama, baik dari golongan sighar maupun kibar.
Santri newbie itu berhak atas sejumlah dispensasi. Mereka ditempatkan di asrama khusus dan dalam tiga bulan pertama masih boleh bicara bahasa Indonesia, tidak harus Arab-Inggris. Kegiatannya masih bersifat pengenalan dan apabila mereka melakukan pelanggaran, yang kena sanksi adalah mudabbir asrama.
Segala dinamika di pesantren, mulai masuk sampai perpisahan, baik yang formil maupun non formil, tak dilewatkan sama sekali oleh Rochman Romadhon. Termasuk kenaifan khas pesantren yang sudah menjadi realita turun temurun, seperti ghasab, abu tanzif, dan jarban. Ghasab adalah aksi menyerobot properti orang lain tanpa izin, biasanya barang-barang ringan terutama sandal. Sedangkan abu tanzif adalah pendompleng makanan. Kalau jarban itu kudis atau penyakit kulit berupa gatal-gatal disertai infeksi bernanah. Konon setelah terjangkit jarban, seorang santri mendapat keberkahan kiyai dan menjadi pertanda akan kerasan di sana.
Kehidupan pesantren, meski tak mudah bagi seorang remaja, tetapi kenyataannya membuat kerasan dan menciptakan romantika tak terlupakan. Santri bisanya cukup happy hingga akhir masa studi dan selalu ingin mengulang setiap momen di dalamnya. Di Gontor rapor dibagikan setelah liburan, dengan cara dikirim langsung ke rumah. Penilaian rapor terdiri dari tiga aspek, yaitu Suluk atau kesopanan, Muadhaba atau tanggung jawab, dan Nadhafa atau kebersihan-kerapian.
Santri dinyatakan lulus apabila telah menyelesaikan jenjang Kulliyyat Muallimin al-Islamiyyah (KMI) yang terdiri dari enam kelas (setingkat SMP-SMA). Namun ijazahnya baru diberikan setelah satu tahun mengabdi sebagai pengajar di pesantren lain yang ditunjuk. Namun bagi Gontorian, ijazah hanyalah selembar kertas. Senjata sesungguhnya adalah kapasitas santri itu sendiri. “Banyak orang bertitel tanpa kualitas, banyak orang berkualitas tanpa titel,” demikian kata-kata salah satu pengasuh Gontor, KH. Hasan Abdullah Sahal, yang sampai kini tetap abadi.
Semua paket informasi ini tentu saja akan sangat berat, seandainya tidak dikemas dalam bentuk komik. Setiap tema disajikan dalam dialog bergambar sepanjang satu atau dua halaman, terdiri dari 1 sampai 6 panel. Setiap judul tidak saling bersambung dan tidak berlanjut ke lembaran berikutnya, maka untuk mencerna satu tema hanya diperlukan waktu beberapa menit saja.
Karakter kartunnya cukup lucu dengan gaya manga semi realis model cartoon style. Gambarnya, dari kepala hingga kaki proporsinya tak seimbang. Melalui karakter-karakter itulah petuah-petuah bijak sukses disajikan dengan santai. Misalnya petuah KH. Abdullah Syukri Zarkasyi: “Ikhlas membuat kita menjadi tegar, kuat, dan berprinsip” dan “Sebesar keinsyafanmu sebesar itu pula keberuntunganmu“. Mungkin karena lengkapnya, penerbitnya mengklaim buku ini sebagai bacaan wajib bagi calon santri Gontor dan orang tuanya, serta sunnah muakad bagi para alumninya.
Judul: Top Secret Santri Gontor
Penulis: Rochman Romadhon
Penerbit: Rene Islam
Genre: Komik
Tebal: 168 Halaman
Edisi: Cet 2, Agustus 2021
ISBN: 978-623-1201-90-9
Ulasan Pembaca 1