Seperti seorang ratu dalam film Snow White (Putri Salju) yang bertanya ke cermin ajaib siapa yang paling cantik, sejarah peradaban manusia pun bertanya-tanya siapakah yang paling rupawan atau tampan. Tidak hanya kisah kanak-kanak, bahkan seorang filosof seperti Nietzsche pun menulis Thus Spoke Zarathustra yang bicara mengenai konsep “manusia unggul” (Übermensch) yang lebih dari lainnya.
Ini sekali lagi mengingatkan kita pada komik yang kemudian difilmkan mengenai “manusia baja” alias Superman. Berasal dari planet di luar bumi dan memiliki kekuatan super di atas kemanusiaan penduduk bumi. Tidak cukup dengan itu Hollywood membanjiri kita dengan berbagai kisah manusia yang memiliki kemampuan luar biasa dari mulai X-Men, Spiderman, Hulk, yang berasal dari bumi, maupun yang dari “langit” seperti Thor. Tradisi wayang pun punya jenis manusia unggul seperti Gatotkaca yang melegenda di tengah masyarakat kita.
Akan tetapi Muhammad bin Abdillah yang diklaim sebagai Nabi terakhir oleh umat Islam bukanlah seorang yang punya kekuatan super power, bahkan bila dibandingkan dengan para Nabi sebelumnya yang memiliki berbagai keajaiban (baca: mukjizat). Inilah Nabi yang bukan anak raja, seperti Sulaiman bin Dawud. Inilah Nabi yang tidak memiliki tongkat ajaib seperti Musa. Inilah Nabi yang tidak bisa membangkitkan orang yang sudah mati seperti mukjizat Isa. Juga bukan seperti Yusuf yang gantengnya mampu membuat para perempuan tak sadar mengiris jemari mereka sendiri.
Tidak! Yang diceritakan kepada kita adalah Muhammad seorang yang bersahaja, yang tidur beralaskan tikar kasar, mengganjal perutnya dengan batu karena menahan lapar. Muhammad yang pergi berperang dan pernah kalah. Nabi yatim piatu yang besar dalam asuhan kakek dan kemudian pamannya. Bahkan penduduk Makkah pun keheranan bagaimana orang seperti ini bisa-bisanya mengklaim sebagai Nabi, padahal dia jalan di pasar dan makan sebagaimana orang lainnya. Mungkin seharusnya rasul terakhir itu berupa malaikat atau sosok yang dari luar bumi.
Hari kelahirannya pun bukan di hari besar seperti hari Jumat. Dia lahir di hari Senin. Bukan lahir di bulan yang disucikan oleh orang Arab, tapi di bulan biasa, yaitu Rabi’ul Awal. Padahal orang kampung saja punya perhitungan tentang tanggal dan hari kelahiran sebagai indikasi kebesaran sang anak di masa mendatang. Muhammad menjadi tokoh hebat bukan karena itu semua.
Kalau meminjam dialog Batman ketika bertarung dengan Superman, “apakah Anda bisa berdarah?” Muhammad seperti kita juga, beliau berdarah, menikah, makan dan minum, serta pergi berdagang. Muhammad bukanlah pria yang memiliki otot kawat dan tulang dari besi.
Jelas sudah Muhammad bukan orang yang memenuhi kriteria angan dan imaji kita seperti tradisi dan kisah kanak-kanak, komik, novel filosofis maupun film yang laris di pasaran.
Lantas, di mana letak keistimewaan seorang Muhammad?
Mengapa pula bangsa Arab mau mendukungnya, padahal ajaran yang dia bawa tidak menempatkan bangsa Arab—iya, bangsanya sendiri—sebagai bangsa yang paling unggul sedunia. Kita tahu Yahudi selalu merasa sebagai bangsa pilihan Tuhan. Bahkan Hitler pun merasa bangsa Arya sebagai yang paling unggul. Tidak heran keduanya saling bermusuhan.
Sekali lagi, apa sih yang membuat Muhammad menjadi istimewa dan pantas kita teladani? Ada tiga jawabannya. Pertama, akhlak. Kedua, akhlak. Ketiga, akhlak.
Iya, Muhammad terang-terangan menjelaskan misinya, yaitu untuk menyempurnakan akhlak mulia. Kalimat yang dipilihnya pun sudah mengandung sebuah akhlak. Dia tidak mengatakan akhlak sebelumnya jelek dan hancur lebur. Dia tidak hendak mengoreksi, apalagi mencaci dan menghakimi, seperti kebanyakan para dai saat ini. Muhammad datang untuk “menyempurnakan” akhlak yang “mulia” (perhatikan kata yang diberi dua tanda petik). Luar biasa, bukan?!
Untuk mengemban misi ini tentu Muhammad sendiri harus membuktikan dirinya pantas sebagai uswatun hasanah (contoh teladan). Sebelum diangkat sebagai Nabi pun penduduk Makkah sudah mengenal kejujurannya sehingga beliau digelar “al-Amin”. Rekam jejak itu penting. Muhammad pun menolak kerajaan atau harta yang ditawarkan.
Lantas, kalau beliau sudah berhasil menyempurnakan akhlak yang mulia, maka hasilnya akan seperti apa? Kali ini Tuhan yang mewakili untuk memberi jawaban lewat ayat suci. Hasil dari gemblengan akhlak yang mulia itu akan melahirkan Islam yang berupa rahmat bagi semesta alam.
Duh, sampai di sini kita berhenti sejenak. Ini bukan sosok pahlawan atau manusia unggul seperti di komik, novel, dan film, yang setelah mengalahkan kejahatan kemudian selesai—atau paling tidak menunggu musuh baru sampai film berikutnya. Ini sosok yang tidak menjadikan kemenangan semata sebagai sebuah tujuan. Bahkan Quran pun menegaskan bahwa bukan tugas Muhammad untuk memaksa semua orang menjadi Muslim. Tidak ada paksaan dalam beragama!
Ketika pasukannya baru saja memenangkan pertarungan di daerah Badar, yang secara kalkulasi manusia biasa mustahil dimenangkan, sosok ini malah mengingatkan bahwa itu pertarungan kecil. Karena pertarungan yang sesungguhnya adalah melawan nafsu diri kita masing-masing. Pasukannya sendiri malah tidak bisa mengontrol nafsu duniawi mereka saat pertempuran berikutnya di Bukit Uhud yang membuat mereka kalah. Pelajaran pahit!
Tapi, apa itu semua cukup untuk menjadikan Muhammad sebagai sosok yang istimewa dalam panggung sejarah peradaban manusia?
Tuhan memberinya kitab suci Al-Quran. Inilah mukjizat Muhammad. Adakah keajaiban pada kitab suci yang dijadikan andalan Nabi terakhir ini? Karena Muhammad adalah sosok panutan untuk semua bangsa dan melintasi zaman hingga hari kiamat nanti, tentu saja mukjizatnya juga harus melintasi batas ruang dan waktu; tidak bisa hanya temporer atau lokal seperti mukjiat para Nabi sebelumnya.
Musa menghadapi zaman di mana penyihir begitu ditakuti, maka mukjizat Musa pun cocok untuk zaman itu. Tapi mukjizat Muhammad harus melampaui zamannya sendiri. Lalu, bagaimana kitab suci Al-Quran melintasi itu semua? Apakah lewat peperangan dan kekerasan menaklukkan dunia? Apakah lewat penjajahan dan penindasan terhadap umat lain? Tidak!
Misi utama sosok ini yang hendak menyempurnakan peradaban manusia yang berakhlak mulia sebagai rahmat untuk semesta alam diwujudkan dalam wahyu pertama. Ketika menerima perintah pertama yang diterimanya di Gua Hira, isinya berupa Iqra’ (bacalah!). Inilah cikal-bakal munculnya peradaban Islam.
Lewat ilmu pengetahuan misi Muhammad melintasi batas wilayah, zaman, dan generasi. Itu sebabnya Muhammad Iqbal, cendekiawan besar dari Pakistan, menulis bahwa “Muhammad adalah mukadimah bagi alam semesta”.
Maka, lewat apresiasi terhadap ilmu pengetahuan yang etis dan mengandung rahmat ilahi, Muhammad telah menginspirasi jejak peradaban manusia. Iqbal, bolehlah kita kutip sekali lagi, untuk menjelaskan bagaimana manusia mampu mengkreasi dari apa yang sudah Tuhan ciptakan sebelumnya.
“Kau mencipta malam, aku mencipta lampu untuk meneranginya.
Kau membuat lempung, darinya aku bikin cawan minuman.”
Di sinilah keistimewaan seorang manusia bernama Muhammad. Ajaran yang dibawanya plus keteladanan etis yang diwariskannya merupakan kontribusi penting bagi peradaban semesta.
Maulid adalah memori kolektif kita akan perjuangan Nabi Muhammad menginstitusionalisasikan akhlak mulia, perintah Iqra’ dan Islam yang rahmatan lil alamin. Tanpa kesadaran akan jejak silam, kita mustahil bisa move on. Maka, Maulid jangan direduksi hanya menjadi perdebatan tahunan masalah bidah atau tidak. Maulid Nabi adalah momen kita untuk kembali mengambil pelajaran dari sosok yang Allah dan malaikat pun bershalawat kepadanya.
Allahumma shalli ‘alayhi zinata ‘arsyika wa mablagha ridhaka wa midada kalimatika wa muntaha rahmatika.
Bacaan terkait
Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik: Memotret Sirah Nabi Ala Cerita Roman
Maulid Barzanji: Merayakan Biografi Sastrawi Kehidupan Nabi saw.
Shollu ‘Alan Nabiy: Menggapai Kedamaian Hati melalui Shalawat
Ulasan Pembaca 1