Sebuah novel adalah semburat pengungkapan dan juga pembongkaran dari sisik melik gambaran hidup di alam nyata. Kira-kira begitu kesimpulan saya ketika membaca novel Bom Sang Teroris karya filsuf dan sastrawan Prancis, Albert Camus. Camus kali ini hendak mendedah kembali pada titimangsa Februari 1905, peristiwa yang terjadi di Rusia. Ada sekelompok teroris dari partai sosialis revolusioner merancang percobaan pembunuhan atas Hertog Agung Serge Alexandrovich, paman Tsar Rusia.
Tak cukup pada pengisahan jalannya teror, sejatinya Camus hendak membelalakkan sisi lain dari teater kekejian teror. Dengan berbagai konflik yang mudah dicerna, pembaca disuguhi alur konflik yang mengantar sang tokoh ke tiang gantungan.
Di novel ini, kita disuguhi gumul-gumul hebat di antara anggota teroris ketika berhadapan dengan calon korbannya. Ya, sebuah kisah tentang pergulatan batin para teroris yang begitu mendalam pada tokoh-tokohnya. Yanek Kaliayev, pemuda itu, memang tak mampu untuk melepaskan hatinya. Ia disiapkan untuk melemparkan bom. Tapi ketika kereta sang Hertog datang, ada yang tak disangka-sangkanya. Di kereta tamu agung itu ada dua anak kecil, kemenakan sang Hertog. Wajah mereka tampak sedih, memandang lurus ke depan. Melihat itu, Yanek batal menjalankan perintah. “Tanganku jadi lemas. Kakiku goyah,” katanya kemudian. Bom tak jadi dilemparkan, kereta itu berlalu, selamat.
Kita tak bisa menujahkan kisah novel ini pada tindakan teror yang dilakukan oleh kelompok teroris belakangan ini, wabil khusus yang masih belia. Bahwa teror yang dilakukan oleh mereka yang dituturkan oleh Albert Camus dalam novel ini mempunyai sasaran yang terpilih, biasanya kalangan atas dan atau pemimpin politik atau kepala negara. Sementara sekarang ini polisi bahkan warga sipil pun telah dimasukkan dalam target penyerangan oleh kelompok teroris.
Di novel ini, Camus ingin menunjukkan bahwa tidak ada tindakan yang tanpa batas. Tindakan baru dikatakan adil dan benar kalau ia mengakui batasan-batasan, kalau melewatinya harus menerima kematian. Dalam kisah ini, Camus juga memunculkan sebuah ironi. Dengan menarik, ia tunjukkan munculnya kontradiksi-kontradiksi dalam diri para teroris, justru ketika mereka bercita-cita hendak menghancurkan segala kontradiksi yang ada di masyarakat.
Kini kita lihat lakon teroris merupakan hubungan yang merisaukan, atau mengerikan, antara pembunuhan dan keadilan, antara kebenaran dan kematian, antara politik dan ketakberhinggaan. Apa ini selaras yang dikobarkan oleh salah satu tokoh revolusi Prancis, Maximilian Robespierre, yang mengesahkan penggunaan teror untuk menghadapi musuh-musuh politik. Kata Robespierre, “Teror is nothing but justice, prompt, severe and inflexible.”
Dilihat di hari ini, teroris tak terasa gelap, bahkan terlampau jernih. Camus seperti tak mengenal kemungkinan bahwa keadilan bisa berarti dendam, dan dendam bisa berarti kebencian. Bagi para algojo yang mengumbar peluru, menggorok pakai pisau deretan korban, melempar diri bersama bom, lalu disiarkan selaksa parade teror yang amat giris. Tak dibutuhkan sentuhan yang mengimbau apa pun, kecuali Tuhan yang diubah jadi galak. Pembunuhan, tulis Camus, adalah “perkecualian yang tanpa harapan.”
Jejak Belia Kalap
Di negeri ini—mari kita longok sejenak—berkali-kali terjadi peristiwa teror yang ajibnya dilakukan para belia. Barusan berselang di Juli 2024 ini, remaja usia 19 tahun di Malang, Jawa Timur, ditangkap gegara bersiap untuk aksi teror. Hamzah, begitu namanya, telah mengumpulkan bahan baku pembuatan bom seperti ATP, aceton, gotri baja dan lainnya di rumahnya. Dia berencana melakukan amaliyat pemboman rumah ibadah di beberapa titik yang berbeda. Tamatan SMA ini belajar merakit bom secara daring dari ponselnya. Sebelumnya, Hamzah berbaiat dengan ISIS lewat daring. Beruntung, dia terendus dan diamankan Densus 88.
Pada 2022, seorang perempuan bernama Siti Elina diamankan petugas lantaran nekat menerobos istana negara. Selidik punya selidik, perempuan muda ini terpapar paham ekstrem. Ada lagi mahasiswi dari sebuah kampus di Jakarta, yaitu Zakiah Aini, dengan modal airsoftgun nekat masuk Mabes Polri dan menembakkan senjatanya hingga dia harus meregang nyawa ditembak di tempat.
Sebelumnya, Zefrizal Nanda, mahasiswa jenial dan berprestasi dari kampus ternama di Surabaya membuat heboh. Zefrizal pernah menjuarai olimpiade astronomi di Ukraina. Mahasiswa kedokteran ini lagi-lagi terpapar ISIS lewat daring. Pikiran kalapnya menyeret berangkat ke Suriah untuk ikut berperang dan bergabung dengan ISIS pada 2016. Maut menjemputnya dengan kedua kakinya putus terkena tembakan dan bom.
Buum, kepicikan, kenekatan dalam jelaga kekerasan telah dipertontonkan oleh gen Z dan milineal. Sederet keterjerumusan dan aksi teror remaja telah terbingkai dalam “kaledoskop” anak muda tersesat di jalan kebrutalan. Mari kita kembali melongok ke belakang. Kita awali dari aksi penembakan terhadap polisi Solo yang lalu memantik juga dilakukan teroris generasi baru. Remaja belasan tahun yang mencoba berafiliasi dengan jaringan teroris lama. Motifnya, balas dendam kepada kepolisian. Mereka kecewa karena banyak tokoh mereka yang ditangkap polisi.
Sungguh, remaja belia yang “mati rasa” memberondong tembakan terhadap polisi. Tak seperti Kaliyef dan juga Dora dalam novel Camus itu yang masih menyisakan gemetar hati dan cinta. Dora mengucapkan sesuatu dengan sentuhan itu, menandai kekerasan hidupnya juga menyembunyikan sesuatu yang merindukan yang universal. Sejenak ia ingin matahari bersinar, leher tak terus-menerus bersitegang, dan keangkuhan dilepas. Sejenak ia menduga itu “cinta”, katanya.
Namun Farhan Mujahid, 19 tahun, dan Mukhsin Sanny Permadi, 20 tahun, kedua belia eksekutor tanpa sesal dan penuh yakin melakukan amaliyah yang seolah perintahnya datang dari ‘langit’. Sebuah “kata magis” yang selalu dihantamkan adalah “thoghut”. Kata yang dipetik dari dalil naqli, namun dengan tafsir yang sangat cekak.
Sepintas merenda ‘sanad’ dari sosok belia misterius ini. Jaringan Farhan terkuak. Ada Bayu Setyono, remaja 16 tahun, adalah anggota kelompok Farhan Mukhsin. Peran Bayu bahkan diduga lebih signifikan dari Mukhsin karena beberapa kali langsung terjun ke lapangan sebagai eksekutor dalam penyerangan ke pos polisi. Selain sebagai salah satu eksekutor, Bayu juga berperan menyediakan pelat nomor palsu untuk sepeda motor yang digunakan dalam penyerangan.
Keterkaitan Farhan cs dengan kelompok-kelompok teroris yang ditangkap sebelumnya, seperti di Cirebon dan Aceh, hubungan mereka bersifat ‘’emosional’’. Farhan cs juga tidak bisa dikatakan sebagai jaringan baru karena memiliki hubungan secara emosional dengan para tokoh lama. Farhan bahkan bisa dibilang dibesarkan di lingkungan teroris. Farhan adalah anak kandung Suhartono, pria yang ikut merencanakan percobaan pembunuhan terhadap politikus Partai Kebangkitan Bangsa, Matori Abdul Djalil, pada 1999.
Suhartono tewas dihakimi massa. Kemudian ibu Farhan menikah lagi dengan seorang tokoh senior dalam dunia terorisme, yakni Abu Umar alias Indra Kusuma. Abu Umar adalah terdakwa penyelundupan senjata api dari Filipina Selatan ke Indonesia. Abu Umar ditangkap pada 2011, dengan tuduhan memasok senjata kepada kelompok yang menyerang pos Brimob di Ambon pada 2004. Dengan lingkungan seperti itu, wajar bila Farhan dikatakan memiliki hubungan emosional dengan para tokoh lama terorisme.
Status Farhan sebagai anak tiri Abu Umar si pemasok senjata dari Filipina Selatan itulah yang membuat kelompok Farhan cs dikatakan memiliki jaringan yang ‘mutawatir’ dengan para pemberontak Moro di Filipina. Meski demikian, juga tidak bisa dikatakan aksi teror Farhan cs adalah instruksi dari tokoh-tokoh lain yang lebih senior. Sebagai anak muda, Farhan cs tampaknya sangat ‘’rentan’ dipengaruhi pandangan para tokoh senior terorisme yang mereka kenal. Mereka ini masih ‘’ingusan” yang berpikiran pendek dan emosional.
Farhan, Mukhsin, dan Bayu bukan satu-satu kelompok remaja yang terjerumus pada aksi terorisme. Sederet “belia jihadis” bisa kita paparkan di sini. Salah satu poin dalam laporan International Crisis Group (2011) menyebutkan, betapa di Indonesia kian banyak teroris berusia muda. Yang tergolong “legendaris” barangkali adalah Dani Dwi Permana, 19 tahun, dan Nana Supriyatna, 18 tahun, yang melakukan aksi bom bunuh diri di Hotel JW Mariott pada 2009 yang menewaskan sembilan orang.
Ada cukup banyak lagi remaja bonek yang melakukan aksi teror. Di antaranya ada Arga Wiratama, 17 tahun, yang termuda dari kelompok Ightiyalat Klaten, Jawa Tengah. Dia ikut meletakkan bom di tujuh lokasi di Klaten pada 2011. Arga divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Klaten. Lalu, Joko Lelono, 18 tahun, bagian dari ke lompok Klaten, divonis tujuh tahun penjara. Yuda Anggoro, 19 tahun dan Nugroho Budi Santoso, 19 tahun, anggota kelompok Klaten. Keduanya dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara. Agung Jati Santoso, 21 tahun, bagian dari kelompok Klaten, divonis tujuh tahun penjara. Dan lagi, ada yang tak kalah dramatis, yaitu Aip Hidayat, 21 tahun, pelaku bom bunuh diri di Raja’s Restoran, Bali (Bom Bali II), pada 2005, yang menewaskan 23 orang.
Pada 2017, mumcul kabar ‘ngeri-ngeri sedap’. Seorang bocah berusia 12 tahun, Hatf Saiful Rasul, tewas dalam serangan udara di Suriah pada 1 September 2017. Kematian bocah ini menyorong memori lama pemberantasan terorisme di Indonesia. Mengapa? Ya, ini lantaran ayah Hatf adalah seorang narapidana kasus terorisme, yaitu Syaiful ‘Brekele’ Anam. Sosok satu ini dipidana karena terlibat dalam pemboman di Pasar Tentena Poso bersama Ardin Jannati dan Aat. Lalu dia ditempatkan di Nusakambangan. Di lapas ‘Alcatras’-nya Indonesia ini, Anam yang tadinya pendukung Jamaah Islamiyah (JI) beralih jadi penggila ISIS dengan hujjah saatnya tegakkan khilafah dengan berdirinya ISIS di Irak dan Suriah kala itu.
Ada pula Abu Walid, nama kunyah dari Mohammed Yusop Karim Faiz atau Saifuddin. Pemuda ini adalah alumnus Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo, dan berasal dari Klaten, Jawa Tengah. Abu Walid punya reputasi berdarah sebagai “jagal” yang sudah menyembelih banyak tawanan ISIS.
Seorang remaja di Banyumas beberapa waktu silam tiba-tiba menghunus pedang dan menyerang Mapolres setempat. Darahnya menyirap-nyirap setelah dia memelototi internet tentang ISIS. Seorang remaja lagi di Lamongan yang hanya berbekal ketapel merangsek markas polisi tempatan. Drama ‘serigala kesepian’ terus menayang membuncahkan kebringasan bocah.
Kisah tragis terjadi pula di Bima. Fajar, remaja yang tinggal di kampung Penatoi, dikenal sebagai ‘kampung ISIS’, menembak polisi. Lalu dia lari ke Poso bergabung dengan kombatan di sana. Umurnya tak panjang, dia harus meregang nyawa di rumahnya, digrebek Densus 88 saat pulang ke rumahnya. Tragisnya, kematiannya disaksikan langsung oleh ibu dan adiknya.
Tak lupa pula cerita para “pemimpi khilafah”. Remaja putri berusia 15 tahun terperangah saat berselancar di internet dan menemukan kata ‘khilafah’, belakangan penasarn lalu dibaca tuntas hingga terjadilah kecamuk pikir yang berujung terpikat. Di negeri ini kehidupan cewek gen Z ini terbilang mapan. Bapaknya adalah salah satu direktur di sebuah BUMN. Bapaknya luluh ketika anak kesayangnnya itu merengek untuk ikut hijrah. Berangkatlah beserta sekitar 19 keluarganya ke Suriah demi menuntaskan mimpi langit kekhalifahan model ISIS.
Saat bertemu saya, cewek ceria ini nyrocos soal perjalanan dia dan keluarga ke Suriah. Selama 18 bulanan menyeruakkan kisah pedih betapa impian dia dan keluarga untuk hijrah menuju negeri yang ‘Islami’ buyar seketika. Perlakuan ISIS sangat berpunggungan dengan ajaran Islam yang benar. Dia yang bersama anggota keluarganya yang sudah kadung terlunta ke Suriah beruntung berhasil pulang ke Indonesia. Kendati beberapa kali terkena tipu dari broker yang mengaku bisa membawanya ke Turki. Uang jutaan yang digenggamnya untuk bekal hijrah pun ludes sia-sia.
Kisah belia satu ini memang beda dengan para belia yang ‘langsung tuntas’ menjalani amaliyah terorisme. Belia yang berangkat bersama sanak saudaranya termasuk neneknya ini hanya mendamba kehidupan yang ‘Islami’ bertahtakan khilafah. Tak ada pikiran untuk menjadi ‘kombatan’ di Suriah. Dan lagi, sang belia ini sendiri tidak punya ‘nasab’ radikal. Apa yang dia reguk tentang khilafah yang kala itu masih saja hingga kini ‘booming’ hanya dia ambil dari ‘ta’bir’ (rujukan) media dan dunia maya. Ijungnya, tersihir dan dengan semangat membara mengajak keluarganya untuk hijrah.
Di usia yang masih ranum-ranumnya 15 tahun, remaja yang sebenarnya cerdas ini sudah memasuki dunia yang penuh darah. Brutalitas yang dipertontonkan ISIS jelas bukan dunianya. Keluarga yang terboyong berangkat ke Suriah ini seluruhnya sama-sama merasakan getir di sana. Salah satu keluarganya justeru kini dia sudah berlepas diri dari masa lalu pedihnya itu. Mereka ingin melupakan semua itu dan menapaki babak kehidupan baru yang lebih inovatif. Salah satu anggota keluarganya yang punya talenta dalam soal gambar menggambar membuat komik kini menjadi tumpuan untuk melepaskan ekspresi dirinya.
Kisah ‘negeri khilafah’ juga menambat hati Akhbar Muzakir, pemuda asal Bogor. Dia membaca kitab tentang ayat-ayat Akhir Zaman yang membuatnya bertekad ke negeri Syam. Rumahnyapun harus dilegonya untuk biaya hijrah. Namun, nasibnya hanya terlunta sampai Turki selama 9 bulan. Sepulang ke tanah air, dia harus pontang panting mencari nafkah dan dipilihlah ngojek.
Dalam Bayang Cemas
Tak pelak, hingga hari-hari ini di negeri kita makin meruyak kecemasan. Ekstremisme dengan gahar melempar jaring bujuk rayu. Para belia menjadi mangsa. Di usia belia yang sebenarnya momentum indah-indahnya menjalani hidup, menggenjot prestasi, sekolah, bergaul ala milenial dan memompa ketajaman nurani harus berhadapan dengan para “bohir” radikal. Rasanya tak ada yang kalis dari tarikan itu. Hampir semua “kasta” terbukti tersirap-sirap oleh paham yang menekuk ayat dalam lipatan yang menyempit. Banyak kalangan pun jadi tergopoh.
Kisah belia yang menjadi “lakon” di teater teror tak hanya dapat dihitung jari. Bagai gunung es, yang tampak di ujungnya sedang ternyata di bawahnya masih menyimpan gunduk-gunduk kegirisan. Ada yang sebagai kombatan dan ada yang simpatisan. Justru yang simpatisan ini yang menumpuk dan menunggu “giliran”. Betapa mencengangkan berbagai penelitian menunjukkan banyak remaja yang terpapar “virus” radikalisme. Akhirnya, kisah sukses remaja menjadi peneliti dan inovator seperti hilang tergerus oleh kisah remaja yang digulung oleh kemarahan. Atau kisah anak tukang becak di Kendal yang sukses menjadi doktor psikologi di Inggris tertelan oleh riuhnya anak muda yang meneriakkan yel-yel kegarangan.
Apatah kata, inilah teater yang sarat dramaturgi sedu sedan, beringas, keberanian, militansi buta, atau hilangnya nalar yang kini mewarnai panggung kehidupan bumi pertiwi. Mereka para belia yang seharusnya lebih memilih di medan prestasi terpaksa “memilih peran” di pusaran kekejian. Pilihan itu entah datang akibat dari ‘salah gaul’, ‘salah asuhan’ , ‘nalar terkikis’, atau tersuapi oleh ayat yang dikhotbahkan.
Para mentor, baik lewat daring maupun luring, terus melafalkan seraya mempersedap ayat-ayat kemarahan. Mereka mendaku paling benar, dan berkata lantang “ini ada dalilnya”. Saat inilah impian apokaliptik seolah tercapai. Namun, bagi para pelakon belia tatkala ‘teater’ selesai, sang pemain yang masih beruntung hidup mendadak siuman, bahwa apa yang dilakukannya ‘melangit’, sementara kakinya menginjak tanah. Namun ironis, hingga detik ini, di negeri kita masih saja ada yang memimpikan tegaknya khilafah. Dalam ruang demokrasi di negeri ini, mereka memanfaatkan untuk meluapkan ‘kesadaran palsunya’ itu bahkan terus mengkampanyekan bahwa khilafah sebagai solusi. Para pengkhobah terus berseliweran di medsos untuk memprovokasi demi menghimpun massa. Entah berapa lagi korban yang terpapar.
Hidup adalah “layar terkembang”, berjuang menggapai kebaikan yang membumi. Islam adalah ‘din al-hayat’, agama yang mengajarkan bahwa hidup ini indah, bukan ‘din al-maut’ yang mendorong untuk mati konyol. Dan peran orang tua pun kembali diteriaki, betapa pentingnya kehadiran mereka untuk memandu anaknya.
Bacaan terkait
Hijrah Muharam: Dari Radikalisasi ke Jihad Literasi