Kesannya sederhana. Sebatas tumpukan kertas terjilid rapi. Tapi isinya, boleh dibilang luxury, bahkan suite, kalau boleh disejajarkan dengan pembagian kelas angkutan umum.
Pengarangnya lebih lagi. Ulama kelas dunia. Guru peradaban. Penerus muallim kedua Abu Nashr al-Farabi. Dialah Abu ʿAli al-Husain bin Abdullah bin al-Ḥasan bin Ali bin Sina. Dunia menyebutnya Ibnu Sina (980-1037).
Kalau Anda bertanya, apa saja buku karangannya, maka jawabannya adalah banyak sekali. Ada yang mengupas kedokteran dan filsafat. Ada pula yang tentang cinta. Tapi jangan dibayangkan tentang cinta ini Ibnu Sina menulis romantisme dua kekasih yang sedang dimabuk cinta, semisal karya Shakespeare. Sama sekali bukan. Karya tentang cinta ini dikupas secara filosofis. Membicarakan tentang asal mula cinta yang oleh pemikir Barat disebut the very cause of existence.
Kemudian ada karyanya yang mengupas hakikat jiwa. Ibnu Sina menjelaskan seluk beluk psikis kaitannya dengan diri sendiri, lingkungan sekitar, dan akhirat kelak. Pembahasannya tentang jiwa yang sehat adalah kunci utama kesembuhan berbagai penyakit pada abad ke-11 jauh lebih dulu ada sebelum ditemukannya self healing oleh para psikolog Gestalt pada abad ke-20.
Penjelasan mengenai jiwa ini ada dalam karya Ibnu Sina berjudul Ahwalun Nafs: Risalah fin Nafs wa Baqaiha wa Maádiha dan Tsalats Rasail fin Nafs. Karya-karya tersebut diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menjadi Psikologi Islam: Rujukan Utama Ilmu Psikologi Dunia. Penerbitnya Turos Pustaka.
Misi Besar
Karya Ibnu Sina tersebut disunting oleh guru besar Filsafat Universitas Cairo Prof Ahmad Fuad al-Ahwani. Dia bercerita, naskah itu dia dapatkan dari India. Kemudian dia bandingkan naskah tersebut dengan naskah lain. Kemudian keterkaitan alur pemikiran yang ada di naskah tersebut dengan naskah Ibnu Sina lainnya. Hasilnya adalaah naskah-naskah tentang Jiwa karya Ibnu Sina yang kini sudah tersebar.
“Saya sangat yakin, naskah ini akan dibedah dan menjadi presentasi yang menarik dalam acara Mengenang Ibnu Sina,”tulis al-Ahwani.
Harapannya, kata dia, naskah ini menjadi simbol persaudaraan antara Arab dan Persia, sekaligus bentuk nyata keharmonisan dua negara yang masih memiliki ikatan darah, yaitu Mesir dan Iran.
Guru besar ini juga menjelaskan, naskah tentang Jiwa sudah pernah diterjemahkan ke Bahasa Persia. Kemudian sudah berkali-kali dicetak ulang dalam Bahasa Arab yang merupakan Bahasa asli naskah tersebut.
Ibnu Sina memang dikenal sebagai ulama yang menulis buku dalam Bahasa Persia, seperti karyanya yang berjudul Danish Namai Alai. Juga banyak karyanya yang berbahasa Arab.
Arab dan Persia
Hubungan antara dua kebudayaan itu fluktuatif. Tak selalu baik, tapi juga tidak selalu buruk. Persia memiliki gengsi sebagai peradaban tua, yang lebih dahulu berkembang sebelum Yunani kuno (abad ke-12 hingga 19 SM).
Sedangkan Arab yang berkembang setelah Islam masuk dan menjadi kekuatan mayoritas tumbuh sebagai kekuatan politik besar. Hal itu ditandai dengan kehadiran Rasulullah pada abad ketujuh masehi. Kemudian daulah Islam berkembang sampai abad ke-20.
Sejak Islam berkuasa, banyak cendekiawan menuangkan pemikirannya dalam Bahasa Arab. Namun, beberapa dari mereka yang berasal dari kawasan Persia menulis buku dalam Bahasa tersebut. Meski menguasai Bahasa Arab, mereka tetap menunjukkan budaya asal mereka, yaitu Persia.
Persia masa kini diwakili oleh Republik Islam Iran. Negara ini tidak memiliki hubungan yang baik-baik saja dengan Arab Saudi dan sekutunya.
Harapan Al-Ahwani di atas, bahwa melalui Ibnu Sina, hubungan persaudaraan Arab dan Persia terjalin dengan baik dan terus harmonis adalah cita-cita yang panjang. Pada masa naskah Ibnu Sina dia tahkik, yaitu 1952, Al-Ahwani mengungkapkan impian tersebut. Namun hingga kini, hubungan keduanya…semoga saja, bisa lebih baik lagi…semoga.