Beberapa waktu lalu Ikatan Alumni Universitas Islam Negeri (IKALUIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, memberikan lifetime achievement (penghargaan seumur hidup) kepada almarhum Prof. Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam acara IKALUIN Award 2024. Penghargaan itu diserahkan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas kepada istri Cak Nur, Omi Komariah Madjid, di Auditorium Harun Nasution, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 26 Mei 2024.
Secara khusus Menteri Yaqut Cholil Qoumas memberi apresiasi kepada Cak Nur sebagai salah satu tokoh alumni UIN Jakarta yang memiliki pengaruh besar di tingkat nasional. Tanpa kehadiran Cak Nur, ujarnya, cara pandang umat Islam Indonesia tidak akan seperti yang kita temui sekarang, yang sangat moderat, toleran, dan memahami perbedaan. Sejalan dengan Menteri Agama, para tokoh yang memberi testimoni di acara tersebut memberi penekanan agar UIN Jakarta dapat meneruskan gagasan Cak Nur seputar pemikiran Islam yang progresif, yang di masanya dulu dikenal dengan sebutan pembaharuan pemikiran Islam.
Mengenalkan Inklusivisme Islam dan Kebebasan Berpikir
Tidak syak lagi, Cak Nur memang pantas mendapatkan penghargaan semacam itu, untuk kontribusinya dalam mengenalkan watak inklusif dan rasionalisme Islam atau kebebasan berpikir. Boleh dibilang, dalam kurun waktu yang relatif panjang sejak dasawarsa 1970-an, Cak Nur tak henti-hentinya “membakar” panggung intelektualisme Islam dengan ide-ide yang menyulut pro-kontra. Dari mulai gagasan tentang sekularisasi, Islam yes-partai Islam no, pluralisme, Islam bukan nama satu agama, perlunya pemikiran yang liberal, dan sebagainya. Dengan gagasan-gagasannya tersebut ia harus menerima nasib sebagai “the most wanted man” di kalangan kaum Muslim.
Tapi kita tahu, para pendukung gagasan Nurcholish Madjid juga tidak sedikit. Tak kurang dari Akbar Tandjung, mantan Ketua Umum PB HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang juga Ketua Umum Partai Golkar menyebut bahwa Nurcholish Madjid sangat memengaruhi cara berpikir banyak generasi muda Islam. Slogannya yang terkenal “Islam yes, partai Islam no” telah membuat mereka menyebar ke berbagai partai non-Islam (waktu itu Partai Persatuan Pembangunan [PPP] dan Partai Demokrasi Indonesia [PDI]). Pada saat bersamaan, gagasan Nurcholish tentang inklusivisme dan pluraisme Islam telah mengubah pola pikir generasi muda Muslim yang semula terkungkung dalam dogmatisme dan formalisme Islam menjadi lebih terbuka dalam berinteraksi dengan gagasan dan komunitas di luar Islam.
Puncaknya terjadi pada saat pendirian Yayasan Paramadina pada 1996 oleh kolega Nurcholish di kalangan aktivis pergerakan Islam seperti Utomo Dananjaya, Usep Fatrhuddin, Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Fahmi Idris, dan lain-lain. Paramadina dibentuk sebagai wadah untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan pembaruan Islam Nurcholish Madjid. Lembaga ini secara rutin mengadakan kajian keislaman klasik dan kontemporer yang diikuti oleh para peserta kalangan terpelajar dan kelas menengah kota. Di sinilah mereka menemukan wajah Islam yang berbeda, yang mengedepankan keterbukaan, kebebasan berpikir, dan toleransi Islam.
Dalam kajian rutin bulanan yang diberi nama KKA (Klub Kajian Agama), Paramadina mengundang para pakar sebagai narasumber untuk menulis makalah serius seputar isu-isu yang sedang berkembang. Acara KKA ini diadakan di hotel-hotel bintang lima di Jakarta, dan biasanya dimulai dengan penampilan musik piano atau harpa, yang memberi cita rasa mewah pada diskusi keagamaan ini. Isu-isu yang dibahas dalam forum ini tak jarang menggelinding menjadi diskusi publik atau perdebatan, bahkan menjadi headline media massa.
Begitu kontroversialnya Paramadina dan ide-idenya sehingga pernah ada satu lembaga yang disiapkan sebagai tandingan Paramadina, yaitu Paramekah, yang diprakarsai oleh Endang Saefuddin Anshari. Untuk mewujudkan itu, Endang menggandeng Amien Rais, keduanya sama-sama merupakan penentang ide-ide sekularisasi Nurcholish pada 1970-an. Namun demikian, isu pendirian Paramekah ini tak terdengar lagi kabarnya.
Merawat Pikiran Cak Nur, Tidak Cukup
Nurcholish Madjid wafat pada 29 Agustus 2005. Namun gagasan-gagasannya terus dirawat oleh murid-murid intelektualnya, antara lain di Universitas Paramadina, Nurcholish Majid Society (NCMS), dan Caknurian Urban Sufism. Tentu tidak ada indikator yang pasti untuk mengukur sejauh mana pikiran-pikiran Nurcholish Madjid masih bergema atau berpengaruh hingga sekarang ini. Tapi apa yang disampaikan oleh Menteri Yaqut di atas rasanya cukup mewakili pandangan kita, bahwa berkat pikiran-pikiran Nurcholish Madjid cara pandang umat Islam Indonesia sekarang ini lebih moderat dan toleran dalam memahami perbedaan.
Atas dasar itu, banyak orang merasa perlu untuk terus merawat dan melanjutkan pikiran-pikiran Nurcholish tersebut. Namun penulis berpandangan bahwa itu saja tidak cukup. Secanggih apa pun pikiran Nurcholish, ia disiapkan untuk menjawab kebutuhan zamannya.
Di titik inilah penulis teringat kata-kata Utomo Dananjaya, salah satu aktivis pergerakan Islam yang juga kolega Nurcholish yang menjadi inisiator pendirian Paramadina. Dalam buku biografinya yang berjudul Mas Tom: The Living Bridge (2006), ia menyatakan bahwa generasi sekarang harus mampu memperluas dan menumbuhkan gairah untuk mencari. Jangan hanya mengulang-ulang kembali apa yang telah diselesaikan oleh Cak Nur. Tugas generasi pasca Cak Nur, ujarnya, ialah harus mampu menumbuhkan dan memupuk terus suasana liberal, yakni suasana di mana tidak ada lagi hambatan-hambatan psikologis untuk melakukan pencarian.
Pandangan Utomo itu menjadi titik masuk ke dalam wacana post-Caknurian. Wacana ini tidak sekadar melanjutkan pemikiran Nurcholish, melainkan juga membangun argumen baru di atasnya, memberinya konteks yang relevan, dan melakukan kritik terhadap asumsi-asumsinya yang sudah tidak lagi memadai.
Wacana Post-Caknurian
Di antara murid-murid intelektual Cak Nur ada orang-orang yang bukan hanya meneruskan pikiran-pikiran Cak Nur tapi juga mengembangkan, merevisi, dan melakukan “ijtihad” baru yang tidak dilakukan oleh Cak Nur. Mereka inilah generasi penerus yang dimaksud oleh Utomo, yang berusaha keluar dari “pusat wacana” Nurcholish Madjid. Mereka inilah para pemikir post-Caknurian.
Keperluan untuk keluar dari pusat wacana Nurcholish tersebut didorong oleh dua hal. Pertama, kesadaran bahwa zaman telah berubah, masyarakat berkembang, dan tantangan-tantangan baru telah muncul untuk dijawab dengan pikiran-pikiran baru. Kedua, kerangka pikir Nurcholish Madjid tidak bisa lagi digunakan untuk menjelaskan keadaan sekarang, sehingga perlu ada kerangka pikir baru.
Nah, saya melihat bahwa dalam dua dasawarsa terakhir ini terdapat beberapa pemikiran dan gerakan kaum muda Islam yang berada di titik yang berbeda dengan Nurcholish Madjid, kendati masih sejalan dalam spiritnya mengembangkan pemikiran keislaman yang progresif guna menjawab tantangan zaman. Mereka berada dalam tradisi intelektual Nurcholish Madjid. Mereka adalah murid-murid ideologis Nurcholish, baik langsung maupun tidak langsung.
Tradisi intelektual Nurcholish yang dimaksud di sini ialah tradisi pemikiran yang bertumpu pada agenda pembaruan Nurcholish menyangkut pembaruan teologi politik dan pembaruan keimanan. Karena itu mereka adalah Nurcholishian atau Caknurian–yang kemudian terdorong untuk mengembangkan dan melampaui pemikiran gurunya tersebut. Pemikiran dan gerakan itu tumbuh dan berkembang pada akhir dasawarsa 1990-an dan menampilkan dirinya lebih tegas pada awal 2000-an hingga sekarang.
Wacana post-Caknurian di internal Paramadina sudah muncul ketika lembaga ini menerbitkan buku Fikih Lintas Agama (FLA) pada 2003. Dikomandani oleh Mun’im A. Sirry (sekarang dosen studi Islam di Universitas Notre Dame, AS), buku ini ditulis bersama oleh Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar Rachman, Kautsar Azhari Noor, Masdar F. Mas’udi, Komaruddin Hidayat, dan Ahmad Gaus AF.
Buku ini mengangkat masalah-masalah yang selama ini dianggap sensitif seputar hubungan antaragama seperti nikah beda agama, pindah agama, hak waris orang tua yang beda agama, salam antaragama, dan dialog antaragama. Para penulis memeriksa kembali teks-teks keagamaan seputar isu-isu tersebut.
Kata editrornya, Mun’im Sirry, mengenai isi buku ini: “Semua yang diharamkan oleh ulama-ulama orthodox, kami halalkan.” Tentu ia berlebihan. Tapi semangatnya memang membongkar perkara-perkara yang sudah dianggap selesai selama ratusan tahun. Misalnya, mengucapkan Selamat Natal, mengharamkan non-Muslim masuk ke masjid, nikah beda agama, dan pindah agama. Semua itu perkara-perkara yang diharamkan. Nah, oleh buku ini dihalalkan. Argumennya ialah fikih kontekstual dan sejarah.
Penentangan terhadap buku itu keras sekali. Misalnya dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pimpinan Abu Bakar Baasyir yang mengancam akan memperkarakan buku itu secara hukum, tapi akhirnya berakhir dengan debat terbuka, tim FLA lawan MMI. Selesai debat MMI menerbitkan buku berjudul Kekafiran Berpikir Sekte Paramadina (2004).
Di semua forum di mana buku ini dibedah seperti di UIN Alauddin Makassar, UIN Medan, UIN Surabaya, menimbulkan pro-kontra yang sangat keras. Begitu juga di forum-forum bebas di luar kampus. Bahkan pernah serombongan ibu-ibu majelis taklim dari Depok, Bogor, datang ke Paramadina dan meminta agar buku itu ditarik dari peredaran karena isinya dianggap membahayakan akidah umat Islam. Kautsar Azhari Noor, Guru Besar UIN Jakarta, salah satu penulis buku ini menjelaskan bahwa buku FLA ini refleksi dari akidah yang inklusif sehingga melahirkan fikih yang inklusif. Kalau pandangan akidahnya eksklusif, ujar dia, maka orang akan menganut fikih yang eksklusif. Itulah yang banyak dipegang oleh para penentang buku ini.
Itu salah satu contoh bahwa pemikiran post-Caknurian itu sudah lahir bahkan ketika Cak Nur masih ada. Dan itu terjadi di internal Paramadina sendiri. Artinya mereka semua, para penulis buku itu, aktif di Paramadina dan murid-murid langsung dari Cak Nur. Dalam buku ini mereka lebih tegas sikapnya daripada Cak Nur dalam perkara hubungan antaragama.
Di luar Paramadian, salah satu gerakan post-Caknurian adalah Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dibentuk pada 2001. Para pendiri dan aktivis JIL seperti Ulil Abshar Abdalla, Luthfi Assyaukanie, Hamid Basyaib, Ihsan Ali-Fauzi, Akhmad Sahal, dll, merupakan murid-murid ideologis Nurcholish Madjid. Gagasan yang mereka kembangkan di JIL juga adalah melanjutkan gagasan-gagasan Cak Nur. Dan dalam beberapa aspek mereka melampaui Cak Nur, baik substansi pemikiran maupun model gerakan. Mereka bersifat jaringan, jadi terhubung dengan kampus, dengan komunitas-komunitas epistemik, dan dengan media massa, dengan adanya sindikasi. Dari segi gagasan juga banyak yang melampaui Cak Nur.
JIL didirikan untuk “memerangi” kelompok-kelompok Islam garis keras dengan cara-cara yang lebih artikulatif, tegas, dan frontal. Itu sebabnya, kelahiran JIL disambut dengan kemarahan oleh kelompok-kelompok garis keras. Keduanya bertemu dalam forum-forum panas. Hampir semua wacana yang diusung oleh kelompok Islam garis keras ditentang oleh JIL. Dan sebaliknya wacana-wacana yang digelindingkan oleh JIL juga dilawan oleh kelompok garis keras.
Puncak dari perlawanan kelompok garis keras ini adalah keluarnya Fatwa Hukuman Mati oleh Forum Ulama Umat (FUU) untuk Ulil Abshar Abdalla, tokoh JIL, pada 2002. Di belakang fatwa itu adalah tekanan dari berbagai ormas Islam garis keras yang gerah dengan isu-isu yang digulirkan oleh Ulil dan JIL.
Oleh kelompok-kelompok fundamentalis-radikal Ulil dianggap sebagai perusak Islam dari dalam dan karena itu merupakan ancaman nyata. Kantor JIL di daerah Utan Kayu, Jakarta Timur, pernah dikirimi paket bom dalam bentuk buku, yang ditujukan kepada Ulil. Tak terbilang tudingan antek Barat dan label sesat yang disematkan kepadanya. Ulil juga pernah dilarang masuk ke Malaysia oleh otoritas negeri jiran tersebut karena dianggap menganut paham Islam yang berbeda. Pada Agustus 2005, FPI menyerang markas JIL di Jalan Utan Kayu, Jakarta Timur.
Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa setelah Nurcholish Madjid ternyata masih ada “gema” dalam gerakan Islam di Indonesia, bahwa ternyata setelah Nurcholish masih ada pemikiran yang memicu kontroversi. Fenomena FLA dan JIL yang dikemukakan di atas hanya dua contoh. Tentu masih banyak contoh gerakan lain yang dapat disebut sebagai gerakan atau pemikiran post-Caknurian. Gerakan semacam ini saat ini lebih dibutuhkan daripada sekadar merawat atau melanjutkan pikiran-pikiran Cak Nur yang dicetuskan lebih dari setengah abad lalu.
Maksud saya, melanjutkan pikiran-pikiran Cak Nur itu tetap penting. Tetapi agenda yang mendesak sekarang ini ialah melanjutkan wacana post-Caknurian yang sudah pernah dilakukan oleh FLA dan JIL dan keduanya terbukti telah mendinamisasi wacana intelektual Islam di tanah air.