Platform Merdeka Mengajar (PMM) akan menjadi gerbong administratif untuk guru. Guru dipaksa membuat aksi nyata, umumnya melalui video atau kolase foto. Jika belum sesuai dengan yang diharapkan, muncul kalimat default dari PMM supaya diperbaiki. Oleh karena itu, saat ini semakin banyak guru yang menjadi kreator konten. Supaya video tersebut menarik, siswa harus ditata dan di-breafing terlebih dahulu. Walhasil, pembelajaran yang dipertontonkan melalui video yang, konon, juga disebut sebagai aksi nyata sesungguhnya hanya aksi palsu. Siswa dan guru tidak lagi belajar secara alami. Mereka bersandiwara untuk sebuah aksi nyata.
Mau tak mau, kita harus jujur bahwa setiap aksi nyata itu hanyalah aksi palsu. Sebab, semakin palsu semakin cepat divalidasi oleh PMM. Kadang saya jadi merenung: apakah pendidikan kita akan selalu menagih aksi palsu ini? Sampai kapan kita mengorbankan anak didik hanya untuk mendapatkan validasi dari PMM? Padahal, jangan-jangan, validator atau verifikator PMM hanya AI? Disebut mengorbankan karena hanya untuk satu video, guru harus mengambil beberapa kali. Guru juga harus mengedit video.
Bagaimana karena kelas itu dilabeli unggulan, maka setiap guru membuat kelas itu menjadi objek aksi nyata? Pelajaran pasti terganggu, bukan? Saya bukan tidak setuju pada Kurikulum Merdeka, termasuk PMM. Bagaimanapun, sistem pembelajaran harus merdeka dan fokus pada pengetahuan esensial yang dibutuhkan. Bila perlu, sesekali guru bisa membawa anak didik keluar dari sekolah untuk bereksplorasi, bahkan menampilkan minat bakatnya. Hal itu juga sudah saya terapkan di sekolah. Sesekali secara bergiliran, saya membawa siswa untuk tampil dalam pertunjukan. Mereka bahagia dan, konon, mengaku mentalnya semakin terasah.
Hanya Gimmick
Namun, jikalau guru dipaksa membuat aksi nyata melalui video, kita harus berpikir ulang. Mengapa kita tidak memerdekakan guru membuat aksi nyatanya? Katakan, misalnya, seorang guru meminta siswa membuat tulisan jurnalistik lalu dikirimkan ke media! Jika tulisan jurnalistik tentang pembelajaran itu diterima media, bukankah guru telah berhasil merangsang siswa sehingga tulisan siswa itu juga sudah menjadi aksi nyata? Aksi seperti itu jauh lebih nyata daripada sekadar briefing untuk membuat video, bukan? Entahlah! Secara praktik, saya melihat Kurikulum Merdeka justru terkekang. Tuntutan guru secara administratif pun bukannya berkurang.
Malah, PMM yang sudah diintegrasikan dengan E-kinerja membuat guru terkatung-katung lantaran perhitungan angka kredit (PAK) tak kunjung dikeluarkan badan kepegawaian daerah. Kalau begitu, di mana letak kemerdekaannya? Hal lain yang juga urgen untuk dikritisi adalah tentang menulis. PMM agaknya tidak sepakat dengan guru aktif menulis. Hal ini dapat diketahui karena aktivitas menulis tidak terlihat dalam rencana hasil kerja (RHK) ala PMM. Menjadi sesuatu yang sangat paradoks karena kita selalu mendengungkan semangat literasi.
Namun, dengungan gerakan literasi ini agaknya hanya gimmick. Tak ada keseriusan dari pemerintah untuk mendenyutkan gerakan literasi, terutama di sekolah. Oleh karena itu, kita selalu melihat prestasi jelek di bidang literasi. Hasil studi PISA secara periodik selalu mengonfirmasi gerakan gimmick literasi kita. Jadi, jangan heran, jangankan guru umum, guru bahasa saja belum tentu literat. Menurut penelitian Anita Lie (Kompas, 5/03/2019), hampir separuh sampel guru bahasa Indonesia tak bisa menulis 3 paragraf esai. Bahkan, masih ada guru yang tak mengerti apa itu “paragraf”. Semangat guru untuk membaca pun juga sangat rendah.
Dalam hal inilah kita harus memahami mengapa berita bohong dengan gampang merasuk dan merusak moral kita. Dalam konteks ini juga kita memahami bagaimana minat baca siswa menjadi sangat rendah. Guru kencing berdiri, siswa kencing berlari. Guru tak pernah membaca, apalagi siswa. Sebagai akibatnya, siwa SMA kita membaca nol judul buku setiap tahunnya. Kita jauh berbeda dengan siswa-siswa sederajat dari negara-negara maju: Jerman (32), Belanda (30), Rusia (12), dan Jepang (15), bahkan dengan negara tetangga (Kompas, 10 Agustus 2021).
Nah, karena dalam Kurikulum Merdeka (KM) guru seperti dipaksa menjadi kreator konten dan dilarang untuk menulis, maka sangat besar kemungkinan prestasi literasi kita pun akan anjlok. Memang, di sisi lain, kita harus berefleksi pada paparan Kemendikbud bahwa KM sangat efektif untuk melajukan kemampuan literasi. Konon, jika dibandingkan dengan K-13, KM unggul telak dari segi pencapaian literasi dan numerasi. Untuk SMA, melalui K-13, poin capaian literasi hanya 3,15. Sementara itu, perolehan KM selalu meningkat dari tahun ke tahun. Kemendikbud berkesimpulan bahwa kian tahun, hasilnya juga membaik: 6,08 implementasi 1 tahun, 8,21 (2 tahun), dan 9,2 (3 tahun).
Panas Telinga
Namun, semua data ini perlu dikritisi lebih mendalam. Jangan-jangan data itu hanya klaim sepihak sebagaimana kita pernah merayakan ramai-ramai hasil PISA 2022. Kita bahagia karena rerata penurunan global (18 poin) lebih tinggi daripada Indonesia (12 poin). Penurunan 12 poin ini dibaca sebagai kemajuan Indonesia. Padahal, jika berpikir kritis sesuai dengan salah satu karakter Profil Pelajar Pancasila, kita mesti tertegun. Ini ibarat sebuah nasihat A.S. Laksana bahwa kadang kita tak bisa menangis lagi karena kesedihan sudah semakin memuncak.
Dalam hal inilah kita memahami kritik tajam dari Iwan Pranoto. Karena pandemi, skor negara lain turun. Sementara itu, karena selama ini sudah rendah di bawah global, kita tak bisa turun lebih rendah lagi (Kompas, 6 Desember 2023). Artinya, alih-alih bahagia karena naik peringkat, kita harusnya justru merenung betapa selama ini kita sudah terpuruk dan terburuk. Khusus untuk literasi, kita harus tertegun mengapa sejak pertama mengikuti PISA hingga pada tahun 2022, skor kita justru menurun meski diberi slogan Gerakan Literasi Nasional?
Saya punya keyakinan bahwa tulisan ini akan membuat panas telinga Kemendikbud, juga para guru konten kreator. Toh, apa salahnya guru membuat konten dan membuat video by design untuk membuat best practice atau aksi nyata. Tidak ada masalah, meski dengan pikiran kritis kita bisa membuat hipotesis bahwa semakin palsu, semakin nyata video itu untuk jadi pemenang. Hanya saja, sejauh mana kita akan serius membenahi persoalan mendasar pendidikan kita? Apakah kita berhenti hanya dengan membenturkan guru kreator konten dengan guru lainnya? Saya katakan demikian karena saya saat ini curiga: guru kreator konten jadi pendengung KM. Maaf!
Bacaan terkait
Jadi Apa Siswa Kita Setelah Lulus?
Hijrah Muharam: Dari Radikalisasi ke Jihad Literasi
Menyelami Keberhasilan Sistem Pendidikan Terbaik di Dunia
Kitab Kuning dan Jalan Moderasi
Guru Aini: Kisah Kocak Penjuangan Guru di Daerah Terpencil Mencerdaskan Dunia
Good