Terus-terang, daripada para da’i, saya lebih suka mendengarkan orang-orang non-Muslim—entah itu kalangan penghayat, Buddha, Katolik, dan lainnya—berbicara tentang nilai-nilai universal yang berangkat dari agama yang dipeluknya. Bukan saya cukup islami atau benar-benar paham tentang ajaran-ajaran Islam. Namun, persoalannya, bagi saya, cukuplah sederhana: iman bukanlah serupa perempuan bagi seorang playboy.
Tentu, orang perlu menengok pada karakteristik iman yang, konon, cukup beragam—sebagaimana kedirian yang, konon, juga berjenjang. Pada kasus ini, kebudayaan Jawa menyuguhkan istilah yang sepadan dengan istilah iman, “kapitayan,” yang secara mendasar celakanya sama sekali tak ada kaitannya dengan keyakinan ataupun kepercayaan.
Istilah “kapitayan” berakarkan kata “Taya,” yang bermakna tunggal ataupun tan kena kinaya apa yang jelas tepat menukik pada karakteristik Tuhan sebagai yang tak terbayangkan. Dan dari istilah Taya itu pun istilah kapitayan berkembang menjadi kepercayaan. Maka, ketika orang paham akan iman, sebagaimana yang dibawakan oleh kapitayan, tentu tak bakal ada yang dinamakan fenomena “konversi iman” sebagaimana yang dikhawatirkan ketika orang mendengarkan ceramah atau pembahasan ajaran agama yang lain.
Namun, kenapa ketika iman yang pada dasarnya tak mungkin terkonversikan, orang banyak melihat fenomena konversi iman, perpindahan dari satu agama ke agama yang lainnya, yang konon disebabkan oleh keterpesonaan pada sistem iman yang lain?
Dengan merunut pada istilah kapitayan, yang terjadi pada dasarnya bukanlah konversi iman, namun perubahan perspektif akan suatu kenyataan yang satu. Sebab, bagaimana mungkin ketika istilah iman yang sepadan dengan istilah kapitayan, yang mendasarkan diri pada istilah Taya, atau tan kena kinaya apa, menjadi berubah, berpindah? Bukankah, seumpamanya dalam agama Islam, hidayah itu adalah urusan Tuhan, yang senada dengan ungkapan bahwa iman adalah bagian dari Tuhan, sebagaimana kapitayan dengan Taya?
Dengan demikian, dakwah yang, konon, memiliki agenda utama untuk mengkonversikan iman, jelaslah bertentangan dengan hakikat iman itu sendiri yang, karena erat kaitannya dengan Yang Maha Tunggal, tak mungkin terkonversikan.
Di sinilah kemudian orang sampai pada dasar dari ajaran yang tersarikan pada Konsili Vatikan II (Katolik) dan rahmat bagi semesta alam (Islam). Bukankah kemudian sia-sia saja ketika fenomena konversi iman dihadapkan pada kenyataan bahwa terdapat keselamatan di luar gereja ataupun bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta alam, ketika perubahan perspektif akan kenyataan yang tunggal diartikan sebagai konversi iman?
Atas dasar itulah Indonesia mencantumkan sesanti “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai prinsip bermasyarakat dan bernegara, yang sebenarnya adalah penegasan belaka tentang kenyataan yang tunggal, namun memiliki perspektif yang beragam. Dan bukankah sesanti “Bhinneka Tunggal Ika”, konon, memang dilatarbelakangi oleh perbedaan agama di masa Majapahit, yang secara historis membuktikan bahwa Indonesia tak pernah mengaitkan iman dengan agama ataupun media-media yang membuat orang dapat beriman?
Bacaan terkait
Moh. Yamin dan Sumpah Kawula Muda