PENGARUH AL-GHAZALI DALAM TASAWUF
Pengaruh Al-Ghazali sangat jelas pada setiap bidang ilmu yang ia tekuni, seperti ilmu fikih, usul, dan ilmu kalam. Pengaruhnya sangat besar dalam menyanggah filsafat dan membuka kedok Batiniyah.
Namun, pengaruhnya dalam tasawuf melebihi setiap pengaruhnya di bidang lain. Pada bagian ini kami akan perlihatkan sebagian pengaruh besar itu.
Mengoreksi Pergerakan
Kita telah melihat bagaimana Al-Ghazali menjadi seorang filsuf, kemudian ia mengungkap kekurangan-kekurangan filsafat dan menyangkalnya. Akan tetapi, ketika ia mendalami tasawuf, tujuannya bukan lagi untuk menghancurkan tasawuf, sekalipun tasawuf telah disusupi tipu daya dan dusta, digelantungi ceritacerita khurafat dan khayalan, serta dijadikan kedok oleh para penumpang gelap dan propagandis.
Sikap Al-Ghazali demikian karena beliau telah mengenali tasawuf dari sumber-sumbernya yang bersih, seperti dari Junaid, Al-Harits Al-Muhasibi, dan rekan-rekannya. Oleh sebab itu, ia memandang tampilan luar berbagai perilaku sufi itu tak lebih dari penyimpangan-penyimpangan ataupun penodaan pada tasawuf yang telah ia kenal.
Untuk itu Al-Ghazali tidak tinggal diam atas Penodaan itu. Ia mulai menerangkan dan menjelaskan tasawuf. Ia menjauhkan tasawuf dari apa pun yang bukan tasawuf agar tasawuf kembali bersinar dan suci Sebagaimana yang telah ia pelajari dan dalami.
Kritiknya pada tasawuf adalah kritik yang membangun. Tujuannya adalah mengoreksi yang salah dan menghapus penyimpangan.
Ketika melakukan kritik, Al-Ghazali sendiri adalah salah seorang guru sufi yang mengamalkan dan mengalami hidup dalam tasawuf, sehingga kritiknya terhadap ilmu ini maupun makrifat tidak dicurigai oleh para sufi. Karena itu Al-Ghazali berkata, “Ia pun mendapatkan murid-murid yang mau mendengar dan menyimaknya, bahkan mendapatkan orang-orang yang membenarkan pandangan dan bimbingan dirinya dan mempraktikkannya.”
Oleh sebab itu, kritik Al-Ghazali sangat berlainan dengan kritik para kritikus lainnya yang sering hanya timbul karena sikap reaktif, atau karena ketidaktahuan pada topik-topik pokok tasawuf. Para kritikus demikian sama sekali tidak mendapatkan orang-orang yang mau memasang telinga untuk mereka (tidak mau mendengarkan mereka).
Al-Ghazali mampu memperbaiki jalan tasawuf. Disebutkan bahwa ia mampu menetapkan rambvrambu untuk jalan tasawuf, dan ukuran-ukuran untuk membongkar kepalsuan dan menunjukkan kesalahan. Suatu hal yang menopang perbaikan tasawuf dan memudahkan jalannya.
Pada bagian terdahulu telah kami jelaskan tentang sikap Al-Ghazali dalam kritiknya terhadap tasawuf. Pada paragraf-paragraf berikut kami tunjukkan apa yang menurut Al-Ghazali wajib dan niscaya bagi penempuhan jalan tasawuf.
Penekanan pada Ilmu
Al-Ghazali menyelidiki sufisme pada masanya dengan cermat. Ia menemukan bahwa penyebab penyimpangan para sufi adalah kebodohan dan jauh dari ilmu, serta kesibukan dengan mujahadah sebelum menguasai ilmunya.
Karena itu, Al-Ghazali sangat mengimbau setiap orang yang ingin menempuh jalan tasawuf hendaknya memulai dengan ilmu, sebelum sibuk bermujahadah. Cara mendahulukan ilmu inilah yang menjamin tidak adanya penyimpangan, sebab siapa yang memulai dengan ilmu akan memiliki takaran untuk mengukur perjalanannya. Takaran itu tak lain adalah Al-Quran dan Sunnah.
Al-Ghazali meriwayatkan dari Junaid peristiwa berikut yang menguatkan pendapatnya. Junaid rahimahullah mengatakan, “Guruku, As-Sirri, pada suatu hari berkata kepadaku, “Jika engkau pergi dari sisiku, lalu pada siapa engkau berguru?” Jawabku, “Al-Muhasibi” Ia pun berkata, ‘Ya, timbalah ilmu dan adabnya. Jauhkan dari dirimu pembicaraan dan penjelasannya tentang ilmu kalam. Kembalikan ilmu kalam itu pada para ahli kalam’. Kemudian ketika aku hendak pergi, aku mendengar As-Sirri berkata, ‘Semoga Allah menjadikanmu penguasa hadis yang sufi, dan tidak menjadikanmu seorang sufi yang menguasai hadis.’ Dengan Ucapan ini ia mengisyaratkan bahwa orang yang mendapatkan hadis dan ilmu, lalu menjadi sufi, beruntunglah ia. Siapa pun yang menjadi sufi sebelum berilmu, berarti ia membahayakan dirinya.”
Orang yang memulai dengan ilmu terlebih dahulu, di tangannya ada timbangan yang benar. Namun, jika ia memulai dengan tasawuf, maka ajaran-ajaran (paham) tasawuflah yang akan menjadi dasar tolok ukur untuk menakar (menentukan arti) nash AlQuran dan sunnah. Dan dari sinilah dimulainya kesalahan. Inilah yang diperingatkan oleh As-Sirri As-Saqathi sejak dini.
Sebagai penekanan dan anjuran_ kuat dari Al-Ghazali atas jalan mendahulukan ilmu, kita pun lihat bahwa Al-Ghazali memulai susunan kitabnya Ihya Ulumiddin dengan bab ilmu, lalu fikih ibadah, fikih muamalah, dan setelah itu baru beralih ke pembicaraan tentang pengobatan hati.
Kitab Ihya disusun Al-Ghazali untuk para penempuh jalan tasawuf. Dari sini jelaslah bahwa ia sangat mengingkari mujahadah dan riadah (perjuangan meJawan nafsu dan latihan ruhani) yang tidak didahului ilmu, sebab hal ini akan menimbulkan penyimpangan.
Al-Ghazali berpendapat bahwa pandangan seorang yang berilmu lebih teliti dan lebih benar ketimbang pandangan seorang sufi. Marilah kita simak pendapatnya tentang hal ini, “Perbedaan seorang yang berilmu dan seorang sufi dari sisi ilmu lahir terletak pada
kenyataan bahwa seorang sufi hanya berbicara tentang keadaan (ruhani)-nya. Karenanya, tak heran jika jawaban-jawaban mereka sangat berlainan satu sama lain berkaitan dengan berbagai permasalahan. Sedangkan seorang yang berilmu adalah orang yang mengungkap (memahami) kebenaran berdasar keilmuan yang dikuasainya, dan ia tak pernah melirik pada kondisi dirinya, sehingga ia pun mampu mengungkap kebenaran. Kebenaran merupakan hal yang tak diperselisihkan, sebab kebenaran selamanya satu dan sama. “Maksudnya, jika seratus penempuh jalan tasawuf ditanya maka akan diperoleh seratus jawaban yang berbeda dari masing-masing mereka. Jarang sekali ada dua orang yang memiliki jawaban yang sama. Cahaya imu jika bersinar, akan melingkupi segalanya dan membukakan penutup, serta menghilangkan perbedaan.”
Dengan alat ukur ilmu inilah Al-Ghazali menempatkan tasawuf pada prinsip jalan yang benar.
Fikih dan Tasawuf
Perselisihan dan pertentangan terjadi antara kalangan ahli fikih dan para sufi—semenjak bermulanya pehyimpangan dalam tasawuf—ketika kebodohan menyusup ke dalam barisannya.
Sebelumnya seluruh kaum muslim berada dalam keharmonisan saat mereka kembali pada Al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi, setelah istilah fikih berubah arti menjadi spesialisasi sebatas cabang-cabang fatwa (hukum) saja, yang menjauhkan diri dari pembahasan tentang penyakit jiwa, maka tentunya spesialisasi inj melahirkan wajah lain, yaitu) sebagian manusia berpaling dari pembahasan tentang penyakit jiwa. Sejak itulah timbul kelompok lain yang dikenal sebagai sufi.
Kemudian masing-masing kelompok terlalu melebih-lebihkan jalannya. Kalangan ahli fikih berlebihan dalam amalan lahir, kalangan sufi berlebihan dalam amalan batin. Sehingga masing-masing berpandangan kelompok lain telah menyimpang dari agama.
Hal tersebut mengakibatkan berpalingnya sebagian sufi dari jalan ilmu, dengan argumen bahwa Nabi pun adalah seorang yang buta huruf. Inilah argumen yang menjatuhkan, yang timbul akibat penyimpangan besar dalam akidah.
Al-Ghazali pun tampil dan sering menegaskan bahwa jalan tasawuf hanya tercapai dengan metode jlmu. Seorang sufi tiada lain adalah seorang yang berilmu, yang menindaklanjuti ilmunya dengan mujahadah dan riadah. Jadi, seorang sufi pada dasarnya sama dengan seorang berilmu, hanya saja seorang sufi menambahkan ilmunya dengan perjuangan mengamalkan ilmunya dengan memperbaiki diri dan mengendalikan nafsu.
Dengan pengertian ini, Al-Ghazali merekatkan kembali perpecahan antara fikih dan tasawuf. Yaitu dengan memandang bahwa fikih maupun tasawuf pada dasarnya merupakan satu hal yang sama, yaitu ilmu. Hanya jalan sufi terbentang lebih panjang daripada jalan ahli fikih. Pada tahap pertama perjalanan, sufi dan ahli fikih sama-sama berjalan di jalan yang sama. Hanya saja ahli fikih berhenti di salah satu stasiun dari jalan itu, sedangkan sufi terus melanjutkan perjalanan.
Dengan pandangan ini maka sukseslah Al-Ghazali. la punya keunggulan luar biasa dalam menghilangkan permusuhan antara ahli fikih dan sufi.
Hal ini berpengaruh besar terhadap kehidupan kaum muslimin, sehingga penulis Dzahru Al-Islam Mmengatakan, “Pendek kata, jelaslah bagiku bahwa Islam pada masa-masa setelah Al-Ghazali amat terpengaruh oleh ajaran-ajaran dan buku-bukunya.”
Kekeliruan Berpaling dari Dunia
Zuhud merupakan prinsip besar di antara prinsipprinsip tasawuf. Zuhud melahirkan sikap berpaling dari dunia. Zuhud merupakan jalan yang ditempuh para sufi dengan jalan mujahadah atau melawan nafsu. Ia seumpama fase pertama dari perjalanan para sufi.
Akan tetapi, sebagian sufi berlebih-lebihan dalan sikap zuhud. Bahkan menurut ungkapan Al-Ghazak, “Setan telah menyesatkan mereka untuk berpaling dary dunia.” Al-Ghazali memberi kita perumpamaan berpaling dari dunia dan menjelaskan kesalahannya, Kemudian Al-Ghazali menjelaskan sikap yang benar dalam menempuh zuhud dengan berkata, “Orang yang selamat dari dunia hanyalah satu kelompok. Yakni orang-orang yang menempuh jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Saw beserta para sahabatnya, yaitu tidak meninggalkan seluruh dunia dan tidak mengekang seluruh syahwat. Adapun dunia, mereka mengambil (menggunakan) sebagian dari dunia itu sebatas bekal (perjalanan akhirat). Sedangkan syahwat, mereka mengekang semua syahwat yang menyimpang dari ketaatan pada syariat dan akal. Mereka tidak mengumbar seluruh syahwat tapi tidak pula meninggalkan seluruhnya. Yang mereka tempuh adalah jalan keseimbangan.
“Mereka tidak meninggalkan seluruh dunia, tapi tidak juga memburu segala apa pun dari dunia. Mereka mengetahui pasti tujuan penciptaan segala ciptaan di dunia ini, karena itu mereka menjaga segala ciptaan sesuai dengan batasan tujuannya.
“Sehingga ketika hati kosong dari kesibukan urusan fisik, mereka pun akan menghadap Allah dengan kesungguhan sejatinya; sibuk berzikir dan tafakur sepanjang usia.
“Mereka tetap istikamah menguasai dan mengawasi syahwat sehingga mereka tidak melanggar batasbatas warak dan ketakwaan. Mereka mengetahui semua ini tak lain berkat meneladani kelompok yang selamat. Itulah para Sahabat.
“Para Sahabat telah menempuh jalan bersahaja dan jelas. Mereka tidaklah mengambil dunia untuk (kesenangan) dunia, tetapi untuk agama. Mereka tidak bersikap seperti rahib yang menakuti dan meninggalkan seluruh dunia. Dalam perkara apa pun, mereka tidak mengurangi secara berlebihan (tafrith) tidak pula menambah-nambahi secara berlebihan (ifhrath). Namun, selalu imbang dan tengah-tengah.
“Itulah keadilan dan jalan tengah di antara dua sisi ekstrem. Yaitu perkara yang paling dicintai oleh Allah. Wallahu a’lam.”
Dengan pandangan yang meyakinkan ini, serta argumen-argumen yang jelas, Al-Ghazali mampu menjelaskan jalan (sikap) yang benar tentang masalah zuhud yang telah dan akan selalu menjadi salah penyebab penyimpangan para sufi.
Penasaran dengan kelanjutan kisah hidup dan pemikiran Imam Al Ghazali? Tenang, Kamu bisa mendapatkannya di Jakarta Book Review Store. Untuk pembelian bisa klik di sini.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.