Sayid Ahmad Zaini Dahlan tak ingin memulai tulisannya dengan basa-basi. Memang tidak didesain sebagai kajian independen, narasinya langsung menukik keras: Menolak Wahabi. Di buku terjemahan bahasa Indonesia dari judul asli “Ad-durar as-saniyyah fi ar-radd ala al-wahabiyyah” ini, berbagai fakta dan argumentasi digelar demi mengungkap jati diri Wahabiyah, aliran resmi negara Arab Saudi.
Wahabi, dalam buku ini, digambarkan sebagai kelompok antagonis yang menyebarkan dakwahnya dengan kekerasan. Relasinya dengan golongan lain dalam panji-panji Rasulullah saw diwarnai banyak rasa sakit dan luka. Sebenarnya Wahabi adalah puritanisme Islam yang mengusung pemurnian agama. Gagasan utamanya mengembalikan Islam ke bentuk awal ketika diperkenalkan Rasulullah saw, tanpa kontaminasi bid’ah, khurafat, dan berbagai macam penyimpangan akidah.
Istilah Wahabiyah sendiri sebenarnya hanya sebutan tidak resmi. Istilah itu awalnya dipakai oleh cendekiawan dan penguasa Turki Usmani untuk mengidentifikasi penganut Muhammad bin Abdul Wahab. Penggunaannya muncul dalam kajian teologi, pemerintahan, geopolitik, hingga percakapan formal maupun informal. Walau mengaku dicetuskan Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792), kelompok ini tak mau disebut penganut faham ulama asal Uyainah, Najd itu.
Kalau harus disebut dengan pendekatan ideologi, mereka lebih nyaman dilabeli Muhammadinisme atau Muhammadiyah, karena yang diusung sebenarnya adalah doktrin asli Nabi Muhammad saw secara murni dan konsekuen. Sedangkan untuk mengidentifikasi warna ideologinya, mereka menyebut diri salafi atau salafiyah, yang diambil dari kata salafus shalih (para pendahulu yang saleh). Dalam rivalitas dan benturan ideologi yang keras, di Indonesia secara sarkastik muncul sebutan wahaboy atau kadrun yang bernuansa sinisme.
Menurut Sayid Ahmad Zaini Dahlan (1811-1886 M) dalam buku ini, Wahabi hadir sebagai sebuah entitas baru dalam khazanah keislaman pada tahun 1729 M, di kawasan timur Arab Saudi. Dengan mengusung gaya revolusioner, wahabi cepat dikenal dan pengaruhnya melaju sangat kencang. Dalam delapan tahun sejak memproklamirkan diri, pengaruhnya menguat drastis hingga bercokol strategis di Najd pada 1737.
Dari gerakan keagamaan murni, wahabi berkoalisi dengan penguasa politik lokal, yaitu Emirat Dir’iyyah yang dipimpin Muhammad bin Saud, –di kemudian hari dikenal sebagai pendiri kerajaan Saudi Arabia (hal 6). Aliansi ini sangat menguntungkan Muhammad bin Abdul Wahab. Bersama Saud, orang alim dari Bani Tamim ini terus memperluas pengaruhnya. Keduanya memanfaatkan kelemahan Turki Usmani yang saat itu sudah keropos dari dalam. Kampung demi kampung, qabilah demi qabilah, tokoh demi tokoh berbondong-bondong bergabung dengan Wahabi.
Pada kurun waktu tersebut, Arab Saudi yang Islamnya Ahlussunnah wal-Jamaah (sunni), dengan cepat berubah menjadi salafisme wahabiyah. Suku-suku pedalaman dengan mudah masuk gerbong Wahabi karena kesuksesan kampanye yang digelar. Sebagai gerakan purifikasi Islam, Wahabi hanya minta syarat sederhana bagi penganutnya, yaitu bersyahadat dan meninggalkan maksiat.
Penyebaran Wahabisme dan moncernya kekuasaan Ibnu Sa’ud berjalan beriringan dan bekerja secara mutualistik. Dengan dukungan publik yang terus menggunung, Emirat Dir’iyyah tak ragu menjadikan wahabisme sebagai aliran resmi negara. Maka dari itu posisi wahabisme semakin menguat hingga berani menentang kedaulatan Turki Usmani. Secara terang-terangan Muhammad bin Abdul Wahab menuding penguasa Turki Usmani telah kafir, karena tidak menegakkan hukum Islam, membiarkan bid’ah, khurafat, dan segala mistisisme yang merusah akidah.
Meski wilayahnya terus meluas tetapi Wahabi masih sulit diterima di Mekah dan Madinah. Padahal tanpa berkuasa di haramain, aliran Islam apapun bukanlah apa-apa. Pada saat itu para ulama besar terpusat di haramain, dan mereka mewaspadai Wahabi sebagai kelompok agresif yang mukaffarat (suka mengkafirkan).
Konflik Wahabi dengan penguasa Mekah terjadi beberapa kali. Pada masa kepemimpinan Syarif Mas’ud di haramain sekitar tahun 1733, Wahabi minta izin masuk sebagai jamaah haji. Tetapi ternyata mereka membawa 30 ulama yang mengemban misi wahabisasi. Hal ini memicu konfrontasi dengan penguasa Mekah, dan jemaah Wahabi banyak ditangkap. Yang tidak dijebloskan ke penjara memilih kabur pulang ke Dir’iyyah. (hal 11)
Sejak saat itu ketegangan terus terjadi. Puncaknya pada masa kepemimpinan Syarif Ghalib, Mekah dikepung dari segala penjuru oleh tentara Emirat Dir’iyyah yang membawa wahabisme. Mereka makin pede setelah menaklukkan sebagian besar jazirah Arab, meliputi Masyriq, al-Ahsa, Bahrain, Oman, Muscat, Baghdad, Basrah, Harar, Khuyuf Zawatu Nahl, Harbiyya, Fara dan Juhainah. Dalam sebuah revolusi fisik yang memakan banyak korban jiwa, kota Mekah dan Medinah jatuh ke tangan wahabi pada tahun 1805. Ini melengkapi kejatuhan kota-kota suci Arab Saudi, karena tiga tahun sebelumnya Tha’if sudah direbut. (h 13)
Dalam penaklukan jazirah Arab, lebih dari 400 ribu jiwa melayang di ujung pedang tentara wahabi. Mereka memandang dan memperlakukan kaum muslimin layaknya kafir harbi. Ada yang dibunuh dan dieksekusi di depan publik, termasuk anak-anak dan wanita. Ulama yang mereka sebut kafir adalah salah satu target pemberangusan Wahabi, seperti Syaikh Abdullah Zawawi yang disembelih di Hijaz.
Takfir dan Bid’ah Wahabi
Penulis buku ini, Sayid Ahmad Zaini Dahlan, adalah mufti agung Mekah yang hidup pada masa revolusi Wahabi. Sebagai pemuka sunni syafi’iyah dan teolog Asy’ariyah, ia tentu saja menjadi salah satu target utama penyingkiran. Sangat beralasan, mengapa tulisannya tentang Wahabi ini mencerminkan resistensi yang kuat bahkan cenderung emosional. Mungkin karena hal ini, narasinya banyak yang kurang referensial dan secara teknis cara bertuturnya mengandung subyektifitas tinggi.
Menurut Sayid Zaini, Wahabi tidak mengusung pemurnian Islam, melainkan desepsi. Cara pandang Wahabi terhadap muslim lain di luar kelompoknya sama dengan terhadap kafir. “Seorang muslim yang bergabung dengan Wahabi harus bersyahadat lagi, dengan mengakui bahwa kehidupan sebelumnya dipenuhi kekafiran, dan orang tua mereka mati dalam keadaan kafir. Para “muallaf” itu juga dipaksa menyebut nama-nama ulama si fulan da si fulan kafir. Semua yang berlangsung selama 600 tahun ke belakang dari revolusi Wahabi adalah kafir”. (h 16)
Wahabi juga membid’ahkan banyak hal, termasuk aneka macam selawat nabi, penggunaan kata sayyidina, ziarah kubur, tawassul, dan banyak ritual lainnya yang sudah lama operasional di kalangan muslim Aswaja. Penafsiran terhadap al-Qur’an cenderung subyektif sesuai kemauannya. (h 17)
Dosa-dosa Wahabi rupanya tercampur aduk dan sulit dibedakan dengan dosa represif rezim Ibnu Saud yang menggelar serangkaian aksi politik bernuansa agama. Misalnya pemberangusan situs-situs bersejarah, makam para sahabat nabi, dan eksekusi mati lawan-lawan politik.
Jika menilai Wahabi sebagai aliran dalam Islam, semestinya murni hanya dari segi teologi saja, dengan menafikan dosa-dosa politik pengusungnya. Maka dari itu ketika KH. Maemoen Zubair (Mbah Moen) ketika ditanya tentang Wahabi, jawabnya: “Hei, Mas sampean jangan ngawur. Wahabi itu bukan kafir, tetapi berdosa. Lha, orang berdosa itu yaghfiru liman yasyaa’ wa yu’addzibu man yasyaa’. Kalau Allah mengampuni, ya masuk surga, kalau tidak diampuni ya neraka,” kata Mbah Moen dengan nada tinggi.
Judul: Menolak Wahabi
Judul Asli: Ad-durar as-saniyyah fi ar-radd ala al-wahabiyyah
Penulis: Sayid Ahmad Zaini Dahlan
Penerbit: Turos Pustaka
Genre: Sejarah
Edisi: Cet 1, Juli 2022
Tebal: 230 halaman
ISBN: 978-623-7327-721