Sabtu, 17 Mei 2025
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
    • Berita Utama
    • Berita Buku
  • Kolom
  • Pegiat Buku
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
    • Berita Utama
    • Berita Buku
  • Kolom
  • Pegiat Buku
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)

Pilkada dalam Ancaman Ketidakpercayaan Warga

Sikap abai rakyat dalam hajatan pilkada kali ini hanyalah dampak ikutan dari endapan masalah kebangsaan yang serius.

Oleh Ahsan Jamet Hamidi
4 Desember 2024
di Kolom
A A

Pemilihan Kepala Daerah 2024 baru selesai dilaksanakan. Dalam hitungan jam setelah perhitungan di Tempat Pemungutan Suara (TPS), prakiraan hasil perhitungan secara luas sudah bisa diketahui. Ada beberapa cara yang digunakan untuk itu, misalnya metode hitung cepat (quick count) atau exit poll. Semua  menjadi lebih mudah, cepat, dan cukup akurat karena terbantu oleh kecanggihan teknologi.

Meski hasil perhitungan melalui metode tersebut bersifat sementara, namun ia harus dilakukan oleh lembaga survei yang kredibel. Secara psikologis, tidak mudah untuk membantah akurasinya. Saya nyaris belum pernah menemukan keterpautan yang sangat jauh antara hasil hitung cepat versi lembaga survei dengan hasil perhitungan resmi versi Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Berdasarkan prakiraan hitungan cepat versi lembaga survei, kandidat kepala daerah yang saya pilih ternyata kalah. Kekalahan itu mengagetkan, karena dalam prediksi beberapa lembaga survei yang cukup kredibel, tingkat keterpilihan dan popularitas sang calon cukup tinggi. Apalagi surveinya dilakukan berselang satu-dua bulan menjelang pemilihan. Biasannya, antara hitung-hitungan di masa sebelum dan sesudah pencoblosan hanya terpaut sedikit. Kali ini terjadi anomali yang mengejutkan.

Belajar Ikhlas

Saya memandang kekalahan dalam kontestasi itu sebagai hal yang lumrah. Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Meski agak mengherankan, kekalahan itu tidak sampai mengguncang perasaan. Mungkin, karena saya hanya berlaku sebagai pemilih. Saya tidak bersikap fanatik, berjuang keras karena akan merasakan dampak (keuntungan dan kerugian) secara langsung dari keberhasilan ataupun kegagalan seorang kandidat yang saya pilih. Pintu permakluman batin saya sebagai modal untuk belajar bersikap ikhlas tetap terbuka lebar.

BACA JUGA:

Paus Fransiskus: Antara Keberanian, Kasih, dan Visi Masa Depan

Perginya Pengusung Agama yang Ekologis Penuh Kasih [Obituari Paus Fransiskus]

JEDI Knight Farhan Helmy and a Story of Innovative Financing for the Disability and Elderly

Sains: Antara Harapan dan Batasan

Saya tidak akan gegabah buru-buru menyimpulkan bahwa telah terjadi praktik nista dalam proses pemilu. Misalnya, ada operasi serangan fajar, permainan politik uang, ataupun menuduh adanya kecurangan perhitungan. Memang, ada kabar berseliweran tentang praktik kecurangan dan permainan uang. Namun, kabar itu hanya terdengar dari sebuah obrolan sepintas yang tak bisa saya konfirmasi. Saya menganggapnya sebagai rumor yang masuk telinga kanan, lewat sepintas, lalu keluar melalui telinga kiri. Saya tidak mampu menahannya terlalu lama hingga bisa membenarakannya.

Semoga para kandidat yang kalah bisa berkaca pada cermin lebar yang mampu memantulkan kenyataan yang lebih jujur. Bukan-amit-amit-bersikap ”buruk muka cermin dibelah”. Kekalahan itu mungkin terjadi karena sikap abai, terlalu percaya diri, merasa pasti akan menang hanya karena mendasarkan pada penilaian lembaga survei. Sikap itu telah membutakan hati, menutup mata dari realitas lain dan kerja keras para lawan politik.

Bukan Hanya Soal Partisipasi

Jika para penyelenggara negara selama ini mengarahkan petuahnya kepada warga/pemilih agar mereka bersikap legawa, menjauhkan diri dari konflik dan seterusnya, dalam pilkada kali ini yang terjadi adalah sebaliknya. Semua wejangan itu layak diberikan kepada para penyelenggara negara. Di luar perkara kalah-menang, ada masalah serius lain yang sangat memprihatinkan, salah satu dampaknya adalah menurunnya tingkat partisipasi warga dalam memilih.

Saya mulai dari kejadian yang kasat di mata. Pemilihan di lingkungan Rukun Warga perumahan saya telah mengalami penurunan minat. Jumlah pemilih di dua TPS ada 622 pemilih, ternyata hanya diikuti oleh 304 pemilih. Dalam Pilkada Jakarta, misalnya, menurut Charta Politika, hajatan ini hanya diikuti oleh 58 persen partisipan. Adapun perhitungan secara nasional, menurut Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI August Mellaz, tingkat partisipasi pemilih pilkada serentak 2024 secara nasional berada di bawah 70 persen dari total jumlah pemilih. Angka yang cukup rendah dibandingkan sebelumnya.

Hemat saya, rendahanya partisipasi warga dalam pemilu tersebut bukan tanpa sebab. Ada persoalan serius yang menjangkiti diri para pemilih di Indonesia. Keengganan warga untuk memilih para calon kepala daerah hanyalah dampak dari luka batin. Bisa jadi, warga tidak lagi percaya dengan sistem dan penyelenggara pemilu. Bisa juga karena mereka tidak lagi percaya pada kredibilitas para kandidat yang proses seleksinya diajukan oleh partai politik. Intinya, keengganan warga untuk memilih hanyalah buah dari akar masalah yang perlu digali secara serius.

Perkara serius lain yang saya temui adalah terkait suburnya praktik dinasti politik. Saya mengamini pandangan Yoes Kenawas dari Institute for Advanced Research, Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, yang disampaikan kepada ABC Indonesia. Dalam pilkada serentak di 545 daerah pemilihan kali ini ada 605 kadidat yang terafiliasi dalam dinasti politik. “Kandidat terafiliasi dinasti ini ada di 65 persen dari 545 daerah yang melaksanakan pilkada tahun ini,” jelas Yoes.

Data dari penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) tidak kalah mengejutkan. Ia telah  memetakan adanya 54 praktik dinasti politik di Indonesia. Menurut Yassar Aulia dari ICW, ketika satu daerah dipimpin oleh kepala daerah yang terafiliasi dinasti politik, pengawasan dan tata kelola di pemerintahan akan melemah.

Temuan lainnya menyatakan, dari 37 provinsi yang menyelenggarakan Pilkada 2024, 33 provinsi terindikasi kuat memiliki peserta yang terafiliasi dengan dinasti politik. Dari 54 peristiwa yang ada praktik dinasti politik itu telah menghasilkan 70 kasus korupsi di wilayah tersebut. Jadi, ada korelasi yang sangat kuat antara fenomena dinasti politik dan praktik korupsi.

Membiarkan atau Menyelesaikan

Sikap abai rakyat dalam hajatan pilkada kali ini hanyalah dampak ikutan dari endapan masalah kebangsaan yang serius. Semoga saya tidak keliru, bahwa gejala alamiah yang muncul saat ini mengingatkan saya akan adanya sebagian warga yang telah terjangkiti rasa tidak lagi percaya kepada para pengelola negara. Indikatornya, mereka bersikap tak acuh, abai, tidak lagi peduli dengan semua praktik buruk yang terindikasi melanggar undang-undang yang telah kita sepakati bersama.

Dalam lingkungan keseharian kita, jika ada orang tua, kakak, adik, saudara, kerabat, bahkan teman-teman dekat yang bersikap membiarkan saya untuk berperilaku seenak hati yang melanggar norma, maka pembiaran itu sejatinya adalah pertanda bahwa mereka sudah sampai pada puncak kemarahan terhadap saya. Wujud saya sebagai manusia sudah dianggap tidak ada. Alih-alih saya ditegur, didoakan agar menjadi lebih baik, keberadaan saya sirna. Tidak ada lagi ruang sekecil apa pun di dalam hati mereka. Itu adalah bentuk hukuman paling tinggi di dalam lingkungan sosial sebagai manusia.

Saya tetap berharap, jangan sampai kejadian serupa terjadi pada warga terhadap para penyelenggara negara. Warga menjadi abai, tidak peduli, membiarkan dan tidak sampai di situ, pada puncaknya mereka akan enggan membayar pajak, mematuhi aturan bersama dan jika itu terjadi, bisa dibayangkan rentetan kejadian berikutnya.

Sekarang saatnya para pengampu pengelolaan negara ini bercermin. Apakah Anda semua sedang berpikir keras untuk mengurai akar masalah lalu berusaha menyelesaikannya, atau sedang bekerja keras, mengabaikan norma agar bisa balik modal atas apa yang sudah Anda keluarkan selama ini? Saya masih akan terus mengritik dan belum sampai pada tahap membiarkan.

Bacaan terkait

Saat Hitung Cepat Tak Bisa Putuskan Pilkada Jakarta 2024: Satu Putaran atau Dua Putaran

Demokrasi Dikorupsi

Awal Prabowo yang Problematik: Sebuah Peluang yang Terlewatkan?

Kabinet Inklusif Prabowo: Mengakomodasi Faksi-faksi Islam untuk Kohesi Politik

Kabinet Prabowo yang Gemuk dan Akomodatif

Topik: demokrasipilkada serentak 2024politik dinasti
SendShareTweetShare
Sebelumnya

Saat Hitung Cepat Tak Bisa Putuskan Pilkada Jakarta 2024: Satu Putaran atau Dua Putaran

Selanjutnya

Lisan Gus Miftah nan Tak Tertakar

Ahsan Jamet Hamidi

Ahsan Jamet Hamidi

Anggota Dewan Pengarah Sekber Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB), Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso, Tangerang Selatan, Wakil Sekretaris LPCRPM Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

TULISAN TERKAIT

Paus Fransiskus: Antara Keberanian, Kasih, dan Visi Masa Depan

Paus Fransiskus: Antara Keberanian, Kasih, dan Visi Masa Depan

22 April 2025
Perginya Pengusung Agama yang Ekologis Penuh Kasih [Obituari Paus Fransiskus]

Perginya Pengusung Agama yang Ekologis Penuh Kasih [Obituari Paus Fransiskus]

22 April 2025
Ksatria JEDI Bernama Farhan Helmy dan Sepenggal Kisah tentang Pembiayaan Inovatif untuk Disabilitas dan Lansia

JEDI Knight Farhan Helmy and a Story of Innovative Financing for the Disability and Elderly

21 April 2025
Sains: Antara Harapan dan Batasan

Sains: Antara Harapan dan Batasan

17 April 2025
Selanjutnya
Selanjutnya
Lisan Gus Miftah nan Tak Tertakar

Lisan Gus Miftah nan Tak Tertakar

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Mengupayakan Keadilan di Bumi  [Timbangan atas Buku “Just Earth” Tony Juniper ]

Mengupayakan Keadilan di Bumi [Timbangan atas Buku “Just Earth” Tony Juniper ]

23 April 2025
Paus Fransiskus: Antara Keberanian, Kasih, dan Visi Masa Depan

Paus Fransiskus: Antara Keberanian, Kasih, dan Visi Masa Depan

22 April 2025
Perginya Pengusung Agama yang Ekologis Penuh Kasih [Obituari Paus Fransiskus]

Perginya Pengusung Agama yang Ekologis Penuh Kasih [Obituari Paus Fransiskus]

22 April 2025
PELAN TAPI SUKSES; FILOSOFI KUNGKANG MIRIP “OJO KESUSU”

PELAN TAPI SUKSES; FILOSOFI KUNGKANG MIRIP “OJO KESUSU”

21 April 2025
menemukan cinta

PELUKAN HANGAT BAGI YANG “TERSESAT”, PENAT, DAN INGIN MENEMUKAN CINTA

21 April 2025
Ksatria JEDI Bernama Farhan Helmy dan Sepenggal Kisah tentang Pembiayaan Inovatif untuk Disabilitas dan Lansia

JEDI Knight Farhan Helmy and a Story of Innovative Financing for the Disability and Elderly

21 April 2025

© 2024 Jakarta Book Review (JBR) | Kurator Buku Bermutu

  • Tentang
  • Redaksi
  • Iklan
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • Masuk
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
    • Berita Utama
    • Berita Buku
  • Kolom
  • Pegiat Buku
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In