Pada malam hari tanggal 20 Oktober, Presiden Indonesia Prabowo Subianto mengumumkan kabinet pertamanya setelah secara resmi menjabat pada hari itu, menggantikan Joko “Jokowi” Widodo. Ini adalah kabinet terbesar yang pernah dimiliki Indonesia sejak tahun 1966.
Keesokan harinya, Senin, 21 Oktober, Prabowo meresmikannya. Terdiri dari 109 anggota (lebih dari dua kali lipat jumlah anggota kabinet Jokowi), ia menamainya “Kabinet Merah Putih”, mengacu pada warna bendera negara. Kabinetnya yang besar terdiri dari para menteri, wakil menteri, dan kepala badan-badan nasional.
Sebelum mengundang para kandidat kabinet ke kediamannya minggu lalu, Presiden Prabowo mengatakan di depan umum, “Saya ingin menciptakan pemerintahan yang kuat yang akan menyatukan masyarakat kita yang multikultural dan kepentingan politik yang beragam.” Dan dia mengakui bahwa “Ini harus menjadi koalisi yang besar, dan beberapa orang akan mengatakan kabinet saya gemuk.”
Besarnya jumlah kabinet yang ‘gemuk’ mencerminkan politik akomodatif Prabowo. Faktanya, hanya ada dua partai politik di luar kabinet: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Nasdem.
Akankah kabinet yang gemuk ini akan lincah dan mampu bekerja dengan cepat untuk memenuhi mandat rakyat yang telah dimenangkan Prabowo pada pemilu bulan Februari lalu?
Saya menawarkan lima pengamatan.
Pertama, jika Jokowi memiliki empat menteri koordinator, atau menteri senior, Presiden Prabowo akan memiliki tujuh menteri. Mereka akan memainkan peran penting dalam mengkoordinasikan berbagai program dan kebijakan pemerintah, dan mereka juga dapat mendukung wakil presiden, Gibran Rakabuming Raka, yang memiliki pengalaman yang terbatas. Ketujuh menteri ini dapat memastikan bahwa peran wakil presiden dalam mendukung keputusan presiden, pada gilirannya, didukung oleh para pemimpin yang berpengalaman.
Namun, kehadiran begitu banyak menteri koordinator juga dapat menyebabkan tumpang tindih tanggung jawab dan konflik dalam pengambilan keputusan. Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini dapat menyebabkan kebingungan dan inefisiensi, yang justru merusak tujuan utama dari pembentukan kementerian-kementerian tersebut. Oleh karena itu, penting bagi Presiden untuk menjaga garis kewenangan yang jelas dan memastikan bahwa setiap menteri memahami peran dan tanggung jawabnya masing-masing dalam kerangka tata kelola pemerintahan yang lebih luas.
Pada akhirnya, keberhasilan strategi ini akan bergantung pada kemampuan presiden untuk memanfaatkan keahlian tujuh menteri koordinator sekaligus membangun kepemimpinan yang kuat. Ini akan menjadi keseimbangan yang sulit, tetapi dengan komunikasi dan kolaborasi yang efektif, pendekatan ini dapat memperkuat kapasitas pemerintah untuk mengatasi tantangan-tantangan di masa depan.
Namun, menambah begitu banyak menteri koordinator jelas akan membebani anggaran. Beberapa menteri koordinator mungkin belum memiliki kantor atau staf. Butuh waktu untuk menyediakannya, dan hal ini dapat menyebabkan inefisiensi dan penundaan dalam pengambilan keputusan. Tanpa sumber daya yang memadai, para menteri koordinator mungkin akan kesulitan menjalankan tugasnya secara efektif, yang mengakibatkan tumpang tindihnya tanggung jawab dan kebingungan di antara kementerian-kementerian yang ada. Hal ini dapat melemahkan tujuan koordinasi, menciptakan lebih banyak hambatan daripada solusi.
Kedua, beberapa kementerian telah direstrukturisasi dan portofolionya dibagi-bagi. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah dipecah menjadi tiga: hukum, hak asasi manusia, dan imigrasi. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga dibagi menjadi tiga. Ini berarti akan ada posisi untuk Direktur Jenderal baru dan staf lainnya di kementerian-kementerian baru. Efek jangka panjangnya juga mencakup perubahan logo dan nama kementerian, serta penyesuaian untuk kantor regional dan kepala departemen di bawahnya.
Namun, pekerjaan kementerian yang direstrukturisasi akan menjadi lebih terkonsentrasi. Fokus yang lebih besar ini memungkinkan efisiensi dan produktivitas yang lebih besar, sehingga memungkinkan setiap menteri untuk menangani tugas-tugas dengan pola pikir yang lebih jernih.
Ketiga, beberapa lembaga ditingkatkan menjadi kementerian dan beberapa lembaga baru dibentuk. Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), misalnya, telah ditingkatkan statusnya menjadi kementerian. Transisi ini menandakan adanya kerangka kerja yang lebih kuat untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh pekerja migran Indonesia. Kementerian yang baru dibentuk ini bertujuan untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja migran di luar negeri, memastikan mereka memiliki akses ke sumber daya dan dukungan yang diperlukan.
Dengan meningkatkan status lembaga ini, pemerintah memprioritaskan hak-hak dan keselamatan warga negaranya yang mencari pekerjaan di luar negeri, membina kerja sama yang lebih baik dengan negara-negara tujuan, dan menerapkan peraturan yang lebih ketat terhadap agen-agen perekrutan. Langkah ini dapat mengarah pada perbaikan kondisi kerja dan mengurangi eksploitasi tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Haji–ziarah umat Islam ke Makkah–juga telah dibentuk sebagai sebuah badan baru, Badan Penyelenggara Haji (BPH), yang kini terpisah dari Kementerian Agama. Kepala Badan Penyelenggara Haji akan memiliki tingkat, kekuasaan, dan wewenang yang sama. Keputusan ini menggarisbawahi pentingnya ibadah haji dan pengelolaannya dalam konteks yang lebih luas dari pemerintahan nasional.
Badan baru ini akan ditugaskan untuk mengawasi semua aspek haji, memastikan bahwa para jamaah memiliki perjalanan yang aman dan memuaskan. Peningkatan status ini dapat meningkatkan koordinasi di antara berbagai badan pemerintah, menyederhanakan proses, dan meningkatkan kualitas layanan yang diberikan kepada para jamaah. Dengan struktur baru ini, kepala BPH dapat memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan dan mengimplementasikan inisiatif yang memenuhi kebutuhan jutaan jamaah setiap tahunnya.
Keempat, kabinet yang gemuk membuat rantai birokrasi semakin panjang. Bertambahnya jumlah menteri dan wakil menteri, pembentukan kementerian baru, dan restrukturisasi portofolio kementerian sebagai lembaga yang terpisah membuat koordinasi antarkementerian menjadi lebih rumit. Bukan rahasia lagi bahwa ego sektoral dan institusional yang mengarah pada persaingan antarlembaga pemerintah sudah menjadi masalah serius dalam pemerintahan.
Adaptasi dan waktu dibutuhkan. Saya memperkirakan bahwa dibutuhkan setidaknya enam hingga 12 bulan sebelum kabinet yang gemuk ini dapat mulai bekerja secara efektif, tetapi dua hingga tiga tahun lebih realistis.
Untuk mengurangi risiko-risiko ini, investasi pada infrastruktur dan sistem pendukung yang diperlukan akan sangat penting. Evaluasi rutin dan umpan balik juga dapat membantu menyempurnakan struktur ini dari waktu ke waktu, memastikan bahwa struktur ini dapat beradaptasi dengan kebutuhan administrasi yang terus berkembang.
Pada akhirnya, keberhasilan inisiatif ini akan bergantung pada komitmen pemerintah baru terhadap transparansi dan akuntabilitas, menumbuhkan lingkungan di mana kerja sama diprioritaskan, dan sumber daya dialokasikan secara bijaksana. Dengan mengatasi tantangan-tantangan ini secara langsung, pemerintah dapat memanfaatkan potensi koordinasi para menteri untuk mendorong hasil kebijakan yang lebih kohesif dan efektif.
Terakhir, orang yang kelebihan berat badan akan mengonsumsi makanan dalam jumlah besar–dan kabinet yang gemuk juga akan demikian, yang berarti sumber daya yang sangat besar akan dibutuhkan pada tahap awal pemerintahan Prabowo. CELIOS, sebuah lembaga penelitian independen di Jakarta, memproyeksikan bahwa kabinet gemuk akan memakan biaya sekitar 1,9 triliun rupiah, tidak termasuk biaya untuk mendirikan kantor tambahan untuk kementerian-kementerian baru.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang berfungsi sebagai mitra sekaligus pengawas pemerintah, juga harus beradaptasi dengan portofolio kementerian-kementerian baru. Hal ini akan membutuhkan tinjauan menyeluruh terhadap tanggung jawab legislatif dan potensi penyesuaian dalam mekanisme pengawasan untuk memastikan tata kelola pemerintahan yang efektif. Selain itu, para pemangku kepentingan perlu terlibat dalam diskusi untuk merampingkan operasi dan meningkatkan kolaborasi antarkementerian, yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik.
Implikasi keuangan yang diantisipasi dari kabinet yang gemuk juga dapat mendorong seruan untuk realokasi anggaran dan reformasi fiskal, karena pemerintah berusaha untuk menyeimbangkan prioritasnya dengan adanya perubahan-perubahan ini. Seiring dengan terbentuknya kementerian-kementerian baru, akan sangat penting bagi DPR untuk memantau kinerja mereka secara ketat, memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam fungsi-fungsi mereka.
Seperti yang dikatakan Presiden Prabowo: “Tugas pemerintah adalah melayani rakyat.” Semoga sukses dan layani rakyat dengan baik, Pak.
(sumber naskah: https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/prabowos-fat-and-accommodating-cabinet/)
Bacaan terkait
Tentang Kabinet Merah Putih nan Jumbo
Ulasan Pembaca 4