Di balik kemenangan penerus pilihannya pada pemilu Februari lalu, terdapat sebuah kisah rumit tentang bagaimana Presiden Joko Widodo di akhir kekuasaannya telah mengooptasi sebagian besar masyarakat Indonesia sekaligus mengonsolidasikan kekuasaan yang sangat besar.
Strategi Presiden Joko Widodo telah berhasil: penerus pilihannya, Prabowo Subianto, dan putranya sendiri, Gibran Rakabuming Raka, terpilih sebagai presiden dan wakil presiden pada 14 Februari lalu, dengan perolehan suara lebih dari 58%. Ini sebenarnya kemenangan Jokowi, meski sudah lama direncanakan dan memiliki konsekuensi sangat besar. Dia telah mengamankan kekuasaan untuk Prabowo dan Gibran dengan mengawasi pelemahan bertahap dari sistem demokrasi Indonesia yang diperoleh dengan susah payah sambil mempertahankan popularitasnya yang membumbung tinggi.
Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, dan Jokowi menjadi wajah dari keberhasilan negara ini keluar dari kediktatoran selama puluhan tahun. Sekarang dia telah merusak keberhasilan itu. Dia tidak dapat mencalonkan diri (lagi) untuk masa jabatan ketiga, jadi dia menunjuk Prabowo, seorang mantan jenderal yang pernah ditolak visanya oleh Amerika Serikat karena tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di tahun 1990-an, dan Gibran, seorang pengusaha dan wali kota Solo, yang masih terlalu muda untuk ikut dalam pemungutan suara sampai keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengejutkan membuka jalan.
Kandidat yang kalah dalam persaingan tiga pasangan calon—mantan gubernur Jakarta Anies Baswedan dan mantan gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo—menggugat hasil pemilu dan mengklaim bahwa Jokowi dan pemerintahannya secara tidak adil mencampuri pemilu, namun hasilnya sepertinya tidak akan berubah, mengingat margin kemenangan yang besar dan sedikitnya bukti kecurangan dalam pemungutan suara. Campur tangan yang penting terjadi sebelum hari pemilihan.
Dua malam sebelum pemungutan suara digelar, saya menghadiri sebuah acara bertajuk “Doa untuk Kebenaran dan Keadilan”, yang diselenggarakan oleh para aktivis dan seniman dari gerakan Reformasi yang pada tahun 1998 menggulingkan Jenderal Suharto setelah tiga puluh dua tahun kediktatoran militernya berkuasa. Mereka berkumpul di Utan Kayu, sebuah pusat komunitas di Jakarta Timur yang merupakan salah satu pos komando pemberontakan melawan Suharto. Sebuah prosesi yang terdiri dari penari, penyanyi, penyair, akademisi, dan aktivis mahasiswa turun ke panggung terbuka untuk memprotes apa yang mereka sebut sebagai pemilihan Jokowi yang curang.
Salah satu tokoh Reformasi, jurnalis, penyair, penulis, dan pelukis berusia delapan puluh dua tahun, Goenawan Mohamad, hadir di sana. Ia merupakan salah satu pendukung awal presiden dan aktif dalam kampanye pemilihan presiden tahun 2014, ketika Jokowi menjadi politisi nonelite pertama yang memenangkan pemilihan langsung setelah penindasan dan korupsi di era Suharto.
Semua itu telah berubah, kata Goenawan kepada saya: “Jokowi adalah pengkhianat dan dia mengkhianati Reformasi” ketika dia menerima keputusan Mahkamah Konstitusi, yang dikeluarkan pada Oktober, bahwa Gibran yang berusia tiga puluh enam tahun dapat mencalonkan diri meski ada ketentuan konstitusi yang mengharuskan calon presiden dan wakil presiden berusia minimal empat puluh tahun. “Kampanye telah dicurangi untuk memastikan kemenangan Prabowo. Ini adalah keangkuhan dan bertentangan dengan demokrasi,” kata Goenawan. “Kami di sini untuk membangun kantong-kantong perlawanan.”
Dari atas panggung, seorang penyair muda membacakan sebuah puisi terkenal karya Widji Thukul, seorang aktivis prodemokrasi yang diculik pada tahun 1998 atas perintah Prabowo dan tidak pernah terlihat lagi sejak saat itu.
Semua nyanyian dan yel-yel “Kami ditipu oleh Jokowi” dan “Lawan dan lawan”memecah suasana duka. Perlawanan anti-Jokowi terlalu sedikit, terlalu terlambat. Pada saat itu jajak pendapat menunjukkan bahwa Prabowo akan menang. Seperti Goenawan, sebagian besar dari mereka yang berkumpul malam itu adalah pendukung setia Jokowi hingga masa jabatan kedua presiden.
Kemampuan Jokowi untuk mengooptasi sebagian besar masyarakat Indonesia sambil mengonsolidasikan kekuatan yang sangat besar adalah kisah yang luar biasa dan rumit. Keberhasilannya dengan para pendukung Utan Kayu dan reformasi memberikan basis yang berguna yang terus ia kembangkan dengan mantap dan seksama. Ketika Goenawan dan banyak orang lain berbalik menentangnya, Jokowi telah menyempurnakan cengkeraman kekuasaannya yang semakin otoriter dan telah menyusun rencananya demi mengamankan pengaruhnya setelah masa jabatannya berakhir melalui Prabowo dan putranya.
Yang paling penting, ia telah dengan tekun membangun kepresidenannya dan popularitasnya di atas tiga pilar: menjaga stabilitas, menekan ancaman kelompok Islam radikal dan tuntutan mereka untuk mendominasi politik, serta melaksanakan pembangunan, mulai dari jalan baru yang tak terhitung jumlahnya hingga kereta api cepat yang gemerlap hingga pembagian uang tunai dari negara.
Menjelang pemilu, peringkat persetujuan (approval rating) Jokowi mendekati 80 persen. Dia membagikan beras dan bantuan langsung tunai di jalur kampanye. Ia tidak pernah secara eksplisit mendukung Prabowo dan Gibran, namun pesannya jelas: memilih mereka berarti memilih kelanjutan pemerintahannya.
Bagaimana Jokowi mendominasi lanskap politik Indonesia yang luas dan menjadi presiden pertama yang menentukan penggantinya merupakan subteks setelah fakta dari buku The Coalitions Presiden Make: Presidential Power and Its Limits in Democratic Indonesia karya Marcus Mietzner. Mietzner, seorang profesor dari Australian National University (ANU) dan cendekiawan terkemuka di Indonesia, menulis buku penting ini jauh sebelum pemilu, dan buku ini menawarkan sebuah peta jalan tentang apa yang telah terjadi. Temanya adalah upaya Indonesia yang tidak pernah berakhir untuk mencapai stabilitas politik, dan ia bertanya-tanya apakah pencarian itu “merupakan sumber pembusukan demokrasi.” Berkali-kali, jawabannya adalah ya.
Titik tolak Mietzner adalah kekisruhan yang terjadi di negara kepulauan yang terdiri dari 17.000 pulau yang tersebar di sepanjang garis khatulistiwa ini setelah penggulingan Suharto. Indonesia menghadapi tantangan untuk menciptakan struktur politik baru yang dapat diterima oleh lebih dari seribu kelompok etnis, yang berbicara dalam lebih dari tujuh ratus bahasa; yang lebih penting lagi, bagi populasi Muslim terbesar di dunia, negara ini harus menyelesaikan masalah yang paling kontroversial: tempat Islam dalam politik.
Butuh waktu bertahun-tahun dan empat kali amendemen konstitusi prodemokrasi untuk memunculkan sistem presidensial yang mengandalkan koalisi untuk memerintah. Pada tahun 2004, Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden pertama yang dipilih secara langsung dan, karena takut dimakzulkan, ia bersikeras untuk memerintah melalui koalisi. Mietzner mencatat bagaimana koalisi besar Yudhoyono membawa stabilitas untuk sementara waktu, namun para pemilihnya merasakan kecewa pada akhir masa jabatannya yang kedua.
Ketika Jokowi menang pada tahun 2014—mengalahkan Prabowo—mantan wali kota Solo yang kurus ini adalah orang luar yang lemah yang dicintai oleh kelompok Reformasi dan prodemokrasi dan didukung denga agak ragu oleh partai yang dipimpin oleh Megawati Sukarnoputri, putri presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, yang flamboyan dan otokratis, dan juga merupakan presiden dari tahun 2001 hingga 2004. Jokowi menghadapi hambatan dalam memilih calon anggota kabinet karena kurangnya dukungan dari partainya sendiri, dan penghinaan berulang dari Megawati dan, yang lebih buruk lagi, dari kaum Muslim yang menolak komitmennya terhadap pluralisme dan reformasi demokratis. Tidak butuh waktu lama baginya untuk merangkul apa yang disebut Mietzner sebagai presidensialisme koalisi. Dalam waktu satu tahun, ia telah mencampuri kepemimpinan dua partai oposisi (yang mendukung Prabowo pada Pemilu 2014) sehingga ia menguasai mayoritas partai dan kursi di legislatif.
Seperti yang dijelaskan Mietzner, tonggak penting dalam perjalanan Jokowi menuju dominasi politik terjadi pada tahun 2016. Ketika itu aliansi para pemimpin Muslim konservatif, kelompok Islam garis keras, dan para pendakwah yang dipengaruhi oleh Arab Saudi, menuduh sekutu terdekatnya, politisi beretnis Tionghoa dan beragama Kristen Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), telah menghina agama Islam ketika berkampanye untuk menjadi gubernur Jakarta. Mereka menggelar serangkaian demonstrasi yang merupakan salah satu unjuk rasa terbesar dalam sejarah Indonesia.
Ibu kota dibanjiri oleh lebih dari 700.000 umat Islam yang menuntut agar Ahok didakwa atas penistaan agama. Ini adalah gempa bumi politik, dan Jokowi setuju. Ahok didakwa dan dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Dan dia kalah dalam pemilihan gubernur dari Anies Baswedan, salah satu kandidat presiden yang gagal tahun ini.
Gerakan anti-Ahok mengubah Jokowi dan Indonesia. Para pendukung Reformasi Jokowi, termasuk Goenawan, merasa takut, begitu juga dengan beberapa pemimpin organisasi Muslim tradisionalis terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), yang menganggap Islam puritan yang dipengaruhi Arab Saudi sebagai ancaman eksistensial bagi Islam lokal yang lebih longgar dan pluralis. Jokowi menyelaraskan dirinya dengan NU dan para pendukung prodemokrasi. Dengan dukungan mereka, ia akhirnya meminggirkan kelompok Islamis di balik aksi unjuk rasa tersebut, dan sekaligus memperkuat basis pendukungnya.
Pada Februari, saya bertemu dengan Ulil Abshar-Abdalla, yang kini menjabat sebagai ketua NU, dan sambil makan siang di Hello Sunday, sebuah tempat yang trendi di dalam gedung bergaya Art Deco era kolonial di pusat kota Jakarta, kami mendiskusikan aliansi NU dengan Jokowi. Hal ini sangat baik bagi NU dan juga Ulil. Jokowi memahami bahwa ia dapat mengambil keuntungan dari ketakutan yang meluas terhadap kaum Islamis, namun ia membutuhkan dukungan NU untuk menekan mereka.
Bagi NU, aliansi ini berarti aliran dukungan negara yang stabil. Bagi Jokowi, dukungan NU berarti kumpulan pemilih yang sangat besar, terutama di Jawa, di mana lebih dari separuh dari 279 juta penduduk Indonesia tinggal, dan ia dengan mudah memenangkan pemilihan kembali pada tahun 2019.
Mietzner menggambarkan bagaimana dukungan tersebut membebaskan Jokowi dari partainya, lalu dengan popularitasnya yang tinggi, “memulai masa jabatannya yang kedua dengan koalisi yang secara substansial diperluas dan terkonsolidasi. Namun, prospek untuk melakukan terobosan prodemokrasi juga jauh berkurang.” Presiden Jokowi telah menjadi ahli dalam politik koalisi dan demokrasi patronase Indonesia, menyempurnakan hubungan saling memberi dan menerima yang menghasilkan stabilitas dan kemunduran demokrasi.
Dia memberi penghargaan kepada mereka yang melakukan perintahnya dan menghukum mereka yang tidak melakukannya. Partai-partai politik, tentara, polisi, birokrat, organisasi-organisasi Muslim, dan oligarki semuanya harus menjadi bagian dari lingkaran Jokowi. Sebagai imbalannya, ia harus membuat mereka senang.
NU menjadi favorit negara setelah Jokowi terpilih kembali. Yahya Cholil Staquf, sekutu Jokowi, menjadi ketua umum PBNU, dan saudaranya, Yaqut Cholil Quomas, menjadi menteri agama. Ulil, sepupu Yahya, diberi tugas untuk mempromosikan Islam versi NU dengan banyak bantuan dari negara. Banyak pekerjaan dalam birokrasi Kementerian Agama yang sangat besar jatuh ke tangan para pengikut NU. NU juga memperluas kampanye untuk mendorong apa yang disebutnya sebagai Islam yang toleran dan humanis versi Indonesia di peta global. (NU merayakan toleransinya, tetapi tidak sampai pada kelompok Komunis atau kelompok kiri pada tahun 1965 dan 1966, ketika, setelah kudeta yang gagal, ratusan ribu dari mereka dibunuh, antara lain, oleh kalangan santri dari NU. Hal yang sama juga tidak berlaku bagi kaum Islamis, Syiah, atau kaum gay di Indonesia saat ini).
Ulil dengan bangga menunjukkan bahwa lebih dari 50% orang Indonesia mengidentifikasi diri mereka sebagai orang yang sejalan dengan NU. Ketika Jokowi menindak tegas para Islamis dan melarang dua organisasi Islamis (Front Pembela Islam dan Hizbut Tahrir Indonesia), para pemimpin NU bertepuk tangan. “Jokowi tahu bahwa ada ketakutan yang mendalam terhadap kelompok Islamis, dan dia tahu bahwa NU akan membantunya untuk memanfaatkan ketakutan tersebut,” kata Ulil.
Langkah-langkah ini hanyalah awal dari pemanfaatan ketakutan tersebut oleh Jokowi untuk mengonsolidasikan kekuasaannya. Para loyalisnya ditempatkan sebagai penanggung jawab aparat kepolisian Indonesia yang sangat besar, yang terus menyingkirkan dan mengkriminalisasi para aktivis Islam. Selain pelarangan organisasi, orang-orang yang dianggap pro-Islamis juga dikeluarkan dari kampus dan birokrasi negara. Perlahan-lahan marjinalisasi ini meluas dan mencakup semua kritik terhadap pemerintah, tidak hanya para Islamis.
LSM Southeast Asia Freedom of Expression Network melaporkan adanya peningkatan tindakan dalam kriminalisasi ekspresi daring pada tahun 2022, dengan 107 orang didakwa di bawah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), meningkat tiga kali lipat dari tahun sebelumnya.
Sebagian besar didakwa dengan tuduhan mencemarkan nama baik pejabat dan institusi negara. Sebagian besar tindakan keras yang semakin meningkat ini tidak diketahui, kecuali oleh mereka yang dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaan Jokowi yang semakin meluas. Jokowi adalah seorang yang ahli dalam mengenal para pemilihnya, dan ia menggunakan data jajak pendapat untuk menentukan apa yang mungkin terjadi dan apa yang akan menimbulkan reaksi.
Terpilihnya kembali Jokowi, tulis Mietzner, menghasilkan dua titik balik penting dalam konsolidasi kepresidenan koalisinya. Pertama, di bawah tekanan dari partai-partai politik dalam koalisinya, Jokowi gagal menghentikan pembungkaman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dikenal sebagai salah satu lembaga terpenting yang dibentuk pada era reformasi setelah berakhirnya rezim Suharto. KPK sangat populer dan efektif dalam membasmi korupsi politik dan bisnis yang meluas. Sejumlah politisi lokal dan nasional telah digelandang ke depan kamera TV selama bertahun-tahun, mengenakan rompi oranye khas tersangka KPK.
Lebih dari lima ratus politisi, pengusaha, polisi, dan pegawai negeri sipil telah diadili oleh KPK. Dan selama bertahun-tahun para politisi mencoba mengekang kewenangan investigasinya yang luas, namun selalu dihentikan oleh protes dari masyarakat sipil. Kemudian beredar rumor di media sosial dan acara bincang-bincang politik bahwa kelompok Islamis telah menyusup ke dalam KPK. Dukungan terhadap KPK pun berkurang, dan pada tahun 2019, sebuah undang-undang disahkan yang menghancurkan independensi KPK dan menjadikannya hanya seperti cangkang.
Titik balik kedua adalah pilihan mengejutkan Jokowi untuk memilih Prabowo sebagai menteri pertahanan. Prabowo adalah seorang jenderal yang naik daun di bawah Suharto dan menikahi salah satu putri sang diktator. Pada masa-masa akhir rezim, ia memimpin sebuah unit pasukan khusus, yang disebut Tim Mawar, yang dituduh menculik dan menyiksa lebih dari dua puluh aktivis, tiga belas di antaranya masih hilang dan diduga dibunuh.
Prabowo telah mengakui adanya penculikan, namun ia menyangkal keterlibatannya dalam pembunuhan para aktivis anti-Suharto. Dia juga dituduh melakukan pelanggaran HAM di Timor Timur selama pendudukan Indonesia yang panjang dan brutal di negara yang kini merdeka itu. Dia juga dikaitkan dengan sekelompok tentara yang memicu kerusuhan di Jakarta dalam upaya yang gagal untuk memperpanjang kekuasaan Suharto selama minggu-minggu terakhirnya. Setelah penggulingan Suharto, Prabowo dijadikan sebagai simbol kebrutalan rezim. Dia dipaksa pensiun dini dari militer dan menghabiskan lebih dari satu tahun di pengasingan di Yordania.
Selama bertahun-tahun sejarah kelam ini memudar begitu saja. Prabowo menjadi seorang taipan bisnis dan politisi. Dia gagal menjadi presiden dua kali melawan Jokowi—pada tahun 2014 sebagai seorang nasionalis yang kuat dan pada tahun 2019 sebagai pembela kaum Islamis. Setelah pengangkatannya sebagai menteri pertahanan, ia mengambil kesempatan untuk menemukan kembali dirinya. Dia memuji Jokowi sebagai presiden terbaik bangsa dan berusaha keras untuk menampilkan dirinya sebagai anak didik Jokowi. Amerika Serikat juga melunakkan pandangannya, dengan memberikannya visa setelah ia menjadi menteri pertahanan. Rekonsiliasi Jokowi dan Prabowo membantu keduanya. Mietzner menulis:
Bergabungnya Prabowo ke dalam koalisi kepresidenan tidak hanya mengakomodasi saingan berat Jokowi dan menetralisir ancaman bahwa ia akan menjadi penghasut anti-pemerintah, tetapi juga mengirimkan sinyal lebih lanjut kepada militer bahwa mereka tidak perlu takut akan tuntutan hukum dan dapat merasa tenang karena para perwiranya memiliki peluang untuk makmur di bawah pemerintahan yang demokratis.
Sejak masa jabatan kedua Jokowi disibukkan dengan pandemi Covid-19 dan proyek kesayangannya—membangun ibu kota negara baru di hutan Provinsi Kalimantan Timur di Pulau Kalimantan—presiden dan para penasihatnya mulai mengisyaratkan bahwa ia membutuhkan masa jabatan ketiga untuk menyelesaikan semua yang telah ia mulai. Megawati, ketua umum PDI Perjuangan yang angkuh, partai yang telah dua kali mencalonkannya sebagai calon presiden, menolak untuk ikut, dengan alasan bahwa konstitusi membatasi masa jabatan presiden hanya untuk dua periode.
Jokowi, yang merasa kesal dengan penolakan Megawati, meminta para penasihatnya untuk mengeksplorasi opsi-opsi lain demi mempertahankan pengaruhnya. Ada beberapa opsi, dan modal terkuatnya adalah peringkat persetujuannya yang konsisten di angka 75 hingga 80%, yang memastikan bahwa dukungannya akan signifikan bagi kandidat yang didukungnya dalam pemilu. Untuk sementara waktu, tampaknya pilihan Jokowi sebagai penerusnya adalah Ganjar, dari PDI-P, namun hubungannya yang memburuk dengan Megawati membantu menjelaskan mengapa ia menolak opsi tersebut.
Sementara itu, Prabowo membujuk Jokowi, bahkan menjanjikan bahwa Jokowi dapat memilih menteri-menteri kabinet jika ia menang. Pada Agustus tahun lalu, Mahkamah Konstitusi, lembaga yang disegani di era reformasi, telah menangani kasus yang menentang klausul dalam konstitusi yang melarang Gibran untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Pada 16 Oktober, Mahkamah Konstitusi, yang diketuai oleh ipar Jokowi, Anwar Usman, mengeluarkan keputusan yang mengizinkan Gibran untuk maju. (Beberapa minggu kemudian, dewan etik MK mencopot Anwar dari jabatannya sebagai ketua MK, namun ia diizinkan untuk tetap menjadi hakim MK, dan keputusan tersebut bersifat mengikat). Dukungan Prabowo meningkat dari 37% pada bulan Oktober menjadi 47% pada bulan Desember. Jokowi, sekali lagi, telah membaca dengan cermat para pemilihnya.
Saat saya makan siang dengan Ulil, kampanye Prabowo-Gibran telah menetapkan target untuk memenangkan lebih dari 50% suara diputaran pertama dan menghindari kekalahan. Tim Prabowo telah berhasil membentuk kembali citra dirinya sebagai seorang kakek-kakek yang imut dan menggemaskan, dan TikTok penuh dengan gambar-gambar Prabowo yang bertubuh tambun melenggak-lenggok di atas panggung kampanye, melakukan tarian gemoy yang menjadi ciri khasnya.
NU seharusnya bersikap netral dalam pemilu, namun ketuanya, Yahya Cholil Staquf, yang dikenal sebagai Gus Yahya, jelas-jelas mendukung Prabowo. Ulil dengan bersemangat menjelaskan kepada saya mengapa Yahya dan NU tidak punya pilihan selain mendukung Prabowo. “Prabowo adalah taruhannya, dan Prabowo adalah taruhan terbaik bagi NU. Kita harus memperjuangkan apa yang baik untuk NU, dan itu adalah dukungan negara. Kami memiliki rencana besar, dan itu mahal,” kata Ulil kepada saya.
Saya tidak nyaman, tapi saya harus membantu Gus Yahya. Dia harus membuat perhitungan, dan Gus Yahya memutuskan bahwa hanya Prabowo—karena Jokowi—dapat menjamin kemitraan dengan negara. Itulah yang dibutuhkan NU.
Saya pergi ke Jombang, sebuah kota di Jawa Timur yang dianggap sebagai pusat NU, untuk melihat apakah sebagianj besar para pemilih NU di sana setuju dengan penilaian Gus Yahya dan Ulil. Jombang, tempat yang ramai tanpa gedung pencakar langit, dikenal sebagai Kota Santri karena memiliki ribuan pesantren. Meski kota ini merupakan kota kelahiran Muhaimin Iskandar, calon wakil presiden yang mendampingi Anies Baswedan, hampir semua orang yang saya temui memilih Prabowo. Di sebuah daerah di Jombang yang bernama Tambak Beras, ada sekitar lima puluh pesantren dengan sekitar 12.000 santri yang tersebar di sepanjang jalan yang berliku-liku. Mohammad Hasib Wahab Hasbullah, kepala daerah setempat, mengundang saya untuk duduk di kebunnya dan berbincang tentang kampanye. Ia terdengar seperti Ulil saat menjelaskan mengapa ia mendukung Prabowo: NU harus dekat dengan pemerintah.
Ketika para santri berjalan melewati jalan-jalan sempit, para gadis berjilbab warna-warni dan para pemuda mengenakan sarung batik, Hasbullah mengatakan bahwa Jokowi telah melakukan banyak hal untuk NU, mulai dari menciptakan Hari Santri Nasional, mengesahkan RUU yang memperkuat posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional hingga menambahkan kakek Hasbullah ke dalam daftar pahlawan nasional. “Dan sekarang, seperti halnya Jokowi, kami menginginkan Prabowo,” tambah Hasib.
Seorang pimpinan pesantren yang bersuara lembut di wilayah itu juga mengundang saya untuk berbincang. Dia mengatakan kepada saya bahwa meski Gus Yahya mengatakan bahwa dia akan bersikap netral, namun jelas dia mendukung Prabowo. Pada bulan Desember, Gus Yahya mengundang sekitar dua ratus pemimpin pesantren dari Jombang ke Hotel Shangri-La di Surabaya dan meminta mereka untuk memberikan suara untuk Prabowo. Kemudian para pemimpin pesantren tersebut mengucapkan apa yang kemudian saya anggap sebagai mantra Ulil: NU harus dekat dengan pemerintah. Pada titik ini, istri Ulil bergabung dalam perbincangan. “Ini pemilu yang sangat buruk. Ini adalah pemilihan dinasti. Mengapa memilih Gibran? Kenapa dia?” tanyanya. “Karena itulah yang diinginkan Jokowi, dan Gus Yahya setuju.” Ia mengatakan bahwa ia tidak akan memilih Prabowo-Gibran.
Ke mana pun saya pergi, selalu ada anak-anak muda yang berpartisipasi dalam lomba bercerita dalam bahasa Inggris dan kontes dakwah. Ketika saya bertanya kepada beberapa dari mereka siapa kandidat yang mereka sukai, sebagian besar dari mereka tersenyum malu-malu dan lalu mengangkat dua jari, menunjukkan Prabowo dan Gibran, yang berada di urutan kedua dalam surat suara. Popularitas Jokowi adalah alasan utama dari dukungan ini, tetapi ada juga tekanan yang tidak begitu halus.
Ahmad Athoillah, ketua tim pemenangan Anies-Muhaimin di Jombang, mengeluhkan bahwa kampanye tersebut tidak adil. “Kami dikhianati oleh Prabowo. Ada kesepakatan bahwa Prabowo akan berpasangan dengan Muhaimin. Kami sudah bekerja lama dan memperkenalkan Prabowo ke banyak pesantren di sini,” katanya saat kami duduk di kantor kampanye. “Tapi Prabowo mengingkari janji itu, dan sekarang bahkan NU mendukung Prabowo. NU harusnya mengatakan bahwa semua warga negara bebas memilih, tapi mereka malah mengatakan Anda harus memilih Prabowo.” Athoillah menggambarkan tekanan terhadap kepala desa untuk memilih Prabowo.
Dia juga mengangkat kasus gubernur Jawa Timur yang lagi hot, Khofifah Indar Parawansa, yang juga ketua umum PP Muslimat NU, salah satu organisasi di bawah NU yang kuat. Khofifah awalnya menahan diri untuk tidak mendukung Prabowo, tetapi dia membuat dukungan publik yang besar hanya beberapa minggu setelah KPK menggeledah kantornya untuk mencari bukti dugaan penyelewengan dana. “Ini tidak adil,” Athoillah mengulangi.
Pada sebuah pertemuan ibu-ibu di suatu malam, ibunda Muhaimin, Muhasonah Iskandar, memimpin doa dan membacakan ayat-ayat suci Al-Quran. Ia adalah sosok yang dicintai di Jombang, namun banyak perempuan berbisik bahwa hal tersebut tidak akan menghentikan mereka untuk memilih Prabowo. Tim kampanye Prabowo punya begitu banyak uang, kata mereka saat kami duduk di lantai berkarpet. Seorang guru perempuan di pesantren itu mengatakan kepada saya bahwa tim Prabowo memberikan sebuah mobil baru kepada seorang pimpinan pesantren. Yang lain diberi dana untuk asrama baru. Yang lainnya dijanjikan perjalanan ke Makkah.
Pada hari-hari terakhir kampanye, sebuah film dokumenter panjang berjudul Dirty Vote dirilis secara daring. Pada hari pemilihan, film ini telah ditonton lebih dari 13 juta kali. Film ini mencoba mengungkapkan secara luas dan berskala nasional tekanan negara yang dikeluhkan oleh Ahmad Athoillah di Jombang. Dirty Vote menuduh bahwa kampanye tersebut telah digiring untuk memenangkan Prabowo dengan modus intervensi negara yang luas, sebagian legal dan sebagian ilegal. Dirty Vote menjadi viral, tapi tidak mengubah hasil.
Pemerintahan Prabowo-Gibran tidak akan dilantik hingga Oktober, sehingga masih banyak waktu bagi munculnya pemerintahan koalisi yang baru. Demokrasi Indonesia tidak akan membaik di bawah kepemimpinan Prabowo, namun juga tidak akan memburuk. Dia tidak memiliki alasan untuk mengembangkan sistem yang akan dia warisi. Dia punya semua alat yang dibutuhkan untuk membungkam perbedaan pendapat dan bisa menggunakan sumber daya negara untuk mengonsolidasikan kekuasaan. Namun, ada risikonya. Apakah aliansinya dengan Jokowi akan bertahan? Apa yang akan dilakukan Jokowi? Akankah Prabowo menang dalam pertarungan di antara mereka?
Perselisihan mungkin tak bisa dihindari. Salah satu penyebabnya adalah anggaran. Pembangunan ibu kota baru, proyek kesayangan Jokowi, sangat mahal, dan Prabowo membangun kampanyenya dengan janji makan siang gratis untuk semua siswa, dengan biaya U$28,8 miliar selama lima tahun ke depan, menurut ketua kampanyenya. Kepribadian Prabowo yang plin-plan mungkin akan berubah lagi, dan penghinaannya terhadap demokrasi mungkin akan muncul kembali. Dia mungkin melihat taktik yang digunakan dalam kampanye ini sebagai preseden untuk intervensi dalam pemilu di masa depan.
Lalu, ada masalah kesehatannya. Dia sekarang berusia tujuh puluh dua tahun, dan jika dia tidak berhasil mencapai akhir masa jabatan lima tahunnya, putra Jokowi akan menjadi presiden. Begitu banyak yang telah berubah di Indonesia, namun rasa ketidakpastian yang melanda negara ini setelah Suharto jatuh kembali menyergap banyak orang. Kemenangan Jokowi harus dibayar mahal.
7 Maret 2024
Ulasan Pembaca 1