Video seorang bapak tua menjinjing jualannya tiba-tiba viral di media sosial. Rautnya tak dapat ditutupi ketika dia dimaki gob**k. Ia sampai mencari apakah makian itu memang untuk dirinya? Air mata menyaru dalam peluhnya. Entah video itu dipotong seperti apa, yang jelas saya saksikan adalah keinginan seorang penjual es teh keliling yang juga ingin mendengar pendakwah, ingin mematri kembali agama-agamanya yang mungkin sempat berantakan. Nyatanya, pendakwah itu mengoloknya.
Layakkah seorang terbahak-bahak saat ada yang memaki manusia gobl**k di depan umum? Pun ini terjadi di suatu acara yang, konon, suci, berkumpulnya orang-orang yang katanya paling paham agama, dan teriakan itu datang pada seorang yang dielukan karena pengetahuan agamanya. Apakah agama menjadikan orang jauh dari kemanusiaan? Tidakkah pendakwah itu bisa meregulasi emosinya sedikit saja? Banyak hal bisa digunakan untuk bercandaan. Namun, bukan makian, bukan kata-kata kasar, dan dilantunkan begitu ringan untuk seseorang yang kala itu tak berdaya.
Publik mengecam dan bereaksi. Sebab pemandangan ini sungguh sangat menyakiti nurani. Bagaimanapun caranya berkelit, lisannya, kata-katanya telah jatuh yang sama sekali tak bisa dipungut kembali. Penjual es teh hari ini lebih mulia dari penjual agama. Simpati publik di Indonesia menunjukkan bahwa negeri ini masih beradab, masih memanusiakan manusia di tengah penguasa yang sibuk mengurusi agama.
Untuk seorang ayah paruh baya, penjual es teh yang diolok-olok itu kini dinaikkan derajatnya. Diangkat setinggi-tingginya. Bahwa malam itu, malam perjalanan hatinya yang lapang, kini membukakan peluang. Lisan yang tak tertakar dan rezeki yang tak mungkin tertukar. Dua hal paradoks sedang terbuka di media sosial. Dimaki tak membuat ayah paruh baya ini tumbang. Justru yang memaki ini ketar-ketir mendapatkan sangsi sosial yang luar biasa keji.
Lisannya yang kotor telah kembali pada pemiliknya. Semudah ini Tuhan membuktikan kepada kita betapa manusia itu sungguh kerdil di hadapannya. Siapa yang menyangka dalam satu malam, Tuhan telah membalikkan keadaan dua dunia manusia yang sangat timpang ini.
Menormalisasi bercandaan konyol, sarkas, merundung, seharusnya tak menjadi pembenaran. Apalagi dilakukan oleh seorang pendakwah yang seharusnya sudah selesai dengan dirinya sendiri. Ke sana kemari kini klarifikasi untuk membentengi diri. Manusia mana yang akan tersentuh? Juga sahabat-sahabat yang duduk dekat dengannya sewaktu melempar candaan gob**k, ikut terbahak, lalu nurani dan akal sehatnya masihkah melekat?
Bukankah seharusnya pendakwah itu paling tahu tentang dirinya. Bukan temannya, kuasa hukumnya, sahabatnya, keluarganya, atau bahkan psikolognya. Sebelum lisannya terucap, Ia juga seharusnya sudah menakar sejauh mana kata-katanya akan berdampak. Gus Mitfah, sama sekali tak ada kebencian dalam tulisan ini. Seharusnya, Gus bisa menjadi tauladan anak muda yang memujamu. Jika ada yang masih membenarkanmu atas kata-kata gob**kmu, mungkin Gus perlu rehat sejenak. Menepi untuk bisa menemukan “diri”. Lagi.
Bacaan terkait
Surat Terbuka: Terima Kasih, Mas Nadiem. Selamat Bekerja, Mas Mukti