Tampaknya kemenangan Presiden Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden yang diperjuangkan dengan susah payah belum diterjemahkan ke dalam strategi pemerintahan yang meyakinkan untuk mencapai janji-janji politiknya, terlepas dari Asta Cita (Delapan Cita) yang dicanangkan oleh pemerintahannya. Asta Cita terdiri dari delapan visi, 17 prioritas, dan delapan “kemenangan cepat” yang mencerminkan keinginan untuk kedaulatan nasional dan kemandirian ekonomi. Dibandingkan dengan Nawa Cita (Sembilan Cita) pendahulunya, Joko Widodo (Jokowi), yang berfokus pada menghadirkan negara untuk rakyat melalui skema perlindungan sosial, serta peningkatan konektivitas dan pembangunan infrastruktur, Asta Cita mencerminkan negara yang kuat yang melindungi martabat dan kedaulatan nasional di berbagai sektor kebijakan.
Dengan timnya yang baru sebulan menjabat, beberapa pihak mengkritik Prabowo karena gagal memastikan bahwa ia memiliki kabinet yang seragam dan profesional untuk mewujudkan ambisi-ambisi ini.
Hal ini berbeda dengan masa jabatan pertama Jokowi, yang dimulai pada tahun 2014, dengan fokus yang jelas dan implementasi kebijakan yang cepat. Kemenangan Jokowi sebagai presiden pada saat itu dipandang sebagai babak baru dalam politik Indonesia. Berasal dari luar elite politik, ia membangun kampanyenya dengan janji-janji untuk menghadirkan negara di semua aspek. Kemenangannya dalam pemilu diikuti dengan pembentukan sebuah tim transisi yang dipimpin oleh Tim 11 (Tim Sebelas), yang membantunya mengamankan kursi kepresidenan dan memiliki waktu tiga bulan untuk mempersiapkan serah terima jabatan secara resmi pada bulan Oktober 2014. Para anggota tim ini kemudian ditunjuk sebagai menteri, sekretaris kabinet, atau penasihat presiden. Hal ini bisa dibilang membuat transisi Jokowi dari kandidat menjadi presiden cukup mulus dan kabinetnya berjalan dengan cepat.
Kekuatan utama dari masa awal kepresidenan Jokowi adalah artikulasi yang jelas dari prioritas kebijakannya. Program-program andalannya dirancang untuk meningkatkan infrastruktur Indonesia, merampingkan birokrasi, dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Penunjukan kabinetnya dipandang sebagai hal yang menentukan, memadukan keahlian teknokratis dengan pragmatisme politik. Singkatnya, Jokowi berhasil mencapai keseimbangan meskipun ada beberapa tantangan birokrasi.
Meski memiliki masa transisi delapan bulan dari pasca-pemilu hingga pelantikan, Prabowo tampaknya tidak menunjukkan ketegasan dan kejelasan, kecuali pada program “makanan bergizi gratis” yang menjadi ciri khasnya. Tak lama setelah pelantikan, “pelatihan” militeristiknya untuk para anggota kabinet barunya mendapat ulasan yang beragam. Dia belum meyakinkan publik bagaimana dia dan timnya akan segera mengimplementasikan janji-janji utama kampanye, seperti revitalisasi ekonomi, reformasi hukum, dan meningkatkan keamanan nasional.
Meski Asta Cita adalah visi Prabowo, para menterinya perlu mengubahnya menjadi kebijakan-kebijakan konkret. Menumbuhkan ekonomi tanpa peta jalan yang jelas, kemajuan reformasi hukum yang dipertanyakan ketika penegakan hukum masih lemah, dan kekhawatiran bahwa dwifungsi militer dan polisi era Suharto akan kembali merupakan tantangan yang menanti pemerintahan yang baru. Meningkatkan keamanan nasional, termasuk keamanan siber, adalah masalah yang rumit ketika birokrasi Indonesia tidak melek digital.
Selain itu, penunjukan loyalis Prabowo untuk menduduki posisi-posisi kabinet membahayakan profesionalisme secara keseluruhan. Sebagai contoh, Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan meremehkan pentingnya pelanggaran hak asasi manusia kepada para jurnalis ketika ditanya tentang Tragedi Mei 1998, yang mengundang kritik dari seorang pemimpin kelompok hak asasi manusia, yang menentang pernyataan menteri tersebut.
Selain itu, gaya kepemimpinan Prabowo yang terpusat dan militeristik mungkin kurang efektif dalam lingkungan kolaboratif yang diperlukan untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan.
Dua faktor utama yang berkontribusi terhadap ketidakjelasan arah ini adalah tidak adanya tim transisi formal dan akomodasi yang berlebihan terhadap kepentingan sekutu politik. Pertama, Prabowo memilih untuk tidak membentuk tim transisi, melainkan membentuk tim “sinkronisasi dan asistensi”, dengan alasan bahwa pemerintahannya akan menjadi kelanjutan dari pemerintahan Jokowi. Namun, tim ini hanya diisi oleh para aktivis partainya, Gerindra. Tim transisi memainkan peran penting dalam memastikan presiden yang akan datang mendapatkan pengarahan lengkap mengenai kebijakan dan prioritas pemerintah yang sedang berjalan, dan memungkinkan presiden terpilih untuk terlibat dalam perencanaan terperinci untuk 100 hari pertama masa jabatannya.
Dalam kasus Prabowo, tim sinkronisasinya tampaknya tidak menjaga kesinambungan kelembagaan atau menerima transfer pengetahuan yang penting dari pemerintahan Jokowi. Akibatnya, ketika Prabowo mulai menjabat, hanya ada sedikit kejelasan mengenai kebijakan pemerintah mana yang akan diprioritaskan. Asta Cita diintegrasikan dengan rencana pembangunan nasional namun tidak dikalibrasi secara memadai untuk menyelaraskannya dengan kebutuhan pemerintahan yang baru. Sebagai contoh, anggaran negara mungkin hampir tidak cukup untuk memenuhi “quick wins” yang diusulkan Prabowo.
Kurangnya tim transisi formal mungkin telah memperparah kebutuhan Prabowo untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang ada di dalam koalisi politik yang luas, termasuk para anggota pemerintahan sebelumnya. Tanpa mengelola kepentingan-kepentingan yang saling bersaing secara efektif, Prabowo akhirnya memiliki kabinet yang besar, terdiri dari 48 menteri, lima kepala badan setingkat menteri, dan 56 wakil menteri, banyak di antaranya adalah loyalis, yang berisiko menimbulkan inefisiensi dan fragmentasi. Beberapa menteri sudah secara terang-terangan memprioritaskan agenda mereka sendiri.
Selain itu, gaya kepemimpinan Prabowo yang terpusat dan militeristik mungkin kurang efektif dalam lingkungan kolaboratif yang diperlukan untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan. Keengganannya untuk mendelegasikan wewenang dan fokus pada konsolidasi kekuasaan di dalam aliansi politiknya telah berkontribusi pada awal yang tidak merata bagi para menterinya. Sementara beberapa menteri berhasil menjalankan tugasnya dengan baik, seperti Menteri Luar Negeri, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, beberapa menteri lainnya melakukan tindakan yang patut dipertanyakan, seperti menyalahgunakan kop surat resmi untuk kepentingan pribadi, seperti yang dilakukan oleh Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal.
Wakil Menteri Pariwisata yang baru mendapat masalah dan harus mundur dari rencana pariwisata halal di Bali, satu-satunya provinsi di Indonesia yang berpenduduk mayoritas Hindu. Mereka yang dapat bergerak cepat adalah para profesional atau teknokrat yang didukung oleh staf karir profesional atau menghabiskan waktu berkoordinasi dengan pendahulunya selama masa transisi. Kekacauan awal ini dapat dihindari jika masa transisi digunakan dengan lebih efektif.
Masa kepresidenan Prabowo masih dalam tahap awal. Dia kemungkinan akan merampingkan dan merombak kabinetnya setelah periode awal dan masih bisa menegaskan visi kebijakan yang jelas dan terlibat lebih aktif dengan aparat birokrasi. Namun, bulan madu ini mungkin akan berlangsung singkat. Sekarang setelah ia akhirnya mendaki puncak politik Indonesia, Presiden harus fokus pada pemerintahan jika ia ingin memenuhi janji-janji yang membawanya ke tampuk kekuasaan.
Kolom ini ditulis bareng Made Supriatma. Naskah orisinal ada di sini: Prabowo Subianto’s Problematic Start: A Missed Opportunity
Bacaan terkait
Kabinet Prabowo yang Gemuk dan Akomodatif
Kabinet Inklusif Prabowo: Mengakomodasi Faksi-faksi Islam untuk Kohesi Politik
Ulasan Pembaca 2