Tak lama setelah pelantikannya pada 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kabinet yang terdiri dari banyak menteri, wakil menteri, dan kepala lembaga yang akan memandu pemerintahannya selama lima tahun ke depan. Terkait kabinet yang mencakup perwakilan signifikan dari semua partai dan organisasi Islam besar di Indonesia menggarisbawahi kesediaan presiden baru ini untuk mengakomodasi semua faksi Islam dan mempromosikan kohesi politik.
Kabinet baru Prabowo tidak hanya mencakup perwakilan dari Nahdlatul Ulama (NU)—organisasi Islam terbesar di Indonesia—dan partai politik semi-afiliasinya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), tetapi juga perwakilan dari Muhammadiyah—organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia—dan dua partai kecil yang berhaluan Islam, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gelombang Rakyat (Gelora). Dua partai yang terakhir ini mewakili gerakan Tarbiyah (“pengasuhan agama”) yang terinspirasi oleh ideologi Ikhwanul Muslimin transnasional. Beberapa organisasi Islam yang lebih kecil juga diwakili secara jelas, yang semakin menggarisbawahi komitmen Prabowo terhadap inklusi politik berbasis luas.
Masuknya partai-partai dan organisasi-organisasi Islam ke dalam kabinet baru Prabowo berarti ia telah berhasil menyatukan ketiga aliran ideologi yang menggerakkan Islam politik di Indonesia sejak awal era Reformasi pada tahun 1998. Ketiga aliran tersebut adalah: Islam tradisionalis (terutama diwakili oleh NU), Islam modernis (terutama diwakili oleh Muhammadiyah), dan Islam transnasional (terutama diwakili oleh PKS).
Ketiga aliran ini tidak hanya membagi Islam Indonesia berdasarkan orientasi ideologi, namun juga berdasarkan latar belakang sosial-ekonomi. Pengikut NU cenderung merupakan Muslim pedesaan dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah yang bekerja di bidang pertanian dan profesi semi-teknik, sementara pengikut Muhammadiyah cenderung lebih urban dan berasal dari kalangan profesional berpenghasilan menengah ke atas (dokter dan pengacara). Pengikut Tarbiyah adalah para profesional berpenghasilan menengah ke atas yang telah menerima pendidikan tinggi di luar negeri dalam bidang teknik atau ilmu pengetahuan alam.
Representasi Kabinet di Bawah Jokowi
Selama masa kepresidenannya yang berlangsung selama satu dekade, pendahulu Prabowo, Joko Widodo (Jokowi), mencari dukungan politik dari NU yang tradisionalis karena statusnya sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia. Jokowi sangat bergantung pada dukungan politik dari pimpinan NU ketika ia menghadapi tantangan dari kelompok Islamis yang mempertanyakan legitimasi politiknya dengan mensponsori demonstrasi Aksi Bela Islam (212) tahun 2016-2017. Berkat dukungan NU, Jokowi berhasil mengatasi tantangan ini dengan melarang organisasi-organisasi Islamis yang menjadi sponsor utama aksi 212—termasuk Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). Terhalang oleh larangan ini, organisasi-organisasi Islamis lainnya—termasuk PKS—berhenti mengkritik Jokowi. Banyak dari mereka memilih untuk tidak aktif secara politik selama kampanye Pemilu 2024.
Selama masa jabatan kedua Jokowi, lima jabatan kabinet diberikan kepada ulama dan politikus yang berafiliasi dengan NU dan PKB, termasuk Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qomas. Di sisi lain, meski mendapat dukungan dari beberapa aktivis Muhammadiyah, Jokowi hanya memberikan satu posisi kabinet dan satu posisi wakil menteri kepada politikus dari organisasi tersebut. Oleh karena itu, selama musim kampanye presiden dari November 2023 hingga Februari 2024, Muhammadiyah melobi tim Prabowo untuk memasukkan lebih banyak anggotanya ke dalam kabinetnya—terutama di Kementerian Pendidikan, yang memiliki beberapa menteri dari kalangan Muhammadiyah pada periode awal pasca-Reformasi.
Selama dua periode kepresidenan Jokowi, PKS tidak memiliki perwakilan dalam kabinetnya. Pengecualian ini disebabkan oleh dukungan partai yang konsisten pada Pemilu 2014 dan 2019 terhadap Prabowo, saingan Jokowi untuk kursi kepresidenan. Selain itu, sikap ideologis PKS sangat kontras dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), sekutu politik utama Jokowi selama masa kepresidenannya.
Representasi Muhammadiyah dan NU dalam Kabinet Prabowo
Upaya lobi Muhammadiyah membuahkan hasil, karena Prabowo telah menunjuk tujuh pemimpin agama dan politikus dalam kabinetnya. Mereka termasuk Abdul Mu’ti, sekretaris jenderal organisasi tersebut, yang telah ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah; Raja Juli Antoni, politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai Menteri Kehutanan; dan Dahnil Anzar Simanjuntak dari Partai Gerindra Prabowo sebagai Wakil Kepala Badan Penyelenggara Haji yang baru saja dibentuk. Selain itu, empat politikus dari Partai Amanat Nasional (PAN), yang semi-afiliasi dengan Muhammadiyah, menerima penunjukan menteri. Mereka termasuk Ketua PAN Zulkifli Hasan sebagai Menteri Koordinator Bidang Pangan dan Bima Arya Sugiarto sebagai Wakil Menteri Dalam Negeri.
Meski begitu, ulama dan politikus yang berafiliasi dengan NU memiliki jumlah penunjukan terbanyak di kabinet. 10 orang dengan latar belakang NU menjabat di kabinet, termasuk Nasaruddin Umar, Mustasyar PBNU 2015-2020, sebagai Menteri Agama; Nusron Wahid, anggota Partai Golkar yang menjabat sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang; dan Irfan Yusuf, anggota Partai Gerindra, yang menjabat sebagai Kepala Badan Penyelenggara Haji.
Selain mengakomodasi kelompok-kelompok Islam utama, aspek menarik dari pendekatan pemilihan kabinet Prabowo terletak pada upayanya untuk menjembatani kesenjangan yang memisahkan faksi-faksi yang berseberangan di dalam NU. Sejak tahun 2021, ketika Yahya Cholil Staquf menggantikan Said Aqil Siradj sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), NU terpecah secara tajam antara faksi PBNU dan faksi PKB. Perpecahan ini memuncak baru-baru ini ketika masing-masing faksi berusaha mengubah kepemimpinan faksi yang berlawanan untuk memasang pemimpin yang selaras dengan kepentingan mereka. Upaya-upaya ini akhirnya gagal. PBNU tetap berada di bawah kepemimpinan Staquf, sementara PKB tetap berada di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar.
Menghadapi konflik ini, Prabowo menghindari berpihak pada salah satu faksi dan memilih untuk mengakomodasi keduanya. Muhaimin ditunjuk sebagai Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat, sementara Abdul Kadir Karding, politikus PKB lainnya, diangkat sebagai Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Sementara itu, Saifullah Yusuf, sekretaris jenderal PBNU dan sekutu dekat Staquf, ditunjuk sebagai Menteri Sosial, bersama empat administrator lain yang berafiliasi dengan NU.
Representasi Kelompok Islam Lain dalam Kabinet Baru
Prabowo juga memasukkan beberapa tokoh dari gerakan Tarbiyah transnasional. Meskipun keberadaan Tarbiyah terbilang lebih kecil di Indonesia dibandingkan dengan kelompok tradisionalis NU dan modernis Muhammadiyah, gerakan ini telah mendapatkan kembali perwakilannya di kabinet setelah absen selama 10 tahun. Yassierli, seorang anggota PKS dan seorang profesor dari Institut Teknologi Bandung, telah ditunjuk sebagai Menteri Ketenagakerjaan yang baru. Meski mendukung pencalonan Anies Baswedan sebagai presiden, PKS memutuskan untuk bergabung dengan koalisi Prabowo setelah pemilu, menghidupkan kembali dukungannya untuk Prabowo, seperti yang telah dilakukan pada Pemilu 2014 dan 2019. Sementara itu, Partai Gelora, partai sempalan PKS yang mendukung Prabowo selama kampanye pilpres 2024, memiliki dua perwakilan di kabinet. Mereka adalah Anis Matta, yang menjabat sebagai Wakil Menteri Luar Negeri, dan Fahri Hamzah, yang menjabat sebagai Wakil Menteri Perumahan dan Pemukiman.
Selain NU, Muhammadiyah, dan gerakan Tarbiyah, kabinet Prabowo juga mencakup anggota-anggota dari partai-partai Islam lainnya, termasuk Partai Bulan Bintang (PBB). Ketuanya, Yusril Ihza Mahendra, telah ditunjuk sebagai Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan.
Namun, ada beberapa organisasi Islam konservatif yang tidak termasuk dalam susunan kabinet Prabowo. Mereka termasuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), yang didirikan pada tahun 1967 oleh almarhum Mohammad Natsir, mantan Perdana Menteri Indonesia. Organisasi ini secara luas dianggap oleh kalangan Islam konservatif sebagai penerus Partai Masyumi yang sudah lama tidak aktif. Masyumi adalah partai Islam terbesar di Indonesia pada tahun 1950-an hingga dibubarkan pada tahun 1960 oleh Presiden Soekarno. Selain itu, FPI dan pemimpinnya, Rizieq Shihab, juga telah dikeluarkan dari kabinet. FPI mendukung pencalonan Prabowo sebagai presiden pada tahun 2014 dan 2019.
Kesimpulan
Tidak seperti Jokowi yang tidak memasukkan banyak kelompok Islam ke dalam kabinetnya selain NU, Prabowo telah memasukkan perwakilan dari semua faksi Islam yang besar dan berpengaruh. Sebagai presiden dari sebuah negara dengan mayoritas penduduk Muslim, Prabowo bertujuan untuk membawa kelompok-kelompok agama utama ke dalam koalisi pemerintahannya untuk memastikan stabilitas dan mengurangi oposisi di dalam pemerintahannya. Meski ia telah mengalokasikan kursi terbanyak untuk tokoh-tokoh NU karena organisasi ini adalah yang terbesar di negara ini, ia juga telah mendistribusikan posisi kabinet secara adil kepada Muhammadiyah, partai-partai yang berafiliasi dengan Tarbiyah, dan partai-partai Islam lainnya, untuk memastikan representasi yang lebih seimbang.
Inklusi semua partai dan organisasi Islam yang disebutkan di atas telah dipuji oleh para pendukung Prabowo sebagai langkah untuk mempromosikan persatuan dan kohesi politik Indonesia. Meski demikian, beberapa masalah masih belum terselesaikan. Pertama, dengan 109 anggota, kabinet Prabowo adalah kabinet terbesar kedua di Indonesia yang pernah ada. Dua pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi, memiliki kabinet dengan jumlah menteri kurang dari 40 orang. Para analis politik Indonesia mencatat bahwa konsensus sudah sulit dicapai dalam kabinet kedua pendahulunya karena banyaknya partai, organisasi, dan tokoh yang diwakili. Berdasarkan kesulitan ini, mereka memperkirakan kabinet Prabowo akan menghadapi dilema kerja sama dan kolaborasi yang sama, terutama karena ukuran kabinetnya hampir tiga kali lipat dari dua kabinet pendahulunya.
Kedua, persaingan ideologis, politis, dan kepribadian yang ada, baik di dalam maupun di antara partai-partai dan organisasi-organisasi Islam yang diwakili di dalam kabinet, dapat menimbulkan kesulitan bagi mereka untuk bekerja sama dalam mengesahkan dan mengimplementasikan agenda kebijakan presiden yang baru. Hal ini terutama terjadi di antara kementerian urusan Islam, yang secara organisatoris telah terpecah dalam kabinet Prabowo. Dua lembaga baru setingkat kementerian—masing-masing Badan Penyelenggara Haji dan Umroh dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal—telah dipisahkan dari Kementerian Agama. Kombinasi perpecahan ideologis dan persaingan birokrasi di antara kementerian dan badan-badan ini, jika tidak dikelola dengan baik, dapat menciptakan kesulitan lebih lanjut bagi mereka untuk memberikan layanan publik yang berkualitas tinggi bagi umat Islam Indonesia.
Catatan: Naskah ini ditulis bareng Aisah Putri Budiatri, peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan kandidat PhD di Sekolah Pascasarjana Studi Kawasan Asia dan Afrika, Universitas Kyoto. Naskah orisinal di sini: https://www.rsis.edu.sg/rsis-publication/idss/ip24089-prabowos-inclusive-cabinet-accommodating-indonesias-islamic-factions-for-political-cohesion/
Bacaan terkait
Analisis Sana Jaffrey: Indonesia-nya Prabowo: Mewarisi Demokrasi di Saat Senja
Analisis Margaret Scott: Demokrasi Dikorupsi
Analisis Nadirsyah Hosen: Kabinet Prabowo yang Gemuk dan Akomodatif
Analisis Denny JA: Skenario Terbaik Indonesia dari Presiden Prabowo
Analisis Yanuar Nugroho: Tentang Kabinet Merah Putih nan Jumbo