Walau sebetulnya sudah ada sejak tahun 2004, namun perhatian terhadap Environmental, Social, and Governance (ESG) berkembang makin pesat dalam beberapa tahun terakhir, hingga menjadi salah satu pendorong utama perubahan di dunia bisnis. Buku The Insights You Need from Harvard Business Review: ESG menawarkan perspektif tentang bagaimana perusahaan bisa benar-benar memanfaatkan kerangka ESG dalam penciptaan nilai. Bagi mereka yang langsung bertanya-tanya mengapa saya menuliskan kalimat seperti itu, padahal sejak awal ESG dimaksudkan sebagai kerangka penciptaan nilai, saya akan langsung menjawab bahwa tidak semua perusahaan tahu sejarah itu, dan tidak semua perusahaan tahu bagaimana cara mewujudkan itu.
Dalam bagian Pendahuluan buku ini, Mary Johnstone-Louis—pengajar di Universitas Oxford, yang saya kenal sejak sekitar lima tahun lalu—menggambarkan ESG sebagai kerangka kerja yang memungkinkan perusahaan tidak hanya mengelola risiko tetapi juga menangkap peluang baru. Ia menjanjikan bahwa secara keseluruhan buku ini bakal menyoroti pentingnya integrasi ESG ke dalam strategi inti perusahaan, bukan hanya sebagai alat pelaporan belaka, sebagaimana yang banyak perusahaan kini lakukan.
Data ESG yang dikelola dengan baik dapat menjadi dasar untuk inovasi dan keunggulan kompetitif, begitu katanya, namun itu semua harus benar-benar disandarkan pada kebijakan, strategi, dan kinerja yang sesuai. Ia kemudian menyoroti tantangan utama ESG: keragaman standar dan indikator yang menciptakan kebingungan. Tidak mengherankan bila banyak perusahaan malah lebih sibuk bergulat dengan cara terbaik untuk mengukur, dan melaporkan data ESG—dan bukan benar-benar memanfaatkan data tersebut dalam mengintegrasikan ESG ke dalam strategi inti.
Untuk menggambarkan bagaimana perusahaan benar-benar bisa mengintegrasikannya, buku ini kemudian membagi 12 tulisan yang seluruhnya sudah pernah ditampilkan di dalam berbagai edisi Harvard Business Review ke dalam tiga bagian: membangun strategi ESG, menegakkan ESG, dan mengelola tanggung jawab sosial.
Membangun Strategi ESG
Artikel pertama dalam buku ini, ditulis oleh Mark Kramer dan Marc Pfitzer, berfokus pada hubungan antara target ESG dan kinerja finansial. Kedua penulis menyoroti bahwa integrasi ESG memerlukan perubahan strategis yang mendalam, bukan sekadar perbaikan operasional yang dangkal. Contoh perusahaan seperti Nestlé—yang menghubungkan produk nutrisi mereka dengan inovasi strategis—menunjukkan bahwa perusahaan yang berhasil menyelaraskan ESG dengan tujuan bisnis utama memang cenderung bakal memiliki keunggulan kompetitif yang lebih besar. Selain itu, penulis memberikan enam langkah praktis untuk membantu perusahaan memulai perjalanan ESG mereka, termasuk mengidentifikasi isu-isu material, mengintegrasikan ESG ke dalam pengambilan keputusan, dan menciptakan nilai bersama.
Kekuatan utama artikel ini adalah pendekatannya yang sistematis dengan studi kasus yang relevan, seperti dari Mars dan Enel. Namun, jelas artikel ini kurang menaruh perhatian terhadap tantangan unik yang dihadapi banyak perusahaan di negara berkembang. Perusahaan-perusahaan di Indonesia masih banyak yang menghadapi kendala seperti infrastruktur yang kurang memadai dan keterbatasan teknologi, sehingga dapat menghambat implementasi ESG sebagaimana yang diresepkan.
Artikel berikutnya, ditulis oleh Robert Langan dan Markus Menz, menyoroti pentingnya posisi Chief ESG Officer (CESGO) dalam memastikan integrasi ESG di tingkat strategis. Keduanya menjelaskan bahwa CESGO dapat menjadi penghubung antara berbagai fungsi perusahaan dan membantu memprioritaskan isu-isu ESG yang penting. Posisi ini dinyatakan menjadi semakin relevan mengingat meningkatnya tekanan dari investor global dan regulator internasional. Namun, tantangan utama adalah memastikan bahwa CESGO memiliki wewenang yang cukup untuk memengaruhi keputusan strategis, terutama di perusahaan yang masih didominasi oleh budaya hierarkhi tradisional.
Sementara, artikel ketiga yang merupakan buah karya Daniel Benjamin, Ori Heffetz, dan Michael M. Weinstein berargumentasi bahwa di antara isu-isu ESG yang paling material untuk hampir seluruh perusahaan dan pemangku kepentingannya adalah perlakuan terhadap pekerja. Saya tak bisa lebih setuju lagi atas pendirian itu, mengingat kepuasan pekerja oleh banyak penelitian memang ditunjukkan sebagai prasyarat produktivitas dan kinerja keuangan perusahaan dalam jangka panjang.
Tantangan dan Peluang dalam Menegakkan ESG
Bagian kedua buku ini membahas bagaimana perusahaan dapat menjalankan ESG secara efektif, dan dibuka dengan artikel yang ditulis oleh Robert Eccles—profesor di Oxford dan pendiri SASB, di antara banyak posisi mentereng lainnya—dan koleganya. Artikel ini menyoroti bahwa sektor swasta, khususnya ekuitas swasta, memiliki peluang besar untuk memimpin agenda keberlanjutan. Para penulis mencatat bahwa model bisnis ekuitas swasta, yang melibatkan kontrol langsung atas portofolio perusahaan, memungkinkan mereka untuk menerapkan strategi ESG secara lebih cepat dan efektif dibandingkan perusahaan publik. Namun, tantangan utamanya adalah mengatasi stigma negatif yang melekat pada sektor ini, lantaran banyaknya praktik investasi yang kontroversial yang telah dilakukan.
Penekanan pada langkah-langkah praktis yang dapat diambil oleh ekuitas swasta, seperti mengintegrasikan ESG ke dalam due diligence dan pengambilan keputusan investasi sangat mengimpresi saya. Namun, lagi-lagi saya harus mengeluhkan kurangnya diskusi tentang bagaimana perusahaan di negara-negara berkembang dapat mengadopsi model ini. Di Indonesia, di mana banyak perusahaan ekuitas swasta beroperasi di sektor yang kontroversial seperti pertambangan, penting untuk memiliki pedoman, atau setidaknya studi kasus, yang lebih spesifik tentang bagaimana mereka dapat meningkatkan kinerja ESG tanpa mengorbankan profitabilitas. Bagaimanapun, hal itu masih menjadi sumber kesalahpahaman sekaligus momok bagi kebanyakan perusahaan di sini.
Artikel lainnya yang membetot perhatian saya adalah yang ditulis Roberto Tallarita, tentang peran teknologi dalam mendukung ESG. Artikel menunjukkan bagaimana Kecerdasan Buatan (AI) dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja tata kelola perusahaan, tetapi sekaligus memperingatkan risiko yang terkait dengan penggunaan teknologi ini. Sektor teknologi, maupun sektor-sektor lainnya, yang sedang berkembang memiliki peluang besar untuk memanfaatkan AI dalam memantau dan mengelola inisiatif ESG. Namun, tantangan utama adalah kurangnya regulasi yang jelas dan infrastruktur pendukung untuk memastikan bahwa teknologi ini digunakan secara etis.
Pertanyaan soal tata kelola juga dibahas pada artikel yang ditulis Leo Strine, Jr. beserta para koleganya. Tata kelola perusahaan, menurut artikel ini, kerap banyak bertentangan atau setidaknya ada dalam situasi ketegangan dengan pencapaian tujuan lingkungan dan sosial. Sumber masalahnya jelas, menurut Strine dan kawan-kawannya, bahwa tata kelola perusahaan masih didominasi oleh stockholder primacy, dan para pemegang saham itu kerap menginginkan kinerja finansial yang baik dalam jangka pendek dengan mengorbankan kinerja lingkungan dan sosial perusahaan. Siapa yang harus memperbaiki ini? Semua pihak, sebetulnya, tetapi artikel ini terutama menekankan peran investor institusional yang memiliki kepentingan memastikan kinerja keuangan jangka panjang. Dalam jangka itu, kinerja finansial tidaklah bertentangan dengan—atau bahkan sangat ditentukan oleh—kinerja lingkungan dan sosial perusahaan.
Aspek Sosial dari ESG
Bagian terakhir buku ini berfokus pada aspek sosial dari ESG, dibuka dengan artikel yang membahas bagaimana perusahaan dapat mengambil pendekatan proaktif terhadap isu-isu sosial. Artikel yang ditulis oleh Lily Zheng itu menekankan betapa pentingnya mengelola isu sosial, bahkan jika itu berarti mengorbankan keuntungan jangka pendek. Studi kasus Tony’s Chocolonely yang dituliskan oleh Frans Pannakoek, Thomas Breugem, dan Luk van Wassenhove menunjukkan bahwa pendekatan berbasis tujuan mulia (purpose) dapat menghasilkan manfaat sosial dan sekaligus keuntungan ekonomi yang signifikan. Pendekatan ini sangat relevan terutama di sektor seperti perkebunan dan manufaktur yang menghadapi tantangan besar terkait hak pekerja dan keberlanjutan rantai pasok.
Bruce Simpson dkk. yang menuliskan bagaimana perusahaan bisa mengoptimalkan hubungan dengan lembaga-lembaga non-profit, serta Andrew Winston yang membujuk para pembaca untuk berjuang melawan gerakan anti-ESG juga punya banyak sekali pesan penting dan menarik. Jelas sekali bahwa LSM, ormas, dan lembaga pendidikan tinggi punya banyak sekali yang bisa ditawarkan kepada perusahaan. Pengelolaan sosial—juga lingkungan—adalah wilayah di mana organisasi masyarakat sipil benar-benar sudah jauh lebih maju dibandingkan perusahaan, sehingga sangat masuk akal bila perusahaan bermitra dengan mereka. Dalam konteks perlawanan terhadap ESG—bukan sekadar kritik, melainkan juga fitnah dan penggembosan yang misalnya banyak terjadi di Amerika Serikat—jelas perusahaan perlu memahami bahwa trajektori dunia adalah menuju keberlanjutan, dan menurunkan perhatian kepada kinerja lingkungan, sosial, dan tata kelola jelas akan membuat kesulitan di masa sekarang, apalagi di masa mendatang.
Lagi-lagi, kekuatan utama bagian ini adalah fokusnya pada studi kasus yang nyata dan relevan. Namun, ruang perbaikan terletak pada kurangnya diskusi tentang bagaimana perusahaan dapat mengatasi resistensi internal terhadap perubahan sosial. Di negara-negara dengan budaya perusahaan sering kali didasarkan pada hierarkhi yang kuat—bukan hanya di negara berkembang seperti Indonesia, namun juga di negara maju seperti Jepang yang saya saksikan secara langsung—perusahaan mungkin menghadapi tantangan dalam mengimplementasikan pendekatan proaktif ini tanpa dukungan penuh dari manajemen puncak. Beberapa minggu lalu, dalam sebuah kursus tata kelola keberlanjutan di Cambridge Institute for Sustainability Leadership (CISL), saya terlibat dalam perdebatan sengit tentang resistensi internal ini. Dan, sangat jelas bahwa kondisi ini tidak hanya ditemukan di perusahaan-perusahaan tertentu saja.
Menimbang ESG a la HBR
Buku The Insights You Need from Harvard Business Review: ESG jelas adalah kontribusi berharga dalam diskusi global tentang keberlanjutan. Salah satu kekuatan utama yang saya langsung terkesan adalah pendekatan berbasis penelitian menyeluruh, yang memberikan pandangan strategis terhadap implementasi ESG di dunia bisnis. Dengan menyertakan studi kasus dari perusahaan-perusahaan global seperti Nestlé, Mars, dan Enel, buku ini memperlihatkan bagaimana organisasi dapat mengintegrasikan ESG ke dalam strategi utama mereka untuk menciptakan nilai jangka panjang. Studi-studi kasus tersebut tidak hanya memperlihatkan praktik terbaik, tetapi juga menawarkan langkah-langkah konkret yang dapat ditiru oleh perusahaan lain. Ini sangat relevan bagi pembaca yang mencari panduan langsung tentang bagaimana mengatasi beragam tantangan ESG.
Selain itu, buku ini menonjol karena cakupannya yang luas, mencakup berbagai aspek ESG, termasuk pentingnya peran Chief ESG Officer, pengelolaan teknologi seperti AI, dan pendekatan proaktif terhadap isu sosial. Setiap artikel disusun dengan keseimbangan antara analisis teoretis dan aplikasi praktis, memberikan konteks yang kaya bagi pembaca untuk memahami relevansi ESG dalam lanskap bisnis yang berubah. Pendekatan multidimensi ini memperkaya diskusi tentang ESG, terutama bagi perusahaan yang ingin mendalami hubungan antara kinerja keberlanjutan—terutama pada isu-isu material—dan profitabilitas.
Namun, buku ini tidak luput dari kekurangan. Salah satu ruang perbaikan utama yang saya langsung dapati adalah kurangnya fokus pada tantangan spesifik di negara berkembang seperti Indonesia. Meski buku ini memberikan wawasan strategis yang luas, pendekatannya cenderung mengacu pada konteks perusahaan besar di negara maju. Tantangan seperti ketimpangan infrastruktur, regulasi yang belum matang (kalau bukan malah bertentangan dengan tujuan keberlanjutan), dan kurangnya kesadaran publik tentang ESG jarang dibahas. Saya membayangkan, sektor agribisnis perkebunan dan pertambangan di Indonesia memiliki kompleksitas di tingkat lokal jelas memerlukan pendekatan berbeda dalam mengadopsi standar dan kerangka ESG. Buku ini hanya dapat menjadi lebih inklusif dan relevan bagi pembaca di pasar negara berkembang bila mau menyelami isu-isu di negara berkembang.
Selain itu, jelas pula ada ruang untuk eksplorasi lebih mendalam mengenai bagaimana cara usaha kecil dan menengah (UKM) dapat mengadopsi ESG—karena mereka kerap dituntut untuk menegakkannya sebagai bagian dari rantai pasok global. Mengingat peran UKM yang signifikan dalam perekonomian di negara-negara berkembang, pembahasan tentang bagaimana mereka dapat menavigasi hambatan operasional dan finansial untuk menerapkan ESG akan sangat membantu. Buku ini juga dapat meningkatkan dampaknya dengan memperkuat bagian yang membahas cara mengukur dan melaporkan kinerja ESG secara efisien, mengingat banyak perusahaan yang menghadapi tantangan yang luar biasa memusingkan dalam menavigasi kriteria dan indikator ESG.
Secara keseluruhan, buku yang ditulis oleh para pakar terpiliih ini memang adalah sumber daya yang sangat baik untuk memahami dan mengimplementasikan ESG, tetapi akan lebih bermanfaat lagi jika ia menambahkan pandangan yang lebih spesifik untuk konteks pasar negara berkembang. Buku ini, bagaimanapun, adalah referensi strategis yang berharga, meski memerlukan adaptasi lebih lanjut untuk menjawab tantangan lokal secara langsung. Seandainya ia bisa memperluas fokus dan menyediakan panduan yang lebih relevan bagi pasar yang beragam, buku ini dapat menjadi alat yang lebih efektif dalam mempromosikan keberlanjutan di tingkat global maupun lokal.
Relevansi dan Urgensi untuk Indonesia
Saya juga berpendirian bahwa buku The Insights You Need from Harvard Business Review: ESG menawarkan wawasan strategis yang sangat relevan untuk kita di Indonesia, khususnya bagi pemimpin bisnis, regulator, dan praktisi keberlanjutan. Dalam konteks Indonesia, di mana tekanan untuk mengadopsi standar keberlanjutan global semakin meningkat, buku ini menjadi panduan penting untuk memahami bagaimana perusahaan dapat mengintegrasikan ESG ke dalam strategi perusahaan.
Dengan keberadaan sektor-sektor seperti energi, agribisnis, dan pertambangan yang berperan besar dalam ekonomi Indonesia di satu sisi, namun sering menjadi pusat perhatian karena dampak sosial dan lingkungannya di sisi lain, konsep ESG memberikan kerangka kerja untuk menjawab ekspektasi pemangku kepentingan sekaligus menciptakan keunggulan kompetitif.
Urgensi buku ini semakin meningkat di tengah pergeseran global menuju ekonomi rendah karbon, terutama dengan komitmen Indonesia untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060—yang saya sangat yakin akan terus ditekan untuk menjadi benar-benar sesuai Persetujuan Paris, yaitu di tahun 2050. Pendekatan praktis yang ditawarkan buku ini, seperti mengintegrasikan metrik ESG ke dalam pengambilan keputusan strategis terutama pada isu-isu material, sangat penting untuk mendukung perusahaan dalam perjalanan mereka menuju transisi energi yang berkeadilan. Apalagi, regulasi seperti Perpres tentang nilai ekonomi karbon mempertegas perlunya perusahaan untuk mengelola dampak iklim secara lebih bersungguh-sungguh. Bab-bab pada buku ini memberikan panduan untuk menjawab tantangan tersebut, termasuk bagaimana perusahaan dapat menggunakan teknologi seperti AI dan analisis data skala raksasa (big data analytics) untuk meningkatkan efisiensi operasional serta transparansi.
Selain aspek lingkungan, buku ini juga relevan dalam menjawab isu-isu sosial di Indonesia, seperti ketimpangan ekonomi dan hak pekerja. Pendekatan proaktif terhadap isu sosial yang dibahas dalam buku ini memberikan inspirasi bagi perusahaan untuk tidak hanya memenuhi tuntutan regulasi, tetapi juga menciptakan dampak positif yang nyata bagi masyarakat lokal. Studi kasus Tony’s Chocolonely, yang bagi saya sangat menarik, menawarkan pelajaran tentang bagaimana perusahaan dapat benar-benar membaurkan antara community development dengan business developmemt yang relevan bagi sektor seperti perkebunan di Indonesia.
Dengan semakin banyaknya perusahaan yang beroperasi di Indonesia menghadapi tekanan dari investor global dan komunitas internasional, buku ini membantu pembaca memahami bagaimana ESG dapat menjadi pendorong utama inovasi dan keberlanjutan jangka panjang. Relevansi dan urgensinya terletak pada kemampuannya untuk menjembatani kebutuhan di tingkat lokal—yang tentu lebih dipahami masing-masing perusahaan di sini—dengan ekspektasi global—yang tergambar dengan sangat baik di dalam buku ini—memungkinkan perusahaan-perusahaan Indonesia untuk tidak hanya bertahan di tengah-tengah tuntutan perubahan itu, tetapi juga mampu berkembang pesat dalam lanskap bisnis yang semakin memihak kepada keberlanjutan.
Bacaan terkait
Donald Trump dan Ancaman Krisis Iklim
Generasi Muda dan Krisis Iklim: Kami yang Cemas dan Marah
Ulasan Pembaca 1