Setiap tahun, menjelang Hari Raya Idul Fitri, perusahaan-perusahaan di Indonesia menghadapi fenomena yang sudah akrab namun sarat kontroversi: permintaan “tunjangan hari raya” (THR) dari berbagai pihak, mulai dari aparat pemerintah, anggota parlemen, instansi keamanan, hingga organisasi massa. Itu yang kembali masuk ke benak saya lantaran beragam WA Group yang saya ikuti membahas masalah ini, lengkap dengan foto-foto amplop atau surat permintaannya. Meskipun tidak ada regulasi yang mewajibkan perusahaan memberikan bantuan ini, tekanan untuk mengabulkan banjir permintaan tersebut jelas tak terbantahkan.
Mengapa demikian? Perusahaan merasa terpaksa menuruti permintaan tersebut karena khawatir menghadapi hambatan birokrasi, penundaan perizinan, juga gangguan keamanan dan pembiarannya. Fenomena ini sebetulnya bukan sekadar “tradisi” tahunan yang dihadapi banyak perusahaan, melainkan puncak dari gunung es ekonomi biaya tinggi yang menggerogoti iklim investasi dan meracuni tata kelola bisnis di Indonesia.
Permintaan THR Lebaran, tentu saja, sering kali dibingkai sebagai bentuk “kepedulian sosial” atau “silaturahmi”. Namun, praktik ini sesungguhnya merupakan bentuk pemerasan terselubung yang dilembagakan. Perusahaan, terutama yang bergerak di sektor padat modal seperti manufaktur, properti, atau energi, kerap dihadapkan pada pilihan sulit: mengeluarkan dana tambahan di luar anggaran resmi—atau membuat pos anggaran dengan nama yang tidak jelas—atau menghadapi risiko operasional yang mengancam keberlangsungan bisnis.
Tekanan ini sebenarnya tidak hanya datang menjelang Lebaran, tetapi berlangsung sepanjang tahun dalam bentuk pungutan liar, biaya tambahan untuk percepatan perizinan, atau “uang damai” untuk menghindari konflik dengan oknum tertentu. Dalam banyak kasus, aktor di balik permintaan ini adalah pihak-pihak yang memiliki kewenangan strategis, seperti pejabat pengelola perizinan, petugas keamanan, atau kelompok yang mengklaim diri sebagai “penjaga keamanan” di wilayah di mana perusahaan berada.
Mereka semua memanfaatkan posisinya untuk menciptakan ketergantungan, di mana perusahaan dipaksa membayar demi kelancaran operasi. Ironisnya, praktik ini terjadi di tengah upaya pemerintah yang, konon, ingin mendorong kemudahan berusaha melalui Omnibus Law yang kontroversial itu. Alih-alih menciptakan efisiensi, yang sedang didengung-dengungkan lewat pemotongan anggaran belanja pemerintah, ekonomi biaya tinggi justru mengubur niat tersebut atau hanya sekadar menggesernya ke sektor swasta yang dianggap memiliki modal untuk dihamburkan.
Secara hukum, praktik pemerasan dan pemberian fasilitas tambahan di luar ketentuan resmi jelas melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi serta Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. UU Tipikor secara tegas melarang gratifikasi kepada pegawai negeri, sementara pemerasan oleh oknum swasta atau organisasi massa dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pengancaman. Namun, penegakan hukum terhadap kasus-kasus ini masih lemah. Perusahaan enggan melapor karena takut dianggap “mengganggu hubungan baik” dengan pihak berwenang atau sangat khawatir menghadapi balasan di kemudian hari.
Dari sisi etika, praktik ini merusak prinsip keadilan kompetitif. Perusahaan dengan akses keuangan lebih besar dapat “membeli” kepastian berusaha, sementara usaha yang lebih kecil terpaksa gulung tikar jika tak mampu memenuhi tuntutan. Percakapan saya dengan beberapa pengusaha berskala kecil dan sedang benar-benar memberikan gambaran muram soal ini. Selain itu, normalisasi suap dan pemerasan menciptakan budaya bisnis yang mengutamakan transaksi bawah meja daripada inovasi dan efisiensi. Ini paradoks di negara yang mengklaim diri sebagai “demokrasi dengan ekonomi terbuka”, tetapi masih membiarkan praktik yang sangat berbau feodalisme birokrasi tumbuh subur.
Ekonomi biaya tinggi tidak hanya merugikan perusahaan, tetapi juga berdampak sistemik pada perekonomian nasional. Pertama, praktik ini mengurangi daya saing Indonesia di mata investor. Laporan Bank Dunia (2023) mencatat bahwa 34% perusahaan asing menganggap korupsi sebagai hambatan utama berinvestasi di Indonesia, lebih tinggi daripada rerata di ASEAN (27%). Biaya tak terduga untuk mengakomodasi kepentingan oknum tertentu membuat proyeksi keuangan perusahaan menjadi tidak pasti, dengan akibat banyak investor memilih negara dengan tata kelola lebih transparan seperti Vietnam atau Malaysia.
Kedua, beban ekonomi biaya tinggi akhirnya ditanggung oleh masyarakat. Perusahaan yang harus mengalokasikan dana untuk “pemadam kebakaran” birokrasi cenderung menekan anggaran lain, seperti investasi sosial di masyarakat, pelatihan untuk karyawan, juga riset dan pengembangan. Dalam jangka panjang, ini menghambat peningkatan produktivitas pekerja juga kesejahteraan masyarakat. Lebih parah lagi, biaya tambahan tersebut sering kali dibebankan kembali kepada konsumen melalui kenaikan harga barang/jasa, atau kepada pemerintah daerah melalui pengurangan kontribusi pajak akibat pembukuan fiktif.
Ketiga, praktik ini merusak tata kelola pemerintahan. Pejabat yang terbiasa menerima “THR tidak resmi” cenderung mengaburkan batas antara kewenangan resmi dan kepentingan pribadi. Mentalitas transaksional ini kemudian merembet ke level kebijakan, seperti penerbitan peraturan daerah yang diskriminatif, penerbitan izin yang dipercepat walau persyarakatan tak terpenuhi, atau pengabaian audit kinerja. Perbincangan saya di berbagai daerah di Indonesia yang sedang mengalami booming industri—seperti pengolahan hasil pertambangan nikel di sekujur Sulawesi—mengisyaratkan bahwa perusahaan-perusahaan yang dipandang rajin memberikan berbagai bentuk “bantuan” kepada aparat pemerintah akan jauh lebih mudah mendapatkan bermacam dukungan yang tidak sah. Sementara, perusahaan yang menegakkan tata kelolanya malah dihimpit berbagai kesulitan.
Menghentikan ekonomi biaya tinggi memerlukan pendekatan multidimensi yang melibatkan reformasi birokrasi, penegakan hukum konsisten, dan perubahan budaya bisnis. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memperkuat sistem pelaporan dan perlindungan whistleblower. Pemerintah perlu membentuk platform pelaporan korupsi dan pemerasan yang terintegrasi, mudah diakses, dan menjamin kerahasiaan pelapor. Perlindungan hukum bagi perusahaan yang menolak memberikan “THR tidak resmi” harus dipertegas, termasuk sanksi bagi oknum yang membalas dengan hambatan administratif.
Inisiatif seperti Layanan Pengaduan Terpadu Kementerian PANRB bisa diperluas dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kepolisian untuk investigasi real-time—tetapi tentu saja lembaga-lembaga yang saya sebutkan itu perlu memastikan dirinya dapat dipercaya oleh masyarakat luas terlebih dahulu. Digitalisasi dan transparansi proses perizinan juga menjadi kunci. Pemangkasan mata rantai birokrasi melalui sistem Online Single Submission (OSS) harus ditingkatkan dengan integrasi data real-time, sehingga status permohonan dapat dipantau publik.
Transparansi ini mengurangi ruang bagi oknum untuk memanipulasi proses. Pemerintah daerah perlu didorong untuk menerapkan sistem perizinan berbasis risiko (risk-based licensing)—dengan memperhitungkan risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola yang komprehensif—sehingga meminimalkan interaksi langsung antara petugas dan pemohon.
Revitalisasi peran KPK dan pengadilan tipikor juga tak kalah penting. KPK perlu diberikan mandat lebih luas untuk menangani kasus pemerasan terhadap sektor swasta, termasuk yang melibatkan organisasi massa. Pengadilan Tipikor di setiap provinsi harus diperkuat kapasitasnya agar mampu menangani kasus korupsi skala kecil-menengah secara cepat. Penting juga menjatuhkan hukuman yang memiliki efek jera, seperti denda progresif dan pencabutan hak menjabat seumur hidup bagi pejabat terbukti menerima suap.
Di sisi lain, membangun kesadaran kolektif melalui pendidikan antikorupsi menjadi fondasi perubahan budaya. Kurikulum antikorupsi harus diintegrasikan dengan sungguh-sungguh ke dalam pelatihan aparatur sipil negara (ASN), pendidikan dasar untuk seluruh siswa (termasuk di dalam pendidikan agama), hingga program CSR perusahaan (yang subjek inti pertamanya sesungguhnya adalah tata kelola). Kampanye publik seperti “Gerakan Indonesia Tanpa Suap” perlu dihidupkan kembali dengan melibatkan tokoh agama, influencer, dan organisasi masyarakat sipil. Perusahaan juga didorong menerapkan sistem kepatuhan berbasis ISO 37001 Anti-Bribery Management Systems sebagai syarat perpanjangan izin usaha.
Terakhir, pemerintah pusat dapat mengalokasikan dana insentif khusus bagi daerah yang berhasil menekan angka korupsi dan pemerasan, diukur melalui survei integritas sektor publik dan indeks persepsi bisnis. Insentif ini akan mendorong kepala daerah aktif memberantas praktik ekonomi biaya tinggi di wilayahnya. Fenomena pemerasan lewat dalih THR Lebaran adalah cermin dari sistem ekonomi yang masih terjebak dalam mentalitas “uang pelicin” dan itu pasti akan tertangkap di dalam survei integritas sektor publik dan indeks persepsi bisnis.
Jika tidak diatasi, saya khawatir praktik ini tidak hanya akan terus menggerus kepercayaan investor, tetapi juga membenamkan Indonesia dalam jebakan negara berpendapatan menengah-bawah. Perubahan harus dimulai dari kesadaran bahwa setiap rupiah yang diberikan untuk “melancarkan urusan” adalah pengorbanan masa depan anak bangsa—dalam bentuk lapangan kerja yang hilang, infrastruktur yang tertunda, atau kesenjangan yang melebar. Sementara itu, bentuk-bentuk investasi sosial dan pembinaan hubungan dengan pemangku kepentingan yang benar perlu terus didorong untuk dilakukan oleh perusahaan. Perusahaan harus menjadi pembawa manfaat kepada seluruh pemangku kepentingannya, dengan cara yang sesuai dengan hukum dan etika.
Pilihan ada di tangan semua pemangku kepentingan: terus membiarkan ekonomi biaya tinggi menjadi budaya, atau bersama-sama membangun sistem yang mengutamakan integritas. Hanya dengan transparansi, akuntabilitas, dan konsistensi penegakan hukum, Indonesia bisa mengubah diri dari surga bagi para pemeras terselubung menjadi destinasi investasi yang berdaya saing global. Langkah ini berat, tetapi bukan tidak mungkin—asal ada kemauan politik untuk memulai.
Bacaan terkait
Menyedekahkan Harta, Mendinginkan Langit