Hollywood dan Broadway punya relasi dua arah yang telah merentang setidaknya 8 dekade. Banyak musikal Broadway yang kemudian menjadi film layar lebar; sebaliknya banyak film layar lebar yang kemudian akhirnya dipentaskan di panggung Broadway. Tetapi, tidak semua pertukaran media itu mencatat sukses. Sebagai penggila keduanya, setiap kali ada drama musikal dibuat filmnya saya selalu bertanya-tanya apakah kali ini akan menjadi seperti Chicago yang sukses di mata kritikus dan dicintai penontonnya, ataukah akan menjadi seperti Cats yang mengundang banyak cacian.
Wicked, adalah adaptasi sinematik dari musikal Broadway legendaris yang diciptakan oleh Stephen Schwarz—komposer musik sekaligus penulis lirik di balik kesuksesan Godspell, The Hunchback of Notredame, Pippin, Pocahontas, serta The Prince of Egypt. Kisahnya membawa penonton ke dunia Oz melalui mata dua karakter ikonis: Elphaba, yang akan menjadi Penyihir Jahat dari Barat, dan Glinda, yang dikenal sebagai Penyihir Baik. Versi Broadway-nya di tahun 2003 mengetapel Idina Menzel dan Kristin Chenoweth ke popularitas luar biasa, selain merebut seabrek penghargaan, termasuk dari Tony, Drama Desk, juga Grammy. Tetapi, kesuksesan di panggung, saya sadar sepenuhnya, bukanlah jaminan kesuksesan di layar-layar bioskop, seperti yang terjadi pada Cats.
Ketika Hollywood mengumumkan bahwa Jon M. Chu, didapuk menjadi sutradaranya, saya tersenyum lebar. Chu adalah sutradara muda, tetapi dari visinya telah lahir Crazy Rich Asians dan In the Heights yang sangat memuaskan. In the Heights sendiri adalah juga drama musikal, dan Chu benar-benar sukses memindahkannya ke sinema. Jadi, kalau akhirnya Wicked dinyatakan oleh para kritikus benar-benar berhasil menghadirkan perjalanan emosional, visual yang menakjubkan, serta alunan musik yang tetap—buat saya kata yang lebih tepat adalah ‘makin’—memukau, saya benar-benar sependapat. Walaupun, di balik keindahannya yang luar biasa, saya masih menemukan adanya kerumitan narasi, tema-tema yang saling bersilangan, dan juga setuju pada kritik yang menyatakan bahwa pada beberapa bagian eksekusinya agak terlalu ambisius.
Film yang pada saat saya menuliskan artikel ini mendapatkan skor agregat 89% dari 242 kritikus dan 98% dari 5.000+ penikmat film di Rotten Tomatoes ini dibuka dengan kisah masa muda Elphaba dan Glinda di Shiz University, tempat pertemuan keduanya yang dimulai dengan hubungan penuh konflik. Elphaba—diperankan oleh Cynthia Erivo dengan luar biasa—digambarkan sebagai sosok yang cerdas tetapi dikucilkan karena kulit hijaunya. Di sisi lain, Glinda yang ceria dan populer, diperankan sengan sangat bagus oleh Ariana Grande, membawa energi yang kontras. Cara mereka mendekati perannya berbeda dari Menzel dan Chenoweth, tetapi hasilnya sungguh memukau.
Kalau pada awalnya saling bersaing, mereka akhirnya menjalin persahabatan setelah melalui serangkaian kejadian yang menyentuh hati, termasuk adegan ikonis ketika keduanya menyanyikan lagu Popular, yang ‘sangat Glinda’ dan Defying Gravity yang mendefinisikan Elphaba. Lagu terakhir ini, yang menjadi inti emosional cerita, menggambarkan momen transformasi Elphaba menjadi figur yang melawan sistem yang menipu dan menindas. Penipuan dan penindasan yang utamanya diotaki dan dilakukan oleh The Wizard (Jeff Goldblum) dan Madame Morrible (Michelle Yeoh) sangatlah halus, sehingga baru belakangan hal ini terungkap, dan menjadi penutup film yang brilian. Chu benar-benar sukses menggambarkan kedahsyatan energi dalam Defying Gravity, sehingga saya—dan jutaan lain penggemar musikal ini—pasti bersedia untuk menontonnya berulang-ulang hanya untuk lagu itu saja.
Visualisasi dunia Oz menjadi salah satu kekuatan utama Wicked. Chu dengan cermat membangun dunia yang memadukan elemen fantastis dan realisme, mulai dari aula megah Shiz University hingga keindahan Emerald City. Kritikus dari Vanity Fair menyoroti betapa kaya detail yang diberikan pada setiap set dan kostum, menciptakan pengalaman visual yang luar biasa. Namun, ada kritik dari Helen O’Hara dari Empire yang menilai bahwa elemen visual ini kadang terasa terlalu mendominasi, sehingga mengurangi fokus pada cerita dan karakter. Saya setuju pada kritik ini, lantaran cukup sering perhatian saya teralih pada potongan gambar tertentu yang kelewat indah.
Narasi Wicked secara keseluruhan sebetulnya berat. Ia memadukan tema persahabatan, pengkhianatan, dan perjuangan melawan prasangka sosial. Ketika Elphaba mulai memahami sistem yang korup di balik pemerintahan Oz, ia mengambil sikap yang menjadikannya sebagai ancaman bagi kekuasaan. Hubungan kompleks antara Elphaba dan Glinda terus berkembang, terutama setelah keduanya menghadapi konflik moral dan pilihan sulit yang memengaruhi nasib mereka. Peter Bradshaw, kritikus film tetap di The Guardian, mencatat bahwa dinamika ini memberikan kedalaman emosional yang kuat, terutama lantaran kemampuan akting keduanya yang jempolan.
Penampilan Erivo mendapat banyak pujian, terutama karena ia berhasil menghadirkan sisi manusiawi dari Elphaba, menjadikannya karakter yang relatable, meskipun dikisahkan sebagai “jahat”. Erivo membawa intensitas emosional yang mendalam, terutama dalam momen-momen yang menyoroti isolasi dan perjuangannya untuk lebih diterima di antara para mahasiswa. Sementara itu, Ariana Grande memberikan interpretasi segar pada Glinda, memadukan karisma dan humor dengan elemen kerentanan.
David Fear yang menulis untuk Rolling Stone menyebutkan bahwa chemistry di antara kedua pemeran utama ini menjadi inti dari film, meski Grande mendapat kritik dari beberapa pihak yang merasa bahwa suaranya kurang kuat untuk beberapa lagu. Kalau saya harus membandingkan Grande dan Chenoweth, saya akan menyatakan bahwa suara Chenoweth memang lebih kuat dan komedik, tetapi Grande membawa keindahan dan kehalusan suara yang tak bisa dilupakan. Sementara, Goldblum, Yeoh, juga Jonathan Bailey—yang berperan sebagai Fiyero Tigelaar, pangeran pujaan Elphaba dan Glinda—membuat film ini menjadi ensambel yang luar biasa.
Musik, tentu saja, tetap menjadi jiwa dari Wicked. Lagu-lagu karya Schwartz diaransemen ulang dengan gaya yang lebih modern tanpa kehilangan pesona aslinya. Telinga saya yang sudah terbiasa dengan versi Original Broadway Cast bisa menandai, dan menikmati, setiap perubahan itu. Saya juga yakin para fans lainnya juga demikian. Adegan-adegan yang dibawakan dengan nyanyian tidak hanya menggerakkan cerita tetapi juga memperdalam karakterisasi, memberikan penonton momen-momen emosional yang kuat.
Durasi film yang panjang menjadi salah satu tantangan bagi penonton, terutama buat mereka yang tidak familiar dengan musikalnya. Dengan berbagai subplot dan tema yang saling bersilangan, Bilge Ebiri di Vulture menyebut bahwa film ini terasa seperti “perjalanan panjang yang melelahkan” bagi sebagian orang. Meski begitu, bagi penggemar berat musikal Broadway seperti saya, durasi yang panjang ini akan dianggap sebagai penghormatan terhadap kompleksitas cerita aslinya.
Buat saya, tema-tema seperti diskriminasi, perjuangan melawan otoritas yang korup, dan pentingnya melihat dunia dari perspektif yang berbeda, sangatlah relevan dengan situasi seperti sekarang. Elphaba, meskipun dicap oleh penguasa sebagai penyihir jahat, sebenarnya adalah korban dari prasangka sosial dan manipulasi politik. Sebaliknya, Glinda yang terlihat sempurna juga menghadapi dilema moral dan kesulitan menerima bahwa dunia sesungguhnya tidaklah selalu hitam dan putih. Vanity Fair, lewat artikel kritikus Richard Lawson, menekankan bahwa melalui kedua karakter ini, Wicked mengajak penonton untuk merenungkan kembali apa arti ‘baik’ dan ‘jahat’ dalam konteks sosial yang cenderung terburu-buru menghakimi. Selain urusan mata dan telinga saya yang terpuaskan, pesan sosial itu adalah yang bakal tinggal di benak dan hati saya.
Sebagai adaptasi drama panggung, Wicked adalah perayaan dari musikal yang sudah menjadi bagian penting dari budaya pop, yang seperti saya nyatakan, sudah berusia setidaknya 8 dekade. Film ini membawa tantangan besar dalam menjembatani dunia panggung dan layar, dan meskipun tidak sepenuhnya sempurna—adakah yang demikian?—ia telah menawarkan pengalaman sinematik yang luar biasa. Visualnya memanjakan mata, musiknya menggugah hati, dan ceritanya, meskipun tidak sederhana, memberikan banyak bahan refleksi.
Dengan semua ambisinya, Wicked adalah bukti bagaimana sebuah karya seni bisa terus berkembang dan menemukan tempat baru di hati generasi berikutnya. Film ini tidak hanya menghibur tetapi juga menginspirasi, mengingatkan kita bahwa kisah-kisah lama masih relevan dalam dunia yang terus berubah. Keberanian untuk menciptakan sesuatu yang sebesar ini benar-benar patut diapresiasi, dan membuat saya tak sabar untuk menonton bagian kedua film ini yang rencananya bakal tayang setahun lagi. Pada bagian kedua itu, masih ada lagu-lagu dahsyat As Long as You’re Mine, No Good Deed, dan For Good serta adegan finale-nya yang saya sangat yakin bakal ditampilkan dengan keindahan luar biasa. Encore!